Selepas pembuatan proposal pengajuan pembiayaan ke komite pembiayaan
kemaren, saya pun pulang dari kantor ke rumah. Cukup larut, meski belum
sampai tengah malam. Sepanjang jalan, saya ngeliatin berbagai poster dan
spanduk calon wakil-wakil rakyat.
Ada yang dengan
pede-nya menulis, “Utuslah Aku Menjadi Wakilmu…” ada yang dengan sangat
jumawa bilang, “Muda, Amanah, Cerdas”. Dan banyak lagi yang lainnya
dengan kata-kata senada, yang intinya jualan dirinya biar dipilih sama
rakyat.
Berhubung aura nulis proposal pembiayaan masih
nempel banget di badan saya, jadilah tiba-tiba kepikiran kalo milih
calon wakil rakyat (saya menyebutnya “wakil rakyat” bukan “anggota
legislatif” dengan pertimbangan tertentu. Kalo baca sampe tuntas,
mungkin akan nangkep maksud saya) mirip dengan bagaimana Bank bisa mengucurkan kreditnya kepada Nasabah.
Proses
pemberian kredit, pinjaman bank, pembiayaan bank, atau apapun itu
namanya, pada prinsipnya hampir sama semua. Yang membedakan adalah dasar
dari bank itu (filosofi, landasan, bank syariah atau konvensional, visi
misi, dll), sehingga endingnya juga beda. Biasanya beda di-skim
pembiayaan atau kreditnya, model akadnya, term and conditionnya,
pembayaran, dan masih banyak macem-nya lagi.
Nah makanya terlepas dari hal di paragraf sebelumnya, saya pake term pemberian kredit bank aja deh biar rada universal.
Umumnya
sebelum sebuah kredit kepada Nasabah disetujui oleh bank, Bank akan
melakukan yang namanya analisa kelayakan atas nasabah tersebut. Layak
nggak sih Nasabah ini dipercaya sama bank buat dapet kredit. Bisa
balikin apa engga? Bisa nguntungin ke bank atau engga? Atau
jangan-jangan malah bikin bank-nya bleeding, sekarat, tewas. Gawat.
SEDIKIT ASPEK-ASPEK YANG DIANALISA – PERBANDINGAN HEAD TO HEAD
Ada
beberapa aspek yang dianalisa pada pemberian kredit dari bank. Terlepas
dari masalah lama atau sebentarnya waktu analisa, ribet atau nggaknya,
cepet acc atau kapan cairnya, biasanya beberapa aspek yang jadi sasaran
analisanya antara lain:
ASPEK KARAKTER
Bank
pasti maunya punya Nasabah yang bayar angsurannya lancar, nguntungin
bank, trus akhirnya nambah kredit lagi ke bank tsb. Nah, masalahnya itu
bank tau dari mana si Nasabah lancar bayar atau enggak?
Makanya,
biasanya bank minta data dari BI buat liat track record fasilitas
kredit yang pernah diterima oleh calon Nasabah ybs. Lancar nggak sih
waktu dulu ybs dapet kredit buat KPR, beli mobil, nambah modal, dll.
Kalo dari informasi BI aja si Nasabah udah keliatan kalo doi hobinya
nunggak bayar. Bikin males aja. Udah pasti bank-nya juga rada berat
ngasih kreditnya.
Sama kalo milih wakil rakyat. Saya
pribadi, sedikit banyak ngeliat masa lalu si calon atau partai
pengusungnya. Liat track recordnya, dosa-dosa masa lalu mungkin juga.
Nah, masalahnya kebanyakan ini para calon wakil rakyat yang posternya
heboh menjamur di pinggir2 jalan itu mukanya asing semua buat saya.
Kalau pun ada yang muka lama, pasti karena public figure atau pernah gagal ikut pemilihan tertentu di pilkada.
Saya
tau dari mana itu orang beneran orang baik atau ngga? Apa dari partai
pengusungnya? Emangnya hari gini masih ada partai yang KKN 0%? Kalo pun
ada, paling di pemilu 2014 ini cuma ada 1 partai nasional. Itu pun
karena partai ybs adalah partai baru yang ikut meramaikan pemilu 2014.
Tapi apa jaminan?
Ibarat fasilitas kredit, sangat
dimungkinkan calon Nasabah adalah mereka yang belum pernah punya
fasilitas kredit di bank manapun. Jadi laporan BI-nya bersih. Trus apa
jaminan besok-besok kalo dikasih fasilitas kredit bakal lancar bayar?
Karena
prinsip saya, nasabah punya duit belum tentu bisa bayar. Buat apa punya
duit kalo dia nggak mau bayar. Ujung-ujung tetep aja: capek nagihnya.
Lah terus gimana? Itulah ngeselinnya pemilu ini.
Kalo
dianalisa pemberian kredit sih ada cara selanjutnya buat lebih dalem
lagi meyakini karakter calon nasabahnya. Misalnya dengan trade-checking.
Sah-sah
aja kok, demi memastikan kelancaran bayar angsuran atau kewajiban
Nasabah, pihak bank nanya ke supplier si nasabah, rekanan-rekanannya.
Tentang apa? Bisa banyak hal. Apa bener si calon Nasabah udah rekanan
dengan supplier tsb., gimana kelancaran bayarnya ke si supplier, gimana
kualitas produk yang dihasilkan, ada complain atau ngga selama kerja
sama, dan masih banyak lagi. Bebas.
Masih kurang? Makanya on the spot
dong ke lokasi usaha nasabah. Jangan janjian dulu sama nasabahnya, biar
bisa liat wujud asli nasabah dan wujud asli usahanya. Karena kalo
janjian dulu, bisa-bisa ybs dandan dulu biar keliatan kinclong di mata
bank.
Atau misalnya kalo dia pegawai tetap, nanya ke
bagian personalia atau HRD-nya. Bener ngga sih calon nasabah ybs kerja
di perusahaan itu. Gaji perbulannya apa bener segitu? Suka nakal apa
engga? Ada utang di tempat lain misalnya di koperasi perusahaan atau
nggak? Kalo ada utang, bayarnya lancar atau enggak?
Kalo
ternyata informasi yang si Nasabah kasih beda sama temuan bank
di-lapangan, yah, kau pahamlah Nasabah seperti apa yang Bank tersebut
hadapi.
Sama dengan milih calon wakil rakyat lagi.
Mengingat kita mau milih pembantu kita buat lima tahun ke depan yang
kita gaji pake duit-duit kita semua, emang mesti kita kenal banget
berarti.
Kok tega banget sih si Jamal nyebut wakil rakyat
itu pembantu? Ya emang pembantu kan. Tugas mereka kan cuma mewakili
kita. Kenapa kita perlu diwakili dan diwakili di bidang apa?
Mas
dan Mbak, asal tau aja ya. Kita tuh sebagai rakyat tuh udah kelewat
sibuk. Bapak dan Ibu Guru tiap hari sibuk banget mendidik dan bikin
cerah pemikiran para anak didik, bapak Ibu petani tiap hari sibuk
bercocok tanam, bapak Ibu pedagang tiap hari sibuk dagang cabe di pasar,
Ibu Bapak Dokter, perawat, bidan dan Mantri tiap hari sibuk
mengupayakan peningkatan kesehatan masyarakat di lingkungan
masing-masing. Jadi dengan kesibukan yang super heboh itu, kita udah
nggak ada waktu lagi buat ngurusin Negara ini.
Makanyalah
kita pilih pembantu-pembantu kita untuk mewakili kita mengurus Negara.
Jangan salah, Mbak dan Mas, Negara ini adalah milik rakyat sepenuhnya.
Bukan cuma punya segelintir orang. Nah makanya, mengingat rakyata adalah
tokoh utamanya, makanya saya sebut wakil rakyat adalah tokoh
pembantunya.
Sialnya, udah kita gaji gede itu wakil
rakyat, eh ngga sedikit yang malah bikin kita susah. Balik lagi dengan
mirip-miripan milih wakil rakyat dengan proses pemberian kredit, emang
mestinya kita milih wakil rakyat yang kita kenal santun perangainya,
taat kepada orang tua, rajin menabung, senang bekerja bakti membersihkan
got, dan tidak sombong. Sialnya lagi, dari poster dan spanduk, kita
dapet informasi apaan emangnya??? Apa jaminan, calon wakil yang udah
dipoles abis pake photoshop bakal halus tutur katanya, nggak nyopet duit
kita, dan mau ngurus Negara ini dengan amanah?
ASPEK KAPASITAS DAN PROFESIONALISME
Bank
seneng banget kalo ketemu nasabah gede yang udah pengalaman ribuan
tahun di dunia usahanya, udah melewati badai-asam-garam-onak-duri
kehidupan usaha, tetap bangkit dan tegar berdiri, serta masih memiliki
asset yang mumpuni. Belum lagi kalo itu nasabah dipimpin atau diurus
oleh para ahli di bidangnya. Beeuuuhh.. Mantaplah itu mah..
Seberapa
yakin si Bank akan kemampuan bayar Nasabah juga sedikit banyak
dipengaruhi oleh aspek ini. Kapasitas yang mencerminkan kemampuan
Nasabah menghasilkan uang untuk bayar lagi kewajiban angsuran (bisa dari
gaji atau hasil usaha), ditunjang juga dengan kapasitas pengalaman,
latar belakang pendidikan, lamanya usaha, dan hal lainnya yang terkait
profesionalisme.
Mungkin bulan ini gaji si nasabah Rp 250
juta. Tapi apa ada jaminan kalo bulan depan Nasabahnya masih kerja di
perusahaan tersebut, sementara Nasabah ybs baru 2 bulan kerja dan belum
teruji loyalitasnya pada perusahaan. Selanjutnya apa jaminan si
perusahaan masih idup bulan depan. Lantas minimalisir atau mitigasi
risiko-nya gimana? Puyeng kan? Sama.
Apa iya Pabrik Bubut
pembuat spareparts otomotif yang besar hanya dikelola oleh mereka yang
nggak menguasai bidang tersebut? Bisa maju apa enggak itu usahanya kalo
begitu yang terjadi. Jangan-jangan malah bangkrut bulan depannya.
Ribet ya? Iya.
Balik ke perbandingan head to head,
makanya menurut pandangan saya selama naik motor saat riweuh poster dan
spanduk calon wakil rakyat bertebaran, jadi wajar banget tiba-tiba
seorang calon wakil rakyat gelarnya bisa satu rangkaian kereta api.
Sebutlah
si Calon wakil rakyat bernama H. Prof. DR. dr. Drs. Ir. Jamal Irfani,
S.Psi. SH, SE. MH. MM. M.Kn. SPd. Sp.D, Sp.A, SPOG, dll…dll… (fiuuhh..)
Banyak nggak ngeliat ada satu orang dengan titel se-rame itu di poster-poster calon wakil rakyat?
Kalo
saya sih ngeliatnya, (mungkin) biar terlihat hebat dan professional si
calon ybs. Berhubung ngurus Negara itu kerja berat, makanya
percayakanlah pada mereka yang pintar, intelek, berotak banyak yang
didukung dengan gelar kesarjanaan yang banyak juga. Terlepas dari benar
atau tidak gelar-gelar kesarjanaan tersebut dalam pemerolehannya, kalo
menurut saya sih kenapa di poster dipasang se-rame itu, pertimbangannya
adalah aspek kapasitas dan profesionalisme tadi.
Yah, minimal, kalo pun belum sarjana, bisa ditulis kaya’ gini:
H. Jamal Irfani bin H. Achmad, putera betawi asli, bisa juga
Jamal Irfani (puteranya Bapak H. Achmad - mantan Kepala Desa Gombel Jaya), atau
Jamal Irfani (putera daerah asli), atau variasi lain
Jamal Irfani, anak Pak RT Achmad
Dan masih banyak model lainnya.
ASPEK JAMINAN / AGUNAN
Kalo di tempat saya kerja, doktrinnya selalu: Agunan itu adalah second way out. First way out adalah pembayaran angsuran nasabah dengan lancar.
Artinya,
aspek agunan/jaminan bukan menjadi satu-satunya pertimbangan sebuah
permohonan kredit disetujui atau tidak. Tapi tetap saja, tanpa adanya
jaminan/agunan bisa jadi si permohonan tadi bakal di-reject. Jadi bukan yang dianalisa pertama, tapi tetap jadi salah satu penentu.
Saya
nggak tau ya kalo di bank lain mungkin ada yang berpandangan, yang
penting jaminan bisa nutup nilainya terhadap kreditnya, maka permohonan
bisa cair.
Lain halnya di tempat kerja saya. Doktrin
selanjutnya yang saya terima adalah: “Ini bank. Bukan pegadaian.”
Artinya kalau satu-satunya pertimbangan adalah agunan, sebaiknya calon
Nasabah berangkat saja ke pegadaian. Sehingga nantinya kalo ngga bisa
bayar, ya udah, lelang aja.
Fungsi jaminan akhirnya lebih kepada safety buat bank. Ini hanya jadi pamungkasnya bank, kalo si Nasabah udah kelewat nakal.
Jangan-jangan
malah si Nasabah emang pengen ngejual jaminannya aja. Jadi kalo abis
fasilitas kreditnya cair, besoknya si nasabah langsung nggak bayar.
Kemudian si jaminan dilelang sama bank, “Yah itung-itung jual tanah gue
lah….” Pikir si nasabah. Kan gawat.
Kita tentunya nggak
maulah punya wakil rakyat yang ahli orasi dan kampanye. Giliran disuruh
memenuhi semua janjinya, ybs malah kabur.
Lagi-lagi,
sialnya pada pemilihan wakil rakyat ya begitu itu. Kalo di bank rada
mendingan dikit. Ketika semua proses penagihan, sudah nggak ketemu.
Mungkin sampe harus dibawa ke pengadilan segala, akhirnya si agunan bisa
dilelang. Jadi hasil lelangnya bisa dipake buat nutup utang Nasabah.
Lain banget dengan calon wakil rakyat. Ada jaminan tertentu nggak yang
dipegang sama rakyat untuk memastikan si wakil rakyat tetep kerja bagus
sampe akhir masa jabatannya? Ngga ada? Tuh kan gawat…
Ada KPK? Ybs dipenjarakan? Okelah bisa. Tapi itukan kalo emang ada indikasi kecurangan dan KKN.
Tapi
gimana penanganan kalo si calon wakil rakyat setelah terpilih kerjanya
malah bobo di ruang sidang, main ipad, android, BB, tablet, puyer, sampe
sirup? Apa yang kaya’ gitu bisa masuk ke ranah kerjanya KPK?
Lagian
saya pribadi nggak ngeliat manfaatnya kalo pejabat Negara ditahan KPK
atau pun penjara tanpa adanya pengembalian dana kepada Negara.
Ibaratnya
gini, sempat dulu rame ada pernyataan mantan ketua umum sebuah partai
bilang bahwa kalo beliau terbukti korusi, walau 1 rupiah pun, Ybs siap
digantung di monas. Trus manfaatnya buat saya apa?
Kalo
dia digantung di-monas, manfaatnya buat Negara apa? Apa dengan
digantung, uang 1 rupiah yang dikorupnya itu bisa balik? Apa uang saya
yang dimakan itu bisa jadi manfaat buat saya?
Mendingan
juga disuruh balikin dulu duitnya ke Negara, trus dikarantina dulu di
penjara, biar ngga buru2 nakal lagi. Lalu uangnya bisa dialihkan untuk
subsidi BBM, bangun sekolah, buat saluran air bersih, kirim sepatu ke
anak-anak sekolah, dll.
Ribet banget ya proses pemberian kredit di bank? Emang. Makanya jangan ngajuin kredit di bank. :-)
Kesannya
emang ribet, sebenarnya dengan alas an yang sangat simple. Semua itu
Karena uang kredit yang diberikan oleh bank tidak menggunakan uang milik
bank. Kok bisa?
Iya, itu pake uangnya para
penabung/deposan di bank. Nah, kalo proses pemberian kreditnya nggak
dilakukan dengan hati-hati gimana caranya bank mengembalikan uang si
Nasabah deposan kalo ybs mau ambil dana tabungannya. Bagaimana juga cara
bank ngasih bagi hasil atau pun imbal jasa atas kepercayaan si deposan
untuk menempatkan dananya di bank tsb?
Kalo semua nasabah kreditnya macet semua, dan nggak ada pembayaran, gimana si bank tsb bisa menguntungkan para deposan?
Jadi, kalo ada nasabah kredit bilang, “Duh ribet banget sih prosesnya, Pak…” ya, bisa tau sendiri-lah jawabannya.
TERM AND CONDITION
Memang
ada bank yang prosesnya cepet dan mudah. Analisa yang saya sebutkan
di-atas aja nggak lengkap, eh di bank yang prosesnya mudah tersebut
malah nggak pake analisa sama sekali. Misalnya dalam proses pembuatan
kartu kredit.
Tapi inget, syarat dan ketentuan berlaku itu
selalu ada dalam setiap hal. Kalo emang proses mudah dan syarat
gampang, ada kemungkinan hal lain juga mengikutinya. Misalnya dikenakan
bunga yang cukup gede.
Karena ada faktor risiko yang gede,
makanya si bank menerapkan bungan yang lumayan demi memastikan bank
tetep dapet untung meski ujung2nya si Nasabah berpotensi macet. Yang
penting ada untung – buat bayar risiko tadi.
Atau mungkin, dengan proses yang gampang, akhirnya pada persetujuan kredit, Nasabah diwajibkan macem2 sebelum proses pencairan.
Misalnya:
Syarat Penandatanganan Akad
- Nasabah memberikan SPT tahun terakhir
- Nasabah harus menyerahkan daftar supplier dan rencana penjualan tahun ke depan
- Dll..
Kalo
di-liat, syarat-syarat di atas sebenarnya dibutuhkan saat proses
analisa. Tapi karena dilewatin prosesnya di awal, akhirnya di-syaratin
di akhir. Yah, itu mah bisa-bisanya bank aja..
Kalo ternyata setelah adanya Lembar Persetujuan/Offering Letter Bank/Persetujuan
Prinsip Kredit/Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan dari bank yang
memuat semua syarat yang harus dipenuhi oleh Nasabah sebelum kreditnya
cair dan selama masa kredit berlangsung, si Nasabahnya kesulitan
memenuhi dan merasa kerepotan, ya nggak apa-apa. Tapi itu berarti kerja
sama antara bank dengan calon Nasabah ybs, berakhir. Nggak ada yang rugi
(paling-paling marketingnya sedih karena berarti mangsanya ilang.. :-) )
Balik
lagi ke pemilihan wakil rakyat, kalo ternyata rakyat yang mau dipikat
mintanya aneh-aneh. Pengen banget kenal dengan si calon wakil rakyat
dengan amat mendalam, dan bikin repot si calon, maka menurut saya,
sah-sah aja kalo si calon wakil rakyat itu mundur.
Berarti
konstituen yang di-carinya bukan yang tipikal kaya’ gitu. Cari-lah
calon konstituen lain yang bisa ngimbangin maunya calon wakil rakyat.
Yang cukup dikasih poster, kaos, dan hal lainnya lantas bersedia
memilih.
Bebas, Bung.
EPILOG
Pertanyaan
besar yang muncul akhirnya adalah apa motif sebenarnya di balik
keinginan majunya para calon wakil rakyat itu menjadi seorang wakil
rakyat?
Kalo untuk pemberian kredit bagi seorang pelaku
usaha sih wajar saja. Dengan mengajukan kredit ke bank, maka
dimungkinkan terjadinya peningkatan omset usaha atau pun efisiensi biaya
operasional yang ujungnya berdampak pada laba bersih yang dihasilkan.
Jika sudah begitu, berarti keuntungan bagi perusahaan dan si pengusaha
sudah jelas di depan mata.
Sama halnya dengan mereka yang
mengajukan kredit untuk keperluan konsumtif semisal beli rumah mobil,
atau pun kapal pesiar. Dengan adanya kredit dari bank, mereka jadi bisa
membeli itu semua. Ujungnya ya keuntungan juga bagi mereka.
Lah, tapi kalo buat wakil rakyat?
Dana kampanye mereka aja udah luar biasa gede kok. Berdasarkan info dari laman detik.com (klik di sini untuk baca artikelnya), biaya untuk kampanye seorang calon wakil rakyat di kelas DPRD hingga DPRRI berkisar pada Rp 300 juta hingga Rp 9 milyar.
Trus apa yang mereka cari dengan jadi wakil rakyat? Gaji anggota wakil rakyat?
Halah!!
Pun kalo balik modal, mesti butuh waktu yg lama banget. Itu juga kalo
kepilih. Kalo engga? Makanya biasanya rumah sakit jiwa bakal full dan
overload ba'da pemilihan umum.
Katakanlah gaji wakil rakyat di kisaran Rp 30-50 juta. Dikalikan dengan masa jabatan yang 5 tahun, berarti 60 bulan.
Maka dengan gaji "sekecil" itu, maksimal mereka cuma bisa dapet Rp 3 M. Itu pun kalo full selama 60 bulan menjabat.
Kalo
menurut saya, dengan berbagai kemungkinan ngga terpilih, mendingan kalo
punya uang sebesar itu, diinvestasikan di sektor2 yang jelas return-nya tinggi sehingga balik modalnya juga kenceng.
Misalnya
beli emas berkilo-kilogram, invest di properti, deposito di bank yang
bunganya gede ampun-ampunan, atau buka usaha aja sekalian. Dana mereka
aman, dan keuntungan jelas di depan mata.
Jadi apa motifnya? Tau ah gelap..
-----------
Ini saya ngomong apa sih? Panjang amat. Puyeng ngga? Bosen bacanya? Sama!
Posting Komentar
Posting Komentar