Aan: Rizki yang Nilainya Lebih dari Uang

Posting Komentar
“Haahh…” sedikit rutuk terdengar dari mulut mungilnya. Seulas senyum muncul meski terkesan dipaksakan.

“Kenapa An?” tanyaku penasaran.

“Ini Mas. Entah kenapa gajiku kok malah berkurang ya bulan ini..”

“Loh kok bisa?”

“Ini nih, tunjangan yang biasanya muncul, kok malah jadi minus ya..”

Kami berdua berpandangan. Bingung.

Kucoba pelajari slip gaji Aan Anshori sahabatku ini. Kucoba otak-atik angkanya. Namun tetap kesimpulan akhirnya aneh.

Di saat seluruh karyawan lain bersuka cita karena adanya kenaikan gaji bulan ini, gaji Aan bulan ini justru mengalami keanehan. Berkurang.

***
rizki yang nilainya lebih dari uang

Kamis malam. Satu bulan yang lalu.

“Iya, iya bentar lagi juga pulang.. bawel amat sih..” Aan terdengar gusar saat menelepon istrinya di rumah.

“Iya, ini kan lagi ada kerjaan. Bentar lagi kok!!”

Aku diam. Mengamati tingkah laku sahabatku ini. Aan Anshori, yang selama ini kukenal lembut dan senang menolong teman-teman satu kantor, kini mendadak berbeda dengan Aan yang biasa kukenal.

Termenung bodoh, akhirnya kuberanikan diri menyapa dan menegurnya.

“Galak amat An…”

“Eh, kenapa Mas?” Aan terkesiap kaget menanggapi celetukanku.

“Yang kamu telepon itu istrimu kan?”

“Iya Mas..”

“Galak amat nelponnya. Sampe kaget. Beda banget sama Aan yang biasa kita kenal selama ini..” lanjutku menambahkan komentar.

“Loh, emang iya Mas?”

“Iya An. Biasanya kan kita kenal Aan sebagai pribadi yang ceria, senang berbagi, paling enak kalau dimintain tolong, empati tinggi kalau sama teman..”
Aan terdiam. Wajahnya bingung.

“Sementara tadi, Aan yang kudengar ditelpon itu seperti Aan yang ingin menunjukkan ke-superpower-an dirinya. Aan yang ngga suka diganggu pekerjaannya dan urusannya dengan kehidupan rumah. Aan yang galak sama istri..” cerocosku seperti kereta uap James Watt.

“Mungkin gitu ya Mas yang keliatan? Tapi istri saya nanggepin saya sambil ketawa-tawa kok Mas…” Aan membela diri.

“Maaf ya An. Aku sih belum kenal sama istrimu. Aku juga ngga tau bagaimana kamu bersikap dengan keluargamu sehari-harinya. Tapi aku yakin An, istri pasti amat ingin bermanja dengan suaminya. Pasti istri ingin sekali dipuji dan diperhatikan suami.” Aku emosi. Lantas aku jadi belagu dan sok kaya’ guru.

“Kadang kala aku sedih kalau ada suami yang memposisikan diri bahwa mereka harus ditinggikan oleh istrinya. Diangkat dan dimaklumi karena posisinya yang ditinggikan oleh Allah dan RasulNya. Tapi kita harus paham kenapa suami diposisikan setinggi itu…” tambahku sambil memuntahkan uneg-uneg.

Tak berhenti sampai di situ, aku menambahkan kuliah malamku pada Aan, “Kita sebagai suami ngga usah belagu dengan status kita yang sebagai suami. Emangnya dipikir kerjaan istri kita enteng? Apalagi kamu An, istrimu setiap hari merawat anak-anakmu yang masih kecil-kecil itu. Sementara kita para suami? Belagu gitu seolah-olah kita adalah orang paling sibuk sejagat raya sementara istri kita cuman sampah ngga berguna..”

Aku berapi-api. Panas hati. Sementara Aan diam meresapi perkataanku yang mungkin menohok. Aku tak peduli dengan perasaannya saat itu.

“Padahal An, kurang apa istri kita? Anak-anak itu ngeberantakin rumah, istri kita yang beresin. Istri kita itu cape banget An. Mentang-mentang kita nyari duit trus kita mikir mereka makhluk rendahan. Padahal mereka cuma minta disayang-sayang sesekali. Dimanjakan.”

“Pada saat kamu sakit, siapa orang pertama yang susah? Ya istri dan anakmu An. Pada saat kamu tua, siapa yang ngurus kamu nanti? Ya istri dan anakmu. Kami yang di kantor ngga mungkin ngerawat kamu sampe segitunya. Siapa yang doain kamu nanti? Ya anakmu. Ya istrimu…”

Aku makin berapi-api. Tapi mulai meredam emosiku.

“Pulanglah An. Istrimu nunggu di rumah. Dia cuma minta ditemani. Besok pekerjaan masih bisa dilanjutkan…”

***

Sore ini, tiba-tiba Aan menghampiriku. Melanjutkan ceritanya tentang gaji dan istrinya. Tepat setelah seluruh pegawai pulang. Sementara aku memang hobi pulang malam.

“Tadi aku sudah ngabari istriku Mas..”

“Tentang apa An?” tanyaku datar.

“Aku jelaskan bahwa gajiku sekarang turun karena tunjangan jabatan yang dulunya ada, sekarang dihapuskan..”

“Trus istrimu bilang apa?”

“Istriku cuma bilang, Iya ngga apa-apa. Semoga ada rejeki lain dari pintu-pintu lain…”

Aku terdiam. Salut dengan sang istri.

“Buatku itu suatu hal yang luar biasa Mas. Padahal selama ini aku galak sama istriku Mas. Buatku ini seperti rejeki lain yang tidak disangka-sangka. Meski bukan dalam bentuk uang. Tapi pengertian dan sayangnya istri padaku, udah sesuatu yang luar biasa Mas…”

Aku terperanjat. Aan yang kuharapkan sudah kembali rupanya.

“Aku pingin banget ngebahagiain istri dan anak-anakku Mas. Semoga suatu hari nanti bisa ya Mas…”

Aamiin. Semoga An. Semoga.

***

--- Cikupa, 29 Agustus 2016 ---
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar