Budi

Posting Komentar
Budi

Pagi itu Budi berangkat sekolah. Pagi-pagi, sebelum mentari terbit dan si jago belum memulai paduan suaranya. Angin masih sejuk, cenderung dingin bahkan. Langit pun masih pekat dengan gulita malam yang belum usai meluntur.

Lamat-lamat, sahut-sahutan muadzin berkumandang dari tiap menara masjid atau pun sekedar pengeras suara butut tempat kecoa, nyamuk, dan terkadang cecurut bermalam. Asyik, Budi menikmati suasana.

Si kecil Budi melangkahkan kakinya. Berbekal sepatu yang kemarin baru dijahit ulang oleh Mang Dahlan, tampak gagah bocah itu melangkah tegap-tegap. Dekat tikungan becek, Budi bergegas. Berkejaran dengan waktu, dan bersicepat dengan putaran detik pada jam dinding yang dipasang di tembok kamarnya. Sholat shubuh.

Budi melangkah. Girang hati, ia hendak bersekolah! Bertemu dengan banyak sahabat dan Ibu Tuti yang cantik tak terperi. Ah, Ibu Tuti, betapa cantiknya dirimu. Dengan sebutir tahi lalat di ujung dagu ranum milikmu. Ah, indah nian.

***

Budi berseragam putih gontai melangkah. Celana merahnya lusuh tak terperhatikan. Ia bingung dengan semua ini. Memikirkan kisah Maosul pagi tadi, ia bingung.

Maosul dalam penuturannya bercerita betapa pamannya, Om Supri berangkat ke sekolah dengan riang. Sederhana, karena hari itu, pinjaman Om Supri hari itu akan dicairkan oleh Bank!

Maosul sudah bercerita bahwa Om Supri telah menjanjikan akan membelikannya sepeda baru dan kapal-kapalan karena Om Supri saat ini sedang banyak uang.

Kebingungan Budi tidak berhenti sampai di situ. Saat menjelang bel istirahat, ia mengamati Ibu Tuti, sang bidadari paginya. Ibu Tuti terlihat murung pagi itu.

Entah mengapa demikian. Sedari pagi saat jam pelajaran pertama berlangsung, Ibu Tuti terlihat tidak antusias seperti biasanya.

Dari bisik-bisik yang ia dengar dari beberapa guru di ruang dewan guru, Ibu Tuti dan suaminya saat ini sedang mempersiapkan perceraian. Budi bingung. Bimbang.

Kerikil di depannya melayang. Budi keras menendangnya, hingga terpental ke sungai. Terpantul tiga kali, kemudian tenggelam.

***

Budi bingung dengan kehidupan orang dewasa. Terlampau rumit dan menjemukan. Disuguhi ini-itu yang berembel-embel tanggung jawab, serta tetek bengek permasalahan hidup.

Entah apa perasaan yang berkecamuk dalam benaknya. Mengapa orang dewasa begitu gembira memiliki hutang? Padahal bukankah semakin banyak hutang, akan semakin mencekik leher untuk ke depannya?

Mengapa begitu seru dengan semua hutang dan pinjaman seolah-olah itu adalah pencapaian yang besar dalam hidup?

Lantas kenapa juga orang dewasa menikah? Apa pentingnya berkasih-kasihan, bersayang-sayangan, untuk kemudian menikah, jika di hari selanjutnya malah bertikai, bermusuhan, hingga kemudian berpisah?

Jika memang berisiko seperti itu, mengapa para manusia dewasa itu masih memberanikan diri untuk bersatu dalam mahligai pernikahan? Bodoh!

Terlampau rumit menjadi dewasa. Budi berpikir keras, apa sebaiknya ia tidak perlu mencapai usia dewasa saja ketimbang akhirnya menghadapi semua permasalahan aneh seperti itu.
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar