Malam kian gelap. Sendiri.
Di sini. Masih di sini.
Sendiri.
Tanpa kamu, dia, atau sesuatu apa pun.
***
Pekat. Memaksakan diri. Bersama kepulan angan. Harap dan asa.
Biarlah mimpi tetap menjadi mimpi.
Sementara kami, aku, atau kita, harus belajar melupakan mimpi.
Atau bahkan mungkin harus belajar melupakan cara bermimpi?
***
Lantas apalagi yang dimiliki kami selain mimpi?
Padahal mimpi adalah barang yang sudah kelewat mewah untuk kami.
Mungkin terutama untukku.
***
Berjuta harap padahal telah kugantungkan.
Beribu angan telah kupatri di atap sana.
Sayang terlampau tinggi.
***
Maka ketika mimpi pun menjadi mewah, angan menjadi keruh, dan harap menjadi tabu, apalagi yang bisa kubayangkan?
Jika mimpi saja tidak boleh kugantung, maka kemana doktrin masa kecil yang selalu berbunyi “gantungkan cita-cita setinggi langit”?
Yang bahkan hingga malam ini pun doktrin kuno itu tidak berubah juga.
***
Pertanyaanku sederhana sekali kini.Siapa saja saat ini yang masih boleh bermimpi?
Jika mimpi menjadi barang mewah, apakah si miskin masih boleh berharap?
Jika mimpi sudah sedemikian kelam, siapa lagi yang akan memutihkan jalan redup yang selama ini bersinar karena asa?
***
Basi?
Ya itulah kenyataannya.
Sementara janji tinggallah janji.
Semua hal manis hanya hal manis kemarin sore.
Bukan hari ini. Besok, apa lagi lusa.
***
Ketika kaki kecilku tidak lagi sanggup berlari, atau pun sekedar melangkah, sebenarnya yang kubutuhkan bukan perintah diam di tempat.
Melainkan ajaran sederhana untuk bagaimana cara menggerakkan jemari.
Bagaimana agar setiap sendi tidak kaku.
Bagaimana agar ligament tidak menjadi kapur.
Yang semakin renta. Uzur, dan akhirnya amputasi.
***
Orang tua, ajari aku. Mungkin kami.
Bagaimana cara melangkah.
Bukan membebani punggung kami yang kini terasa semakin sempit.
Semakin ringkih dan rapuh.
Hentikan langkah kami sejenak. Namun bukan berarti mengunci kami di ruang gelap pekat, yang tiada ventilasi layaknya sebuah ruang isolasi di kamar penjara film-film horor mencekam.
***
Orang tua, mengunci kami bukan sebuah jalan yang kami tau. Melainkan memungkinkah sumpah serapah justru keluar dari mulut kami. Benak kami. Pikiran kami yang kerdil ini.
***
Orang tua, aku ingin sekali boleh bermimpi.
Meski hanya sekali lagi.
***
Cikupa, 26 Agustus 2016
dalam perenungan dan penyesalan dahsyat.
Penuh kutuk tetapi berharap.
Posting Komentar
Posting Komentar