Que Sera Sera

Posting Komentar
"Que sera sera," dengus Haryadi dengan nafas berat.

"Kenapa begitu?" dengan penuh kebingungan mencari jawaban pada setiap gurat wajah kekasihnya itu.

"Lantas mau bagaimana lagi, Yang?"

"Apa memang harus seperti itu?"

"Tidak ada yang salah dengan itu, kan? Que sera sera, whatever will be, will be." Haryadi serak. Menahan tangis yang menggumpal di tenggorokannya.

'Sepertinya begitu ya. Baiklah ..."

Tak berapa lama kelenjar lacrimalis milik kedua insan saling mencinta itu memuntahkan isinya. Air mata mereka tumpah tak terbendung. Entah apa yang akan mereka hadapi ke depan, bahkan mereka pun tidak paham.

***
que sera sera

"Yang, Papa minta kamu datang ke rumah ..." Sheila setengah terisak menyampaikan kabar itu pada Haryadi.

"Ada apa?"

"Kamu udah tau, Yang."

"Kapan?"

“Besok malam, jam 7 malam di Restoran Pondok Dahar Tasik Ibu Dedeh."

"Seperti biasa?" Haryadi meminta persetujuan kekasihnya.

"Que sera sera ..." Sheila lirih menyentak.

"Ya. Que sera sera." Singkat. Namun amat pahit di tiap ruang pada batang tenggoroknya.

"Sayang kamu."

"Sangat sayang kamu.." air mata Haryadi menitik. Basah.
--klik--

Sambungan ponsel itu pun terputus.

***

Restoran Pondok Dahar Tasik Ibu Dedeh, Jalan Raya Pemda Tigaraksa, Tangerang. Pukul 18.45.

"Duhai Alloh Yang Maha Baik, hamba mohon perlindungan-Mu.." ratap Haryadi penuh harap.

45 menit berlalu.

"Haryadi.." suara berat itu menggelegar. Menggetarkan rumah siput dan saluran eustachius Haryadi. Dalam ketukan yang tidak beraturan, degup jantung Haryadi meningkat.

"Panggil Yadi saja, Pak." Haryadi menyahuti sosok berwibawa di depannya.

"Baik. Yadi, apa pekerjaanmu sekarang?"

"Saya mengelola usaha kecil-kecilan, Pak."

"Menarik. Usaha apa?"

"Penggilingan padi. Lumayan Pak, untuk makan sehari-hari." Haryadi bertambah gugup.

"Magnificent!! Bravo!!" Menggelegar! Keras dan menghentak. Suara manusia berwibawa di hadapan Haryadi kian menggemuruh.

"Maksudnya Pak?" Haryadi mencoba kalem. Kayak lembu.

"Ya saya suka dengan anak muda seperti Anda. Masih muda tetapi sudah berupaya mandiri. Apalagi usaha yang Anda tekuni bukan usaha yang biasa ditekuni anak-anak muda seusia Anda.. Coba Anda ceritakan lebih jauh tentang usaha yang Anda geluti."

"Usaha saya sangat sederhana, Pak. Saya hanya melakukan penggilingan padi. Setidaknya dalam satu hari saya dapat menggiling padi sebanyak 5 ton, dengan modal gabah setiap kwintalnya empat ratus ribu rupiah. Hasil penggilingan ini, yang nantinya berupa beras dan dedak pun langsung terdistribusi dalam hari yang sama. Setidaknya keuntungan bersih yang saya terima dari penjualan beras adalah tiga sampai lima ratus ribu rupiah. Sementara dari dedak, saya mendapat dua ribu rupiah untuk setiap kilo-nya."

"Dahsyat. Sungguh dahsyat!”

"Terima kasih, Pak."

"Saya Ukay Kusnandar. Satu hal pesan saya dan saya mau Anda pegang erat-erat. Jaga anak saya, Sheila. Saya tidak mau mendengar dia terluka sedikit pun karena Anda. Jaga dia sama seperti Anda menjaga diri Anda. Selanjutnya, saya mau Anda juga menjaga anak Anda dan Sheila jauh lebih dari Anda menjaga diri Anda dan Sheila. Jaga anak kalian dengan amat sangat."

"Insya Alloh, Pak."

"Kapan rencananya kalian mau menikah?"

"Saya dan Sheila berharap bulan Maret atau bulan April tahun depan, Pak."

"Baik. Kalian jaga kesehatan saja. Urusan katering, pakaian, sewa gedung, dan segala pernak-pernik pernikahan lainnya, akan saya urus."

"Terima kasih banyak, Pak Ukay ."

Pelupuk mata Haryadi menggenang. Basah. Di luar petir menggelegar. Hujan deras mengguyur bumi Tigaraksa malam itu. Sejuk, menambah sejuk hati Haryadi yang terasa amat damai.

***

"Pa, udah makan?"

"Udah kok. Mama?"

"Mama udah."

"Romi lagi apa, Ma?"

"Tuh lagi main mobil-mobilan. Papa mau ngomong?"

"Boleh."

"Halooo..." suara mungil di seberang telepon menyapa Haryadi.

"Halo Dek. Romi udah mam belum?"

"Udah."

"Romi lagi apa sih?"

"Main mbilan. Papa pulang kapan?"

"Papa pulang sebentar lagi ya, Dek. Romi sayang papa dong.."

"Ehmm.. Romi ngga sayang Papa. Romi sayang sama Mama aja.."

"Loh kok, emangnya kenapa kok Romi nggak sayang Papa?"

"Abisnya, Papa ngga pulang-pulang.."

"Iya Dek. Papa pulang ya. Romi tungguin Papa ya.."

"Asiikk.. Iyaa..."
--klik--

Penuh semangat, Haryadi bergegas meninggalkan pabrik dan menuju rumahnya. Menimang Romi yang mungil dan mencumbu Sheila dengan penuh kasih.

***

"Pa..Paapaaa!!" Sheila histeris memanggil Haryadi.

"Ada apa, Ma?" Haryadi panik. Enam tahun pernikahannya dengan Sheila belum pernah Haryadi menemukan Sheila sehisteris itu.

"Romii.. Pa..."

"Kenapa, Ma? Kenapa Romi, Ma? Kenapa?" Haryadi histeris. Dia menanyai Sheila dalam jerit.

"Romi kritis. Ketabrak truk sampah..."
--klik--

Haryadi menangis. Menjerit. Romi-nya. Nyawa dan seluruh hidupnya. Cinta yang jauh lebih dalam daripada cintanya pada Sheila dan dirinya sendiri. Romi kebanggaannya.

***

"Ba..bagaimana Dok keadaan anak sayyyaa??" Haryadi berusaha menguasai dirinya.

"Saya mohon Bapak dan Ibu bersabar. Kami upayakan semaksimal mungkin untuk menangani anak Bapak dan Ibu." penuh wibawa, dr. Dede meyakinkan dua pasangan yang diselimuti duka itu.

"Anak saya akan selamat kan, Dok? Iya kaan, Dok?" Sheila tak kuasa membendung air mata yang terus membanjir. Deras.

"Kami akan berusaha, Ibu. Saya minta Ibu agar tidak putus-putusnya berdoa untuk keselamatan Romi.." tak terasa, pelupuk mata dr.Dede turut basah. Dokter muda penuh empati ini memang sosok teladan yang amat memperhatikan para pasien yang ditanganinya.


Tiga jam kemudian


"Pak Haryadi, Ibu, ada yang harus saya sampaikan pada Bapak dan Ibu." Berat. Namun dr. Dede tetap harus menyampaikan. Sepahit apa pun.

"Ya Dok?"

"Keadaan Romi sudah sedemikian parah. Tulang rusuknya patah dan menekan paru-parunya. Kekhawatiran kami sebenarnya bukan hanya itu karena nantinya paru-paru ini akan dapat dikembangkan lagi dengan terapi nafas yang dilakukan.."

"Lantas Dok?" kejar Sheila.

"Masalah utamanya adalah beberapa tulang rusuk yang patah itu menusuk jantung Romi, sehingga jantung Romi mengalami kebocoran hebat di beberapa titik. Setidaknya ada lima titik yang tertusuk rulang rusuk. Ditambah lagi, tekanan dari tulang belikat di punggung membuat bentuk jantung Romi tidak lagi presisi.." pahit sekali rasanya air ludah yang dikeluarkan enzim ptialin dr. Dede kala menyampaikan berita itu pada pasangan muda yang amat cemas tersebut.

"Tapi... tapi, Romi bisa sembuh kan Dok?" lagi-lagi Sheila memulai histerisnya.

"Kami sudah mencarikan donor jantung untuk Romi, Ibu. Namun sulit sekali, Ibu. Kita tentu paham akan hal itu."

"Berapa persen kemungkinan selamat jika Romi memperoleh jantung baru, Dok?" Haryadi berusaha menjaga rasionalitasnya di tengah deraan pedih yang menusuki jantung dan hatinya.

"Kira-kira lima puluh persen, Pak."

"Baiklah..." Haryadi menggenggam jemari istrinya erat. "Maafkan Papa ya, Ma.."

"Bagaimana maksudnya Pak?"

"Kita pakai jantung saya, Dok. Kapan Dokter dapat melakukan operasi?"

"Papa!! Apa maksud Papa?" Sheila tergugu. Kepalanya panas.

"Pak Haryadi, sepertinya Bapak tidak mengerti keadaan yang sedang terjadi saat ini. Jika Bapak mendonorkan jantung Bapak, maka Bapak dipastikan tidak akan mampu bertahan hidup. Ditambah lagi peluang hidup Romi pun tidaklah besar."

"Dokter Dede, Romi adalah hidup saya. Dia adalah segalanya untuk saya. Mengenai peluang hidup yang akan dilalui Romi, asal dokter tau, meski hanya setengah persen, peluang itu akan saya upayakan. Ambil jantung saya, Dok."

"Papa!!"

"Maafkan Papa ya, Ma..."

***

Dua menit sebelum masuk ruang operasi


"Ma, udah dong nangisnya.." suara Haryadi lembut menyapa istrinya. Meneguhkan hatinya sendiri dan berupaya tegar menyambut detik-detik terakhir hidupnya.

"Pa, Mama sayang Papa. Sangat sayang Papa.." tangis Sheila pecah. Semua perawat mengiba teriris rasa melihat keadaan sepasang kekasih tersebut.

"Yang, nangisnya udahan dulu ya. Nanti Ayang jaga Romi baik-baik ya. Jaga Romi. Untuk aku. Untuk kamu. Untuk kita. Selamanya, aku sayang kamu, Yang.." basah. Mata Haryadi berkaca-kaca.

"Sangat sayang kamu, Yang.." perlahan Sheila mengecup kening Haryadinya yang tercinta.

"Yang..." Haryadi tersenyum menyambut kecup istri tercintanya.

"Ya, Sayang?"

"Que sera sera. Whatever will be, will be ..."

"Ya, que sera sera."


****
Balaraja, 30 November 2010
-dilakukan sedikit editing di Cikupa, 26 Agustus 2016-
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar