Jika disebutkan bahwa harta merupakan salah satu ujian, saya cukup paham. Yah mengingat cukup sering permasalahan harta ini bikin perasaan galau dan cemas.
Nah, tapi kalau perihal kurban dan berkurban, yang secara langsung maupun engga berkaitan dengan harta, maka hal itu baru benar-benar saya rasakan sekarang.
Sekarang tahun 2016. Artinya di akhir tahun nanti, kalau saya masih hidup, saya ulang tahun yang ke-31. Dan di situlah letak masalahnya.
Selama 30 tahun, pada hari raya Idul Adha bukan sekali dua kali keluarga saya berkurban. Namun, keluarga yang saya maksud di sini bukan keluarga yang saya bina bersama istri dan anak saya.
Ya, keluarga yang saya maksud adalah keluarga yang berisi orang tua saya, kakak, dan saya sendiri sebagai anak.
Waktu SD sampai SMA, bukan sekali Orang tua saya berkurban di kala Idul Adha. Kadang atas nama Ibu, kadang Bapak, Kakak, atau pun saya sendiri. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kurban bukan barang baru untuk saya.
Mohon maaf sebelumnya. Jujur, tulisan ini sama sekali ngga ada maksud dan tujuan untuk menyombongkan diri. Lagipula apa yang mau disombongkan? Toh, uang beli hewan kurban bukan uang saya. Melainkan uang orang tua saya.
Namun, justru di situ letak pelajaran dan permasalahannya.
Saya hanya berpikir simpel. Uang ada, ya beli. Uang ngga ada, ya jangan beli. Selesai.
Makanya, selama bertahun-tahun kalau Khotib Idul Adha nyinggung masalah kurban adalah sebuah pengorbanan. Menyembelih hewan adalah pengorbanan. Jujur, saya ngga dapet feel-nya. Karena apa?
Ya karena saya terima beres.
Ada uang, beli hewan. Ngga ada uang, ya ngga usah beli. Selesai.
Begitu terus bertahun-tahun. Bahkan hingga saya kerja dan punya gaji (tapi masih belum nikah).
Dan begitu pula dengan rutinitas Idul Adha. Saya berfikir Idul Adha adalah lebaran yang ngga meaning. Ya udah, sebatas rutinitas.
***
Namun, Idul Adha kali ini, 1437 H/2016 M, rasanya beda.
Keluarga saya akan berkurban. Keluarga yang saya maksud adalah keluarga kecil berisi saya, Istri, dan anak.
Apa istimewanya?
Istimewanya adalah karena kurban yang akan kami lakukan bersifat maksa. Ya maksa kurban.
Saya ingat Idul Adha 2015/1436, saat istri sedang nelpon Bapak mertua. Abah (begitu Bapak mertua saya dipanggil) bertanya pada kami.
"Kalian kurban berapa? Kambing atau sapi?"
Jawaban kami simpel.
"Belum kurban Bah..."
Abah membalas, "Diusahakan berkurban. Meski kambing paling kecil ngga apa-apa. Tapi usahakanlah..."
Maka kami hanya bisa jawab, "Iya Bah. Insya Alloh tahun depan..."
***
Terlepas dari omongan kami tahun lalu atau pun bukan, maka kami berupaya agar bisa melaksanakan kurban tahun ini.
Dan dari hasil bongkar celengan, terkumpullah uang yang ngga seberapa. Bahkan kami pun ngga tau uang segitu bisa buat beli kambing atau engga.
Masalahnya muncul ketika saat ini masih awal bulan (Idul Adha 1437/2016 jatuh pada 12 Sept.2016). Sementara dana di kantong dan celengan sudah kelewatan sepi.
Tabungan sebagian besar sudah kesedot buat hewan (tapi si hewan belum dibeli). Pada waktu yang bersamaan, terinformasi bahwa uang kami itu ngga akan cukup buat beli hewan. Karena harga hewan kurban sudah lumayan tinggi.
Maka di situlah bisikan-bisikan jahat mulai bergelantungan di kepala dan pikiran saya.
"Ah sudahlah, kalau uangnya ngga cukup, tahun ini ngga usah kurban."
Prinsip ada uang beli, ngga ada uang jangan beli kembali mengemuka.
Selain itu, bisikan diperparah dengan kekhawatiran saya terhadap dunia dan harta.
"Iyalah, uangnya ngga usah dibeliin hewan dulu. Lagipula uang ngga ada lagi. Sementara saat ini baru awal bulan. Gajian masih lama banget. Mendingan uangnya dipake buat survive..."
***
Pada kondisi seperti ini, maka dengan siapa kamu bergaul akan menentukan langkahmu selanjutnya.
Jika kamu bergaul dengan orang yang bilang, "Iyalah, jangan dipaksakan. Toh kan kurban bagi yang mampu. Berarti kita belum mampu. Lagipula Alloh ngga akan menimpakan ujian yang melebihi kadar kesanggupan hamba-Nya..."
Maka otomatis kurbanmu akan batal tahun ini. Lantas berjanji tahun depan akan kurban. Padahal ada dua kondisi yang masih bersifat ghoib ke depannya. Pertama, umur belum tentu sampe ke Idul Adha tahun depan. Kedua, belum tentu tahun depan dananya ada.
Kalau dipikir-pikir, 5 tahun terakhir banyak banget pemakluman yang kami buat untuk masalah kurban ini.
2011 ngga kurban karena baru nikah. Ibu baru meninggal (apa hubungannya?)
2012 ngga kurban karena persiapan biaya persalinan.
2013 ngga kurban karena emang ngga kurban (ngga ada kejadian istimewa yang bisa dipake buat alasan)
2014 ngga kurban karena dana kesedot buat benerin rumah.
2015 ngga kurban karena ngga ada duit (lagi-lagi ngga ada kejadian istimewa)
***
Syukurlah kawan bergaul dan curhat saya adalah istri saya. Istri saya adalah cewe' paling kece dan paling paham tentang siapa saya. Doi ngga akan ngasih kesempatan buat pikiran jahat saya berkembang.
Ketika saya menjelaskan kegelisahan saya, istri saya hanya menjawab, "Kurban aja Yah. Insya Alloh ada kok buat ke depannya..."
***
Sudah selesai? Belum ternyata.
Sebelum hewannya kamu dapatkan, kamu bayar, atau minimal kamu DP-in, maka peluang untuk pikiran jahatmu muncul masih besar.
Mari kita balik ke masalah bahwa dana yang kami kumpulkan disinyalir kurang banyak banget untuk dapetin seekor hewan kurban bahkan yang paling kecil pun.
Maka pikiran keji saya muncul lagi. "Ayo kita cari hewan. Tapi kalo ngga ketemu, berarti ngga usah ya..."
***
Maka saya, Istri, dan anak saya pun mencari hewan untuk kurban.
Kami tanya harga ke satu tempat. Memang mahal. Dana kami masih lumayan jauh.
Pikiran jahat saya makin kuat.
Sampai akhirnya kami tiba di satu tempat lain.
Eh, kok harga domba ukuran sedang di tempat ini ngga seberapa jauh dibanding dana tabungan kami...
Maka saya pun beraksi. Sedikit tawar menawar. Alhasil dapatlah domba seharga yang kami inginkan. Agak naik 5% dari budget. It's oke-lah..
DP pun saya keluarkan. Dan tiba-tiba saya lega.
***
Esensi kurban yang menyerahkan hal yang paling kamu sayang tengah saya alami. Saya amat sayang dengan uang yang menurut saya bisa ngejaga saya dan keluarga untuk survive bulan ini.
Di saat kami mengalami paceklik keuangan saat ini, kami malah mengeluarkan sejumlah dana besar untuk berkurban.
Saya berserah diri pada Alloh. Saya yakin bahwa Alloh ngga akan menelantarkan saya dan keluarga. Ada keyakinan juga bahwa Alloh akan membukakan pintu rizki sebanyak helai rambut hewan ternak yang kita kurbankan.
Satu hal yang tidak kalah penting, saya makin yakin bahwa istri saya adalah orang paling fit untuk saya. Perempuan paling ajaib yang selalu mendukung saya dan penuh pengertian terhadap saya.
Oleh karenanya, jika kamu jomblo atau sedang pacaran, seberapa yakin pacarmu fit dengan kamu? Pacaran lama ngga akan pernah menjamin bahwa dia yang paling sanggup menghadapi kamu.
Percaya atau engga, kalau kamu jomblo atau masih pacaran, maka berarti saya jauh lebih berpengalaman daripada kamu. Dan berdasarkan pengalaman saya, sekitar 50% bahkan lebih dari aktivitas atau tindakan yang dilakukan seorang pacar terhadap pacarnya adalah bohong atau minimal bukan wujud dirinya yang sesungguhnya. Melainkan jaga image kita di hadapan pacar.
Maka alih-alih pacaran jutaan tahun, langsung terima aja kalau ada yang datang melamar atau menawarkan diri jadi istri... 😁
***
Kurban. Semoga keluarga saya belajar banyak kali ini.
Yang paling dahsyat, saya nikah tanggal 9 September. Maka setelah si domba saya DP-in, istri saya bilang, "Ayah, dombanya hadiah ulang tahun pernikahan kita ya..."
***
11 September 2016. Mau sahur, sambil nunggu si domba dianter.
Alhamdulillah keluarga kecilku sudah memahami ini dr awal menikah. Berkurban bagi kami merupakan cerminan seberapa besar cinta qt kepada Allah sebagaimana kisah Nabi Ibrahim dahulu. Jd lbh baik menyisihkan uang utk berkurban setiap tahunnya. Terimakasih cerita bagusnya...
BalasHapus