Solihin Kangen Ibu

Posting Komentar
“Bu, kalau Lihin ikut Ibu, apa Ibu akan baik sama Lihin?”

***

“Anak kurang ajar! Bapak tuh capek, Lihin. Kenapa, sih kamu enggak bisa kasih waktu buat Bapak istirahat barang sebentar!”

“Maaf, Pak. Lihin—Lihin cuma mau tanya PR ke Bapak …”

“Ya, kan tapi bisa nanti, Lihin. Bapak capek! Seharian Bapak rapat ini-itu.”

“I—iya, Pak. Lihin minta maaf—”

“Iya iya. Udah sana! Kamu keluar dulu! Bapak mau istirahat!”

Trisno membenamkan wajahnya ke atas bantal. Dadanya bergemuruh. Ia lelah. Teramat lelah hingga ia tak sadar di balik pintu kamarnya seorang bocah sembilan tahun terisak pelan. Sang bocah tak ingin omelan lain mendarat di ruang dengarnya lagi malam ini.

Solihin, bocah malang itu menekap mulutnya kuat-kuat. Ia tak ingin sang ayah terbangun karena tangisnya. Solihin menggigit bibirnya keras. Cairan merah merembes dari bibir bersamaan bau anyir bercampur rasa besi menusuki rongga mulutnya. Ia takut.

***

Solihin tidak pernah menduga kebersamaannya bersama sang kekasih hati—ibunda tercinta—harus berakhir sedemikian cepat. Tepat saat ulang tahun yang ketujuh, Solihin harus menemui hal paling mematahkan hati.

Sebuah minibus berjalan begitu kencang menyongsong ibu dan anak itu manakala mereka hendak pergi ke toko mainan. Sang ibu telah berjanji membelikan boneka Batman untuk Solihin. Nahas, benturan dahsyat sore itu melempar tubuh perempuan 30 tahunan itu hingga beberapa meter dan terempas ke sebuah pohon.

Solihin selamat karena ibu sempat mendorongnya ke tepi jalan. Sementara sang ibu, remuk redam di sekujur tubuh. Paru-paru bocor di beberapa titik lantaran tertusuk tulang rusuknya sendiri. Sebuah ranting besar menancap tepat di perut.

Solihin melihat seluruh kejadian. Mata kecilnya merekam setiap detik yang melintas di hadapan. Ia terluka akibat goresan ketika terlempar kembali ke trotoar. Akan tetapi, semua itu sama sekali tak sebanding dengan dengan apa yang meradang di hatinya. Luka besar menganga itu tak akan pernah sembuh.

***

Solihin tak pernah mengutuk pria kelelahan di sudut kamar itu. Dia tahu bahwa bapaknya berjuang sekuat tenaga untuk hidupnya—dan juga ibunya ketika masih hidup. Trisno, sang ayah, senantiasa berupaya memfasilitasi hidup mereka. Solihin tahu, kerja keras yang kerap dilakukan sang ayah tak lain adalah wujud kasih sayang. Setidaknya itu yang ayah dan ibunya selalu katakan sejak dulu.

“Pak, Lihin kangen Ibu,” ujar Solihin setelah satu minggu kematian sang ibu.

“Iya, Sayang. Bapak juga.”

“Pak ….”

“Iya, Pinter?” Mata Trisno menatap buah hatinya penuh kasih sayang. Ia begitu rindu pada istrinya. Akan tetapi, ia sadar betapa lelaki kecil di sampingnya itu tentu jauh lebih merindu.

“Kalau Lihin nanti ada PR, gimana? Kan selama ini, Ibu yang selalu nemenin Lihin belajar.”

“Lihin tenang aja, ya, Pinter. Kan ada Bapak. Gini-gini Bapak dulu anak pinter loh di sekolah.” Trisno tersenyum. Jemarinya mengacak rambut sang buah hati tercinta.

“Bapak janji?”

“Janji!” Tanpa permisi, kelingking Trisno menggamit kelingking mungil Solihin sebagai tanda kesepakatan di antara keduanya.

***
Solihin kangen Ibu

Perempuan itu hadir hanya untuk diam di sudut gelap kamar Solihin. Awalnya, jantung Solihin berdetak hebat ketika mendapati rambut panjang sepantat sang wanita tertangkap ekor matanya. Jantungnya seakan melompat keluar ketika ia temukan pemandangan yang teramat mengerikan hadir kemudian.

Perempuan bergaun putih kekuningan dengan noda darah memenuhi seluruh pakaian itu jauh dari kata cantik. Sebutir bola mata menggantung hampir terlepas dari kelopak mata kiri sang wanita. Sementara kelopak lain menyisakan lubang berwarna kehitaman. Bolong tanpa keberadaan mata di sana.

Tengkorak retak tampak di sela kulit kepala yang koyak dan dipenuhi luka. Borok bernanah menghiasi pipi juga sepanjang leher yang tak tertutup gaun.

Solihin terpaku. Ia tak dapat bergerak. Matanya berusaha terpejam. Namun, tampilan perut berlubang seukuran batok kelapa dengan usus dan lambung robek yang terpampang jelas, membuatnya tak dapat terpicing sedikit jua. Organ-organ berwarna merah keunguan di sana membawa bau menyengat yang tak dapat digambarkan dengan kalimat apa pun.

Solihin hanya dapat menelan ludah manakala mata kanak-kanaknya mendapati belatung-belatung gemuk putih kekuningan tampak meliuk melintasi tiap organ yang ada.

“Jangan—ampun ….” Solihin tak mampu berkata. Jeritnya bagai diserap semesta. Ketakutan begitu keras melanda. Akan tetapi, bahkan untuk sekadar menjentikkan jemari ia tak mampu lakukan.

Perempuan di sudut kamar tersenyum kepadanya. Tangan kurusnya seolah memberi isyarat yang entah mengapa dapat Solihin pahami.

“So—So … Li … Hiiin …”

***

Perempuan itu menemuinya setiap hari. Pada hari keempat, tak lagi ada ketakutan. Solihin merasa kehangatan hadir manakala sosok dalam gelap itu datang. Ia justru merasa tenang yang teramat dalam. Meski makhluk dari sudut gelap itu tak melakukan apa pun, Solihin memahami satu hal. Ia tak lagi kesepian.

“Soo—So … Lihiin …”

“Iya, Bu?” Pada hari kelima, Solihin mengakrabkan diri.

“Iii … kut I … buu …”

“Tapi, Solihin takut, Bu. Kasian sama Bapak juga.” Solihin berjalan mendekat. Bau busuk menyengat yang hadir dari sosok di depannya, kini seakan aroma yang biasa saja baginya.

“Iii … kut I … buu …”

Solihin menggeleng lemah.

***

Pada hari keenam, rasa rindu tak henti menggedor dada. Solihin bingung, perempuan yang kerap ia panggil Ibu tak hadir menyambangi. Ia gelisah.

“Pak ….” Dengan rasa takut Solihin menyapa sang ayah di ruang tengah.

“Iya, Sayang?”

“Bapak sayang sama Lihin?”

“Ish, ya iyalah. Kamu nanya apa, sih? Udah sana, tidur deh. Kan besok masuk sekolah.”

“Iya, Pak.”

***

Tiga hari berselang, rasa bahagia memenuhi relung jiwa pria muda berambut keriting itu. Ibu kembali datang menemuinya. Setengah cemberut, Solihin menggerutu pada sosok di sana.

“Ibu, ih … katanya sayang sama Lihin. Kok Lihin ditinggalin?” Rajukan itu tak ayal menyunggingkan seulas senyum tipis pada bibir berdarah sang perempuan.

“Iii …kut Ibuuu, Liihiin …”

Solihin tak henti menatap perempuan di hadapannya. Pandangannya tak beranjak dari wajah pucat itu.

“Bu, kalau Lihin ikut Ibu, apa Ibu akan baik sama Lihin?”

Sebuah anggukan perlahan hadir dari tiap sendi putar leher sang perempuan. Dalam waktu yang tak terlalu lama, tangan kering pucat terjulur seolah menggapai tubuh sang bocah. Kuku-kuku hitam panjang terus melambai meningkahi waktu yang seolah berhenti. Solihin terpaku. Tangannya mulai terentang ke arah sang perempuan berpakaian kusam itu.

Kerinduan tak bertepi menggerakkan kedua kaki. Ia merengkuh Ibu. Peluk hangat melingkupi seluruh tubuh Solihin. Darah dari lambung yang terbuka, rembes dan membasahi kaus kuning yang dikenakan.

Seketika pucat dan dingin menyelimuti seluruh permukaan kulit anak kelas 3 SD itu. Kulit kering bersisik sang perempuan bergesekan dengan kulitnya. Beberapa kuku hitam tak dinyana ikut menggores dan menyisakan luka terbuka di punggungnya.

Solihin tidak peduli. Hatinya hangat.

***[][][]***

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar