Ayah tidak memberikan banyak peninggalan untuk kami. Kata Ibu, barang berharga ketika Ayah meninggal hanya beberapa potong baju, empat lembar uang lima puluh ribu, dan sebutir kelereng sebesar bola bekel. Kelereng yang tidak pernah lepas dari genggaman tanganku.
Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika bagaikan kilat, Ryo menyambar kelereng itu dari tanganku. Berlari sekuat tenaga dan berhenti di depan sebuah rumah. Rumah Pak Mur.
“Ryooo, kembalikan gundu Mia!” teriakku sekuat tenaga.
“Ambil sini kalau berani. Weeek!” Ryo mengejekku sembari menjulurkan lidahnya. Ah, geram betul rasanya. Bergegas kupacu kaki ini menuju ke tempatnya. Sedikit lagi, lima meter lagi!
Tanpa kuduga, tangan Ryo bergerak. Kelereng kesayanganku dihempas kuat ke arah jendela rumah Pak Mur. Jendela kaca berdenting pecah berhamburan. Pecahannya tersebar ke berbagai penjuru.
“Weeek!!” Ryo berlari. Sementara aku, menahan napas yang tersisa. Satu-satu.
***
“Bu Min enggak usah kerja di sini lagi! Gaji Ibu bulan ini juga enggak saya bayarkan sebagai uang pengganti kaca jendela Pak Mur yang si Mia pecahin!” hardik Bu Shofa kasar sembari mengusap rambut Ryo, putra mereka.
Tubuhku bergetar hebat. Aku tak bisa menyembunyikan amarah. Namun, di sisi lain, rasa takut merayapi setiap sudut tubuh. Aku melihat mata Ibu basah bercucuran air mata.
“I—iya, Bu. Saya dan Mia minta maaf, ya, Bu. Minta maaf, ya, Pak. Mohon Bapak dan Ibu masih mengizinkan saya bekerja di sini. Biarlah saya tidak usah digaji untuk beberapa bulan ke depan. Mohon izinnya, Pak, Bu ….” Ibu mengemis sembari membungkuk.
“Mau berapa bulan? Sudahlah, malas saya melihat muka Ibu. Pergi sekarang!” Pak Shofa yang tidak pernah banyak bicara, kini turut naik pitam. Wajahnya memerah layaknya kepiting rebus.
Mataku tak lepas dari Ryo. Dari balik ketiak ibunya, kulihat ia tersenyum penuh kemenangan.
***
Belasan tahun berlalu, selepas kematian Ibu, aku berjuang sendiri. Bekerja serabutan demi dapat menghidupi diri dan membayar uang kuliah. Betapa aku diliputi rasa bangga ketika menziarahi makam Ibu seraya menunjukkan ijazah.
“Bu, Mia sudah selesai kuliah. Mia sudah jadi perawat sekarang.”
Selang beberapa bulan, kekasihku melamar pada sebuah makan malam yang teramat indah. Dipenuhi banyaknya balon merah muda, suasana kafe tempat ia mengajakku makan malam menjadi teramat romantis.
Usai dari kamar kecil, ia kembali ke meja kami. Membawa seikat mawar merah dan boneka beruang merah muda. Kupeluk boneka lembut itu. Mataku berkaca-kaca.
Aku terkesiap ketika dari saku celana hitam itu, ia menyodorkan sekeping cincin mungil dalam sebuah kotak elegan berwarna merah. Kupandangi wajah pangeranku. Amboi, tampan nian ia!
“Mia Rosalina, maukah kamu menjadi istriku?”
Tanpa ragu, anggukan kepala kuberi sebagai tanda kesediaanku menjadi istrinya.
***
“Kamu gimana, sih! Jadi suami enggak peka banget! Itu loh, si Mia diajak jalan-jalan ke mana gitu. Eropa kek, Australia kek. Perhatian, dong!” omel Mama suatu kali. Aku yang melihat seluruh kejadian terkikik sambil menimpali.
“Iya, nih, Ma. Kamu perhatian, dong sama istri …,” ujarku sembari mencubit pinggangnya.
“Aduh … aduh! Iya … iya … ampuuun ….”
Kulirik sekilas. Papa mengamati kami bertiga. Kemudian, awanya ikut membahana dalam ruang tengah yang teramat mewah itu.
***
Diazepam—obat untuk mengatasi gangguan kecemasan yang memberi efek tenang dan mengantuk—sebanyak 25 butir yang telah kumasukkan ke dalam obat batuk hitam agaknya telah mulai bekerja. Batuk pilek yang diderita suami dan kedua mertua mengharuskan aku merawat mereka.
Kini ketiganya telah lelap. Sangat lelap. Wajah tenang dan bahagia terpancar dari raut wajah mereka. Dengan senyum, kukecup kening suamiku.
“Bobo yang tenang, ya, Sayang.”
Kuberanjak perlahan. Bola kaca dari stoples yang telah lama kusimpan, kini kukeluarkan. Iya, tepat tiga butir. Satu per satu, kelereng-kelereng itu kumasukkan ke dalam mulut mereka.
“Selamat jalan, Bapak dan Ibu Shofa. Selamat mati, Ryo Mandala.”
Posting Komentar
Posting Komentar