Aku Hidup untuk Jajan

Posting Komentar
Sejak kecil aku teramat suka jajan. Tak jarang uang saku yang diberikan Ibu habis karena kesukaanku ini. Sirup manis, kembang gula, papeda, telur gulung, dan masih banyak lagi. Bagiku, jajan telah menjadi tujuan hidup.

Seiring berjalan waktu, ragam jajanan yang kunikmati berubah. Sebelumnya, fokus jajanku hanya seputar makanan dan minuman. Beranjak remaja, uang saku kuhabiskan untuk hal yang lain.

Aku mulai membeli aksesori. Topi, gelang, hingga anting-anting tak luput dari buruan. Kau tahu, bahkan aku pernah menghabiskan uang untuk menindik lidah!

Aku tidak terlalu peduli dengan tubuhku yang kata orang terlalu menyedihkan. Tulang kering berbalut kulit. Berpenyakit kulit dengan rambut dan wajah kusam tak terawat. Memangnya kenapa?

Ada yang salah dengan itu? Apa wajahku yang kusam ini dapat menyakiti dan merusak hidupmu?

Aku Hidup untuk Jajan

Usai menyelesaikan studi, kuserahkan ijazah sarjanaku kepada Ibu.

“Ini ijazah Andi, Bu. Andi sudah jadi dokter, ya, Bu. Sudah, ya.”

Kemudian kutinggalkan ia. Tidak ada kebanggaan sama sekali menyelesaikan sesuatu yang tidak kau cintai, ‘kan? Satu-satunya hal yang membuatku bertahan kuliah hanya satu. Aku tak ingin Ibu menangis meraung melihat anak yang ia besarkan gagal memenuhi harapan.

Mau bagaimana lagi, Ibu memang menitipkan cita-cita masa lalunya padaku. Setelah gagal diterima di kampus kedokteran karena dihamili pacar bodohnya, setiap hari—semenjak aku memiliki kesadaran akan dunia—Ibu terus mengajarkan bahwa menjadi dokter adalah sebuah keharusan.

Kini, aku masuk ke dunia baru. Hal yang mengikuti hanya satu. Kesukaanku akan jajan.

Namun, ya begitulah. Aku jajan hal yang lain. Bukan makanan ringan, bukan pula aksesori.

Aku jajan hal yang teramat menarik. Informasi.

Tidak usah terkejut begitu. Aku memang membeli informasi sejak menjadi seorang dokter muda. Uang hasil menyelundupkan kadaver—mayat yang digunakan untuk praktikum kedokteran—kupergunakan untuk mengumpulkan carik-carik informasi.

Setelah seluruh informasi terkumpul, kini ia telah kudapatkan. Ia sekarang berada di rumah kosong yang kusewa tiga bulan silam. Ya, aku jajan informasi apa pun tentang Handoko Prayitno.

Monyet tua itu sekarang sedang asyik terikat. Menikmati tiap sentimeter tubuhnya kusayat setiap hari. Jari telunjuk, daun telinga, lidah, serta mata kanan telah kubelah perlahan. Hari ini giliran bagian tubuh yang mana lagi, ya?

Ah, aku lupa memberi tahu. Kau tentu bertanya-tanya. Siapakah Handoko Prayitno?

Dugaanmu tepat. Dia, bapakku.
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar