Kado dari Mama dan Papa

Posting Komentar
kado dari mama dan papa

Aku seorang anak tunggal. Mama dan Papa teramat menyayangiku. Sejak kecil, mereka memakaikan aku rantai besi yang indah. Aku ditempatkan di sebuah kamar luas dengan terali besi mengilap.

Sudah berapa lama, ya aku tinggal di sini? Entahlah. Aku juga tidak tahu. Satu hal yang pasti, kilap rantai besi dan terali yang dulu cerah berwarna perak cemerlang, kini telah berganti rupa. Kusam kehitaman dengan sedikit karat di sana-sini.

Rantai di leherku terikat kuat di lantai. Meski demikian, Papa selalu baik. Dia membiarkan rantai panjang itu tidak terlalu ketat dikaitkan dengan lantai. Malah aku dapat berkeliling kamarku, memanjati terali, mencabik kasur kumal berbau pesing. Ah, aku suka sekali di sini.

Mama selalu bilang betapa ia menyayangiku. Katanya, meski aku sedikit berbeda dengan anak lainnya, ia mencintaiku apa adanya. Papa pun demikian. Kata mereka, apa pun akan dilakukan demi menyenangkan dan membuatku tumbuh normal seperti kebanyakan anak lainnya.

Terkadang, Mama datang ke kamarku dengan mata sembap. Mata kemerahannya selalu membuatku sedih. Lalu dari jarak dua meter, ia lemparkan sekerat daging kepadaku.

“Makan, ya, Sayang. Mama ingin kamu cepat sembuh.”

Sembuh? Memangnya siapa yang sakit? Aku?

Mungkin Mama bercanda, tetapi aku baik-baik saja. Buktinya rambut yang menjuntai menutupi wajah hingga ke pantat terus berkibar mengikuti gerakku yang lincah. Aku tumbuh kuat dan perkasa, Ma. Jangan khawatir.

Tubuhku begitu bugar. Kuku-kuku tajam menghiasi kedua puluh jemari tangan dan kaki. Sesekali kupandang wajah dari pantulan bayangan di cermin. Ah, gagah sekali.

Papa tak kalah sedih tiap kali menemuiku di kamar. Kacamata tebal ditambah kepala yang semakin botak, membuatnya sungguh berbeda denganku. Aku berambut tebal hampir di sekujur tubuh. Berbibir tebal dengan gigi runcing yang siap merobek apa pun. Sementara Mama dan Papa berkulit halus mengilap, cerah bak pualam. Namun, tak mengapa, setelah dewasa, aku akan secantik dan setampan mereka, ‘kan?

Hari ini, Mama mengutus seorang dokter memeriksaku. Ia datang dengan jas putih dan sebuah suntikan besar. Ah, Mama memang sungguh pengertian.

“Romel, pergi ke pojok! Sana! Sana!” Dokter itu memberi aba-aba kepadaku. Lucu sekali. Dia mengajakku bermain terlebih dahulu. Aku selalu suka dengan kado pemberian Mama.

Setelahnya, tepat ketika dokter berkacamata itu mengambil sebuah catatan di saku celana, cakarku mencabik tubuhnya. Kaki dan pahanya dengan cepat memenuhi rongga mulutku. Mama selalu tahu kesukaanku. Aku yakin, mereka sungguh mencintaiku.

***

Satu bulan berselang. Mama dan Papa tidak pernah mengirimkan dokter lagi ke kamar. Daging pun tidak lagi tersedia dalam lemparan penuh kasih yang sering Mama lakukan. Sebaliknya, mereka menyuguhkanku dengan makanan-makanan bodoh! Brokoli, kubis, wortel, dan berbagai sup yang tidak jelas rasanya.

Mama bilang, ini demi kebaikanku. Sesekali mereka datang berdua menemuiku di kamar. Dengan tatap sedih, Papa mengusap pundak Mama.

“Romel, maafkan Mama, Nak …”

“Mama ….” Air mata berlinang. Kenapa mereka berubah? Apakah mereka tidak menyayangiku lagi.

Tubuhku kian kurus. Aku tidak suka sama sekali dengan sayur-mayur yang mereka beri. Aku benci! Aku coba menerobos terali. Merusaknya, tetapi sia-sia. Terali terlalu kuat.

***
kado dari mama dan papa

Hampir tiga bulan mereka menyiksaku. Awalnya kupikir, mereka tengah mempersiapkan kejutan. Akan tetapi, apakah sebuah kejutan perlu dipersiapkan sedemikian lama?

Hingga akhirnya, Papa datang. Ia membawa seember potongan ikan segar. Hidungku menangkap aroma amis yang nikmat itu. Lidahku terjulur, air liurku menetes deras.

“Papaa …” Mataku berbinar.

Papa menurunkan ember ikan itu. Ia berdiri tidak jauh dari terali yang memisahkan kami berdua. Aku hendak menjangkaunya. Wajah sendunya begitu memperlihatkan kesedihan. Ia pasti membutuhkan pelukan. Kena!

Tubuhnya terengkuh pelukku meski terhalang terali. Bunyi gemeretak tulang mengisi ruang dengarku. Darah segar mengucur dari mulutnya. Ah, Papa sungguh baik! Ia memberiku darahnya sebagai hadiah!

Kutarik sekuat tenaga hingga Papa melewati terali. Tulang tangan dan kakinya terlepas dan terpatah. Aku sayang sekali padanya. Kukulum wajah tampan itu. Hingga akhirnya, kurasakan ada rasa sakit yang mengganjal ketika kakinya memasuki mulut.

Ah, besi sial.

Eh, ini kan kunci rantai leher dan kamarku? Rupanya ini kado yang mereka persiapkan!

Aku coba membuka gembok yang bertahun-tahun menghiasi kamar ini. Terbuka! Dalam sekejap, rantai pengikat leherku berhasil kulepas.

Aku mau naik ke tempat Mama, ah! Akan kukejutkan ia dengan kedatanganku. Mama pasti gembira!
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar