Kalau ada hal yang paling kuinginkan, sudah tentu hal itu adalah berlibur. Ke mana saja boleh. Bahkan, tidak ke mana-mana pun tak jadi soal. Satu hal yang pasti, aku ingin berlibur. Meski hanya satu hari.
Aku masih menjalani hari-hari dengan ritme yang sama, bertemu orang-orang yang sama, dan permasalahan yang serupa. Hal yang membedakan hanya satu: tumpukan kekesalan lantaran kedunguan yang tak kunjung membaik.
Kupikir, dengan irama pekerjaan yang tak pernah berubah, orang-orang di sekitar akan semakin pintar. Mampu menentukan ini dan itu tanpa perlu menunggu instruksi. Mampu menentukan apakah sesuatu layak dipertahankan, dibuang, atau dimusnahkan saja sekalian.
Nyatanya? Irama monoton tak membuat orang-orang belajar dari masa lalu. Kegoblokan tetap terjadi, padahal waktu berlalu tanpa pernah ada niatan untuk berhenti.
Aku pulang dengan penuh kekesalan. Apalagi kalau bukan karena kebosanan yang menumpuk tanpa henti. Barangkali, anak-anak buah yang berada dalam supervisiku memiliki level intelegensi setingkat cacing pita. Goblok bukan kepalang.
Mobil kuparkir begitu saja. Rumah kumasuki dengan semangat yang tak menyala sama sekali.
“Home, nyalakan audio. Air Supply. Good Bye.” Kuaktifkan perintah suara. Yah, sudah dua tahun terakhir kumanjakan diriku dengan memasang berbagai perangkat rumah pintar.
Sistem komputer yang kunamai Home, merespon suaraku.
“Suara terkonfirmasi. Selamat datang, Nona Andrea.”
“Terima kasih, Home,” jawabku membalas sapanya. Huh, bahkan mesin pun mampu berbasa-basi. Mengapa cecunguk-cecunguk kantorku sedemikian tolol?
“Memutar lagu. Good Bye dari Air Supply.”
Perlahan lagu yang menemani masa kecilku terdengar. Lantunan nada indah yang tak pernah membuatku jemu, mulai mengisi ruang-ruang rumah yang kumasuki.
“Home, siapkan segelas caramel latte!”
“Terkonfirmasi. Menyiapkan caramel latte.”
Langkah membawaku ke kamar tidur. Lekas-lekas kutanggalkan seluruh pakaian yang menggangu ruang gerak. Blazer hitam pemberian Jason kulempar sembarangan. Tanpa busana, kumasuki kamar mandi. Agaknya, guyuran air hangat akan dapat menenangkan.
Air mengucur deras. Seluruh tubuh terbasuh penuh. Kedamaian menyeruak. Bring Me to Life dari Evanescence pesananku sebelum mandi lamat-lamat terdengar.
Mataku terpejam. Aku menekuri seluruh rangkaian hidup yang berlalu. Membosankan.
Air hangat terus membanjiri tubuh. Meluruhkan penat juga lelah yang mendera.
“Home?” Mendadak air pancuran berhenti. Apa maunya mesin ini?
Senyap. Aku hanya mendengar suaraku sendiri.
“Home?”
Takada jawaban terdengar. Kusadari sesuatu. Takada lagu yang terdengar lagi. Ah, durasi lagu pilihanku terlalu singkat rupanya.
Kujalankan mode manual untuk memancarkan kembali air pancuran. Kuputar kran ke arah kiri. Posisi tengah mengarah ke arah merah. Hangatnya air kembali mengalir.
Mataku kembali terpejam. Usapan lembut, kusapukan ke seluruh tubuh.
“Home! Ayolah! Aku tak ingin bermain. Berhentilah menggangguku!” Aku memaki mesin konyol itu. Lagi-lagi air mandiku terhenti.
“Sekarang, nyalakan lagi air mandiku!”
Hening. Takada sautan sama sekali dari perintah suaraku.
“Home?”
Langkahku kini tergesa. Ada yang tidak beres sepertinya. Aku ingin segera keluar dari kamar mandi ini. Serta-merta, bulu kuduk meremang.
Tepat ketika tanganku meraih gagang pintu, suara parau terdengar dari belakang tubuhku. Pelan. Namun, jelas.
“Nona Andrea …”
Tidak. Aku tidak pernah memasukkan mode suara seperti ini dalam basis data kecerdasan milik Home.
Tanganku bergetar. Entah mengapa, aku seakan ditumpulkan. Tanganku terasa tak mampu membuka pintu kamar mandi.
“Nonnaaa Andreeaaa …”
Aku terdiam. Meski tak menginginkannya, tanpa sadar, tubuhku berbalik ke arah datangnya suara. Pancuran mandi.
Aku takmampu mendefinisikan yang selanjutnya kulihat. Sosok tua tanpa busana dengan kerut juga gelambir di sana-sini. Laki-laki! Jelas kemaluan kecil keriput menggantung di bawah pusarnya.
Aku takberani menatapnya. Namun, mataku tak jua berpaling.
Lubang menganga sebesar semangka tampak jelas. Jantung, limpa, serta organ dalam tak utuh meneteskan darah. Ada bola putih kusam, seolah-seolah meloncat dari rongga yang seharusnya terisi mata. Lalu, kulit bersisik dengan rambut berkisar empat helai menghiasi kepalanya.
Mimpi! Ini pasti mimpi.
Aku berpaling. Aku tak mungkin melihat ini!
“Nonna Andreeaaa … kaumelihatku, ‘kan?”
Aku bergeming. Tuhan, mengapa mimpi senyata ini?
“Nona Andreeaaaa … jawablah … aku tahu kaumelihatku. Sebab aku pun melihatmu …”
***[][][]***
Posting Komentar
Posting Komentar