Arini, Sahabatku Tercinta

Posting Komentar
Siapa yang tak suka Arini? Kurasa terlalu aneh jika di dunia ini ada yang tak suka padanya. Arini adalah sahabatku sejatiku. Kami berkenalan tepat sehari setelah ia dan keluarganya pindah ke sebelah rumah kami. Lalu setelahnya? Seperti yang telah kalian kira, aku dan Arini menjadi dua sejoli yang tak pernah terpisahkan.

Arini, Sahabatku Tercinta

Jika dipikir-pikir, sebenarnya Arini adalah kebalikan dari diriku. Segalanya!

Jika Arini bertubuh langsing, maka sudah barang tentu aku memiliki berat yang jauh di atasnya. Bayangkan, pada usia ke-12 kini, beratku sudah mencapai 60 kilo!

Arini seorang periang. Hampir semua warga di perumahan tempat kami tinggal, pernah disapa. Mengingat nama pun bukan halangan baginya. Maka, wajar sekali jika semua orang di lingkungan RT-ku tidak bisa tidak suka padanya.

Bukan hanya itu. Bahkan Arini kerap menyapa Pak Jayus pedagang sayur, Bu Idah penjual pecel, hingga Kang Darman yang menjajakan bubur ayam saban pagi. Barangkali, ramah pada semua orang adalah hal yang terlalu remeh dan mudah baginya.

“Pak Jayus, Arini doakan sayur Bapak laris manis,” ucapnya ketika Pak Jayus melintasi depan rumah.

“Amin. Makasih banyak doanya, Rini. Doain juga, dong, biar yang belanja sayur, kagak ada yang ngutang,” sambut Pak Jayus berseri.

“Amin,” jawab Arini cepat. “Semangat jualannya, Pak. Dadah …”

“Dadah, Arini.” Pak Jayus melambaikan tangannya, lalu melangkah terus hingga sosoknya ditelan kejauhan.

Apa yang kalian ketahui tentang Arini barusan, tentu saja berbeda dengan apa yang kualami. Aku sama sekali tidak cakap dalam berbasa-basi, menyapa, apalagi memuji. Aku sama sekali tidak memiliki keinginan apalagi keberanian untuk mengajak orang lain—yang menurut sudut pandangku—asing bagiku.

Kalian tahu, Pak Jayus, Bu Idah, ataupun Kang Darman yang telah bertahun-tahun lewat depan rumahku pun tetaplah orang asing di mataku. Padahal, aku dan keluarga adalah langganan tetap mereka sejak bertahun-tahun silam.

Dampak atas ketidakpedulian pada lingkungan sekitar membuatku dijauhi teman-teman sebaya. Sebenarnya, bukan hanya anak sebaya berusia 4—12 tahun yang enggan bergaul denganku. Orang tua mereka pun bertindak yang sama. Jadilah aku, bocah 12 tahun, baru saja masuk SMP, tidak memiliki kawan yang berkenan berangkat dan pulang bareng dari sekolah. Kecuali satu orang tentu saja. Ya, Arini.

“Kenapa, ya, Rin, aku enggak bisa seluwes kamu? Aku enggak bisa menyapa orang-orang kayak kamu. Kayaknya aku memang enggak ada harapan untuk bisa disukai orang lain, ya, Rin?

“Ih, ngapain kamu mikir gitu? Kamu tuh punya potensi yang banyak banget loh padahal. Di gang kita ini misalnya. siapa, sih, anak yang paling pinter? Ya, kamulah. Udah, ya, kamu enggak usah mikir aneh-aneh.

***

Setengah tahun berlalu, aku dikejutkan dengan pemandangan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Masih ingat benar, saat itu aku baru pulang dari sekolah. Hari itu, Arini tidak menemaniku. Dia tidak masuk sekolah. Kata ibunya, Arini sakit.

Pemandangan tak biasa itu, tanpa ragu menghantam isi kepala. Aku ketakutan manakala garis polisi melintang di sekitar rumahku dan rumah Arini. Orang-orang berkerumun di depan rumah kami berdua. Sesak sekali.

Ada apa gerangan? Apa yang terjadi. Papa, Mama, kalian di mana?

Seorang petugas polisi berwajah pucat keluar dari rumah Arini. Petugas polisi itu tampak begitu terpukul. Entah apa yang terjadi dan apa yang dia saksikan di dalam sana.

“Pak, Arini kenapa? Arini baik-baik saja, ‘kan?” tanyaku panik.

“Kamu ini siapa, Dek?” tanya polisi yang kutaksir berusia 23 tahunan itu.

“Saya mau ketemu Arini, Pak!

“Jangan dulu, Dek.” Pak polisi itu menahanku. Aku tak mampu berpikir jernih. Kudorong tubuh kekar itu. Di saat sang polisi terhuyung, kakiku tak terhentikan lagi.

Air mataku tak terbendung. Aku berlari sekuat tenaga memasuki rumah asri itu.

Tuhan, tolong jaga dan lindungi Arini. Kumohon, Tuhan …

***

Mulutku ternganga. Tubuhku mematung. Tatapan mataku kosong.

Di depan mataku, Arini bersimbah darah. Darah segar membanjir di sekitar tempatnya duduk kini. Kaus putih, serta sekujur mulutnya ternoda oleh darah.

Tepat di samping kanan dan kiri, jasad kedua orang tua terbaring dengan kondisi mengenaskan. Rongga mata berlubang, dengan sisa-sisa darah masih menetes pelan.

Aku mendekat. Berharap Arini tak terguncang melihat kematian kedua orang tuanya.

“Rin …”

Kepala Arini yang sedari tadi menunduk menatap ayah dan bundanya, terangkat. Ditatapnya mataku lekat-lekat.

“Tasya …” Seraut senyum tersungging dari bibirnya. Beberapa orang polisi mendekat dan hendak mengusirku dari sana. Langkah tegap mereka semakin dekat.

“Arini, kamu enggak apa-apa?”

Senyum Arini kian mengembang. Diatur napasnya perlahan.

“Tasya, ini aku sisakan mata Mama. Aku sudah makan mata Papa. Sekarang giliran kamu makan mata Mama, ya …”

***[][][]***

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar