Karena Sahabat Tak Akan Mati (bagian 1)

Posting Komentar
Karena Sahabat Tak Akan Mati

“Yo, Brader! Lagi ngapain lo?”

“Eh, elo, Tin. Biasalah, lagi nyelesain tugas kualitatif. Tugas lo udah beres, Tin?” Ridwan menoleh. Di sampingnya telah berdiri Martin—sahabatnya. Dengan gaya khasnya yang selengean, Martin menggamit lengan Ridwan.

“Ah, gampanglah itu, Bro. Gue mau curhat, nih. Bisa, ‘kan?” Martin menatap Ridwan. Tatapan memelas bak bayi kucing kehilangan induk serta-merta hadir. Ridwan melongo.

“Eh, entar dulu. Bentar lagi selesai. 15 menit!” Ridwan mendengkus. Martin memang kawan yang terlalu lucu. Sikapnya yang easy going terkadang memang tidak pada tempatnya. Sebenarnya bukan terkadang. Terlalu sering malah.

“Kelamaan, Bro! 10 menit?”

“Iye, 10 menit. Sono lo, ah! Gangguin gue aja!” Ridwan mengusir dengan gaya sok ketusnya. Namun, bukannya menurut, Martin malah terkikik.

“Siap, Bro! Bagi gocap, dong. Belom makan nih.”

“Berengsek lo!” Seiring makian yang terlontar, Ridwan dengan cepat mengeluarkan selembar kertas mungil berwarna biru. Mata Martin berbinar. Lekas-lekas disambarnya uang pemberian Ridwan dan beranjak pergi.

***

“Ya elah, Tin. Gue kira mau curhat apaan. Mana gue udah ngebut ngerjain tugasnya tadi!” Ridwan menyemprot Martin habis-habisan. Sementara pria berkulit gelap nan keriting—khas perawakan lelaki dari Indonesia Timur—di depannya cengengesan tanpa rasa bersalah.

“Ah, jahat lo! Ayo, dong, bantuin gue. Gue udah kebelet banget, nih ….” Dengan wajah memelas, Martin memohon-mohon. Mulutnya masih asyik mengunyah. Sementara Ridwan tampak serius menatapnya.

“Eh, Kunyuk! Lo itu udah kebanyakan cewek! Kemaren si Silva anak hukum lo sikat, bulan sebelumnya, Widya anak ekonomi lo gebet. Nah sekarang, lo minta ditemenin ke tempatnya Fitri?” Wajah Ridwan memerah. Kekesalan tampak begitu dalam terpahat di wajahnya.

“Bukan begitu, Wan,” ucapan Martin tercekat, “gue minder sama si Fitri.”

“Minder? Kenapa?”

“Secara, Fitri kan tajir melintir. Lah gue apa? Cuman dagang mi ayam di pinggir jalan. Ini juga kalau lo enggak bantuin, mana mungkin gue sanggup kuliah di kampus elit begini …”

Ridwan menatap Martin. Tajam dan lama. Martinus Marasabessy, begitulah sahabatnya punya nama. Laki-laki berdarah Ambon yang telah kehilangan logat daerahnya lantaran begitu lama menetap di Jakarta itu, segalanya bagi Ridwan.

Laki-laki urakan ini memang istimewa. Ridwan paham benar siapa Martin. Mereka bersahabat sejak SD. Di kala seluruh dunia menjauhi, Ridwan hadir.

Martin memang bukan siapa-siapa. Dia bukanlah anak pejabat tinggi negara seperti dirinya. Martin sebatang kara ketika sebuah tawuran pecah di kampungnya. Sebuah sabetan parang membelah kepala sang ayah kala itu. Sementara sang ibu, telah lama mati ketika melahirkan adik yang turut tak selamat ketika proses persalinan. Di usia ke-10, Martin yatim piatu.

Sudah sejak lama Ridwan mengagumi sosok Martin. Di tengah kesendirian, tak pernah sekalipun Ridwan melihat wajah Martin diliputi mendung. Seakan hidupnya senantiasa bermandikan keceriaan dan kebahagiaan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang selalu ia rasa.

Ridwan, si anak menteri dari berbagai era pemerintahan, tak pernah memperoleh apa yang selalu Martin sebut dengan “hepi-hepi sampai mati”. Ridwan minim dari limpahan kasih sayang. Tak pernah sekali pun ia merasa diperjuangkan orang tua. Tidak oleh Mama, tidak pula oleh Papa.

Dalam gelimang harta dan perlindungan berbagai aparat keamanan yang senantiasa menjaga rumah serta dirinya, justru Ridwan merasa sebatang kara. Dia kerap merasa sunyi di tengah keramaian. Kalau pun orang-orang mendekati, tidak lain pasti karena embel-embel anak pejabat yang disandangnya sedari kecil.

Hingga ia bertemu bocah kumal dan kurus penuh koreng itu. Martin si anak kelas 4 SD, tak pernah peduli dengan siapa Ridwan dan bagaimana latar belakang kehidupannya. Martin menerima Ridwan apa adanya. Martin menemani Ridwan di kala kedukaan melanda. Martinlah yang menjadi tempat bernaungnya ketika Pak Jon—sopir pribadi yang selalu hadir untuknya—wafat.

“Bro … Bro …”

Ridwan menatap lekat wajah sahabatnya. Masih belum pupus dalam ingatan ketika dua tahun silam ia menggelontorkan “uang kecil” untuk sahabatnya itu. Tunai 10 juta rupiah Ridwan beri tanpa syarat kepada Martin.

“Buat modal dagang mi,” ucapnya kala itu. Mata Martin berkaca-kaca. Haru tak pernah hilang selama berhari-hari kemudian. Ridwan seakan menjadi malaikat pembuka pintu rezekinya.

“Bro!”

Ridwan tak henti menatap wajah Martin. Nyalang.

Baginya, Martin bukan sekadar sahabat. Martin yang berhati lembut dan brilian di berbagai lini tak pernah sedetik pun meninggalkannya. Martin, ah, entah harus berapa rim kertas Ridwan habiskan untuk menggambarkan sosok Martin.

Martin, si bocah lugu itu, tidak pernah absen sebagai pemuncak kelas. Semua guru takpercaya padanya. Mana mungkin anak malas yang hampir selalu tertidur ketika jam pelajaran dapat menjadi juara umum di sekolah?

Martin adalah anomali. Martin bukanlah dirinya yang harus jungkir balik setiap malam untuk mengulang kembali pelajaran sekolah. Martin adalah permata berharga yang disangsikan seluruh dunia.

“Woi, Wan! Bengong aja lo!” Sebuah hentakan keras membuyarkan lamunan Ridwan. Matanya mengerjap sekejap. Menatap sekeliling penuh kebingungan.

“Eh, apaan? Ngagetin aja lo, Kunyuk!”

“Nah elo, gue panggil-panggil enggak nyaut! Jadi gimana, nih? Mau, ya, nemenin gue ketemuan sama Fitri?” Martin mengejar.

“Alah, ngapain, sih, lo ngejar dia? Lo belajar aja yang bener! Emang lo mau beasiswa lo dicabut?” Ridwan mengamuk. Ia tak rela Martin menyia-nyiakan potensi yang amat diidamkan itu. Potensi tinggi lantaran memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

“Bang Ridwan, … Bisa minta tanda tangan proposal?” Tanpa permisi, Imam, ketua tim basket kampus, menyelak. Tanpa peduli keadaan, sebuah proposal kini teronggok di hadapan Ridwan.

“Ya elah, Mam … ganggu aja lo!” sembur Martin naik pitam.

“Ah, diem lo, Keriting!” Mata Imam mendelik. Mulutnya sengaja dimonyongkan ke arah Martin.

Ridwan diam. Dipandangnya proposal yang hadir dengan penuh tanda tanya.

“Apaan, nih, Mam?”

“Itu, ehm—anu, Bang. Itu—”

“Ngomong yang jelas lo!” Merasa dapat angin, cepat-cepat Martin balik merundung adik tingkat di hadapannya.

Imam takambil pusing. Dengan cekatan ia menjawab pertanyaan Ridwan.

“Itu, Bang. Proposal pertandingan basket antarfakultas. Mau diajuin ke dekanat.”

“Oh, yang itu. Aman semua kan, Mam?”

“Aman, Bang.” Segores tarikan garis, Ridwan bubuhkan di atas kertas yang dibawa Imam.

Dalam kesepian yang hampir selalu hadir, Ridwan memang memutuskan untuk terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Terlalu aktif malah.

Bukan sekadar aktif, ia bahkan terpilih tanpa perlawanan dalam pemilihan Ketua BEM di kampus psikologi. Tak jarang, Ridwan sengaja tidur di ruang BEM. Baginya, rumah memang bukan tempat yang nyaman. Lagipula, buat apa di rumah? Toh tidak ada siapa pun menunggunya di sana. Sementara di sini, di kampus asri ini, Ridwan merasa lebih berharga. Lebih dibutuhkan.

“Udah, nih, Mam.” Ridwan menutup proposal dan mengembalikannya kepada Imam.

“Udah sono lo, ah! Pergi lo!” usir Martin tanpa perikemanusiaan.

“I—iyya, Bang. Makasih, ya.” Imam menoleh. “Kriting lo!” sungutnya sambil berlari menjauh.

***

Martin membetulkan posisi duduk. Ia kembali mengajak Ridwan berbicara.

“Nah, si kodok udah pergi. Kita lanjutin, ya. Ayo, Wan. Mau, ya. Temenin gue. Please …”

“Ogah. Sekali gue bilang ogah, ya berarti ogah!” Ridwan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak terasa, tiga tahun sudah ia dan Martin belajar di sana. Kampus unggulan yang menjadi idaman banyak siswa SMA untuk melanjutkan studi.

Selama tiga tahun, Ridwan telah mengalami banyak hal. Mulai dari menjadi ketua angkatan sewaktu ospek, aktivis organisasi di tahun kedua, hingga kini memuncaki jabatan lembaga eksekutif kampus. Sementara itu, Martin yang tak terpisahkan darinya, berlawanan 180 derajat.

Jika Ridwan dikenal sebagai si rajin dengan masa depan gemilang, Martin berbanding terbalik. Dengan hobi tidur dan hampir selalu datang terlambat masuk kelas, julukan baginya pun berbeda. Selama tiga tahun berturut-turut Martin tak bisa melepas predikat sebagai “orang aneh yang kelewat pinter”. Bagaimana tidak, selama di kampus, nilai terendah yang Martin miliki adalah B-!

“Eits, jangan gitu, dong. Gue udah kadung naksir, nih, sama si Fitri. Ayo, dong, Wan. Temenin gue. Gue kuatir dia ngajak ngobrol hal-hal yang gue enggak paham.”

“Misalnya?”

“Ya, misalnya dia ngajak ngomong tentang pemerintahan. Bisa mati gaya gue! Gue mana paham urusan begituan. Secara, dia kan anak pejabat juga kaya’ lo.”

“Ya udah, iya. Lo sekalian minjem baju gue juga?” tanya Ridwan seakan sudah hafal kebiasaan Martin si playboy itu.

“Nah, pinter! Emang lo sohib gue banget, Wan! Tau aja lo kalau gue mau minjem baju juga. Baju yang lo beli dari Prancis, ya! He-he-he …”

“Sial lo, Kunyuk!” Sebuah jitakan keras sukses mendarat di kepala Martin. Keduanya terbahak.

Kantin tempat mereka berada, mendadak senyap. Semua mata mengarah kepada mereka berdua. Waktu seolah terhenti. Mahasiswa-mahasiswa lain mematung melihat keduanya. Sebagian menghentikan suapannya.

“Woi, Bro and Sis, hari ini si Ridwan ulang tahun! Lo semua ditraktir dia! Pilih dan ambil apa aja yang lo pada suka. Ridwan yang bayarin!” pekik Martin taktahu diri ke seantero penjuru kantin.

“Bangsat, lo, Tin!”

Semua mahasiswa di kantin semringah. Sebagian tersenyum, sementara sebagian yang lain menyalami Ridwan.

“Selamat ulang tahun, Wan!” sapa Ibnu si mahasiswa abadi.

“Wah, thank you traktirannya, Wan! Selamat, ya!” Firly, gadis tomboi kesayangan semua orang ikut menyalami.

“Eh, eh, gue kagak ulang tahun! Berengsek emang, nih, si Martin!” Ridwan panik.

“Selamat, Mas Ridwan. Semoga panjang umur!” Bu Prapti penjual chicken katsu berteriak dari lapaknya.

“Eh, iya, Bu. Makasih .…” Mata Ridwan mendelik ke arah Martin.

“Iya, Bu. Ridwan emang pemalu.” Martin kian menjadi.

“Ku—“

“Udah, ambil aja semua. Borong aja, Ton!” pekik Martin ke arah Toni yang mengambil gorengan.

“Siap, Tin! Makasih, ya, Wan!” Toni melambai ke arah keduanya.

Suasanya kantin mendadak riuh. Semua bersukaria.

“—nyuk lo, Tin!” Ridwan menginjak kaki Martin.

“Adududuh … Yoi, Des, ambil yang banyak, ya!” Martin meringis sembari melambai ke arah Desi.

“Ambil aja semua! Tenang aja, Ridwan ulang tahunnya tiap hari kok!”


---bersambung---

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar