Karena Sahabat Tak Akan Mati (bagian 3-TAMAT)

Posting Komentar
Sebelum kamu membaca bagian ini, sebaiknya kamu membaca cerita bagian sebelumnya melalui tautan berikut.
Karena Sahabat Tak Akan Mati (bagian 1)
Karena Sahabat Tak Akan Mati (bagian 2)

============================000============================

Karena Sahabat Tak Akan Mati


Selamat tidur kekasih gelapku
Semoga cepat kau lupakan aku
Kekasih sejatimu takkan pernah sanggup untuk melupakanmu
Selamat tinggal kasih tak terungkap
Semoga kau lupakan aku cepat
Kekasih sejatimu takkan pernah sanggup untuk meninggalkanmu


Martin baru saja selesai sarapan ketika lagu “Sephia” dari Sheila on 7 terdengar. Alunan suara Duta mengalun merdu memenuhi kamar indekosnya. Entah angin apa yang berembus semalam, pagi ini Martin merasa begitu bersemangat. Seakan energi tak terbatas meluap dari sekujur tubuh, membuatnya ingin segera tiba di kampus.

“Chat Ridwan dulu, ah …”

Digapainya ponsel jadul keluaran tujuh tahun silam di meja belajarnya. Sebenarnya, sudah berkali-kali Ridwan menegur. Menyuruhnya mengganti dengan ponsel keluaran terbaru. Sederhana saja, permintaan Ridwan tak lain didasari betapa sulitnya ia menghubungi Martin lantaran kemampuan handphone-nya yang sering tak mampu menangkap sinyal.

“Sinyal gue lagi jelek, Wan,” ungkapnya berulang kali.

“Ya lo ganti, dong, Tin. Pulang kuliah kita ke toko, ya!”

“Alah, enggak usah. Ngapain, sih,” tolak Martin seperti biasa.

“Soalnya lo bikin gue repot, Tin. Giliran gue butuh, lo enggak bisa dihubungin. Bikin ribet! Pokoknya lo ikut gue nanti!” seru Ridwan kemudian.

“Ya elah, Wan—“

Belum sempat Martin menyelesaikan kalimatnya, Ridwan lekas memotong, “Enggak usah rewel lo. Nanti sore, lo ikut gue! Titik!”

“Eh, si Kodok. Kenapa jadi lo yang napsu, sih? Lagian emangnya, gue disuruh beli HP apaan, sih?”

“HP yang bisa dilipet. Kayak punya gue.”

“Orang gila! Mahal itu, Kodok!” Martin terbelalak.

“Gue yang bayar. Berisik amat, sih, lo!”

“Enggak, enggak! Enggak pake, deh, HP HP baru begitu. Kekerenan, Wan. Masa’ iya tukang mi ayam HP-nya keren begitu. Enggak, Wan. Makasih.”

Buntu. Selalu buntu. Debat dua sahabat itu tak pernah berujung bahagia. Di satu sisi, Ridwan teramat menyayangi Martin dan ingin menjaganya sekuat tenaga. Namun, di sisi lain, Martin teramat sungkan menerima pemberian Ridwan yang tak pernah henti.

Martin bukan sekali-dua kali “terpaksa” menerima uluran tangan Ridwan. Berulang kali bahkan. Biaya sekolah sejak SD hingga lulus SMA, misalnya. Belum lagi subsidi uang kos yang menjadi tempatnya tinggalnya saat ini. Jangan lupa juga dengan “jalur orang dalam” yang membuatnya selalu tahu lebih dahulu akan berbagai beasiswa yang dibuka oleh berbagai kementerian untuk mahasiswa-mahasiswa kurang mampu.

Satu hal yang pasti, Martin dengan tegas menolak bantuan sahabatnya itu ketika ia ditawarkan kepastian menerima beasiswa tanpa upaya apa-apa. Ridwan, dengan segala kemurahan hati dan fasilitas yang dimiliki, dapat dengan mudah memasukkan Martin sebagai salah seorang penerima berbagai beasiswa prestasi yang tersedia. Akan tetapi, dengan teramat terluka, Martin menolak tegas tawaran itu.

“Kalau lo masih nganggap gue sebagai sahabat, jangan pernah lagi lo tawarin hal kayak gini ke gue, Wan! Gue udah terlalu malu selalu dapat bantuan dari lo. Terus, sekarang lo mau bantu gue dengan masukkin gue sebagai mahasiswa yang dapat beasiswa tanpa tes? Lo mau ngerendahin gue?”

“Bukan gitu, Tin. Maksud gue—“

“Enggak, Wan! Enggak usah. Please. Bagi gue, udah lebih dari cukup lo bantuin gue dapat info beasiswa. Tapi, buat dapetinnya, ya gue mesti usaha sendiri, Wan. Gue enggak mau. Makasih banyak!”

Sorry, Tin. Gue enggak bermaksud. Sorry, ya.”

“Iya, Wan. Enggak apa. Maaf juga udah ngebentak lo.”


Dibolak-baliknya handphone hitam penuh gores di tangannya. Dalam waktu singkat, jemari Martin berselancar membuka aplikasi pesan singkat dan mencari nama Ridwan di sana.

“Dih, kenapa lagi, nih, HP gue? Kenapa nama si Kodok enggak ada?”

Martin memeriksa catatan panggilan masuk dan keluar di ponselnya.

“Ini telepon dari Fitri ada, Silva ada, Rokib juga ada. Mana, sih, nama itu anak? Lah ini telepon dari Ibu Kos aja ada …”

Martin terus memeriksa daftar nomor telepon pada kotak kecil di tangannya. Aneh, bahkan nama Ridwan pun tidak muncul di buku telepon handphone-nya.

“Ah, apa-apaan, sih, tuh anak! Kalau mau ngerjain kan enggak usah bikin repot begini! Dasar Kodok!”

Sebelum larut dalam berbagai prasangka, Martin membereskan semua peralatan berangkat kuliahnya. Sebuah tas kecil untuk diisi sebuah buku catatan dan pulpen yang kadang dapat mengeluarkan tinta dan … dan tidak ada apa-apa lagi. Perlengkapan kuliah Martin memang hanya itu. Itu pun buku catatannya baru ditulisi satu halaman, padahal lebih dari tiga tahun ia berkuliah.

***

“Woi, Bro!”

Mendapat tepukan keras dari Martin, Donal lekas menoleh.

“Apaan, sih, lo, Tin? Ngagetin gue aja!” maki Donal yang tengah asyik bermain gim di laptop gaming-nya. Kantin terasa lengang. Hanya ada Donal, Martin yang baru tiba, dan dua orang mahasiswi di sudut lain dekat lapak fotokopi.

“He-he-he, sorry, Bro. Lagian serius amat, sih.”

“Mau ngapain lo?” hardik Donal lagi. Belum tuntas rasa kagetnya, kekesalan kian memuncak ketika mengetahui gim yang dimainkan sedari pagi, gagal begitu saja akibat tepukan Martin.

“Si Ridwan belum dateng, ya?”

“Ridwan? Ridwan siapa? Udah ngagetin, ngeganggu, terus sekarang nanya yang enggak penting pula. Sono lo! Ganggu!” Donal meradang. Kenyamanannya terusik.

“Yee si Kodok! Gue nanya serius, nih. Lo enggak lihat si Ridwan?”

“Udahan, sih, Tin. Ganggu gue aja lo. Ridwan siapa, sih? Kagak kenal gue.”

Martin terbengong. Jawaban Donal sungguh di luar dugaan. Ada masalah apa si Donal dengan Ridwan? Bukankah Donal dikenal sebagai orang yang sangat mengagumi dan menghormati Ridwan?

“Lo ada masalah apa sama Ridwan? Kenapa lo jadi sewot gitu pas gue tanya tentang Ridwan?” Jari-jari tangan Martin erat mencengkeram kerah baju Donal. Martin tak pernah kuasa menahan emosi manakala ada orang yang merendahkan sahabatnya.

Donal tergagap. Dia tak menyangka reaksi Martin akan sekeras itu.

“Eh, santai, Tin. Santai. Gue kagak ngerti nih maksud lo gimana. Ridwan siapa, sih?” Donal terbata. Dia tahu Martin tidak sedang bercanda. Dia juga tahu akan teramat bodoh jika harus berperkara dengan pemegang sabuk hitam karate di depannya.

Pegangan tangan Martin mengendur. Dalam kebingungan, diempasnya Donal ke kursi kantin.

“Kalau sampai gue denger lo punya masalah sama Ridwan, bakal gue cari lo sampai mana juga!” Martin berlalu. Kepalanya sungguh penuh.

***

Satu hari telah berlalu. Ada gamang hebat menggelayuti pikiran. Martin merasa janggal. Bukan hanya karena satu hari harus ia lalui tanpa saling ledek bersama Ridwan, melainkan karena Donal, Imam, bahkan Agung, sang wakil ketua BEM seakan menutupi keberadaannya. Bukan menutupi bahkan. Mereka semua seolah-olah tak mengenal Ridwan.

[Hai Fit]
Sebuah pesan singkat terkirim. Martin tak lagi sanggup menahan kebingungan. Setelah subuh, ia bertanya pada Fitri.

Matahari mulai tinggi ketika ponsel butut Martin bergetar. Sebuah notifikasi hadir. Pesan dari Fitri.

[Hi Tin. Gmn?]

Sedikit bergetar, kedua ibu jarinya menekan layar ponsel yang menampilkan deretan huruf dan angka.

[Sori, Fit. Mo tny. Lo udh smpat ngobrol am Ridwan ap blm?]

Detik terasa berjalan lambat. Ponsel butut itu kembali bergetar.

[Ridwan siapa Tin?]

Apa lagi ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

[Lo ngak lg becanda kan Fit?]

[Bcanda paan c? Gw g ngerti mksd lo]

[Ridwan, Fit. Pacar lo. Gw penasarn.]

[Konyol lo. Lo klo naksir g ush ky gt. Blg aj. Pke blg pacar gw sgala.]

[Ridwan Fit. Lo kmrn kn udh jadian sm dy]

[Konyol lo. Udh ah. Gw mw mandi.]


Martin terdiam. Lama. Diletakkan ponsel di tangannya begitu saja.
Lo lagi ngerjain gue kan, Wan?

***

Hari berganti hari. Sudah tiga hari sejak Ridwan “menghilang”. Martin bingung. Entah mengapa seluruh dunia “menyangkal” keberadaan Ridwan. Ridwan seakan-akan tidak pernah ada.

“Fit, sorry. Gue beneran mau tanya. Lo cuma bercanda, ‘kan?” tanya Martin kepada Fitri setelah mata kuliah konstruksi alat ukur psikologi berakhir.

“Tin, gue mesti ngomong apa lagi, sih? Gue enggak kenal siapa itu Ridwan. Lagi juga, lo kenapa tiba-tiba aneh gini?”

“Fit, semua orang boleh bercandain gue. Tapi masa’ sih lo tega ikut-ikutan bercanda begini?”

“Tin, please. Gue lagi males ngomongin yang enggak penting. Gue mau ada kelas sebentar lagi.” Fitri ketus. Dia tak terima, Martin—sosok yang ia kagumi selama ini—berbual kepadanya.

“Gue serius, Fit. Please, Fit. Minimal gue pengin dengar aja. Lo cuma bercanda, ‘kan?”

“Martin, gini, ya. Gue kasih tau sama lo. Gue enggak pernah kenal apalagi pacaran sama makhluk gaib yang namanya Ridwan itu. Terus, orang yang ke mana-mana lo bilang selalu nemenin lo, belum pernah gue liat. Lo ke mana-mana selalu sendiri, Tin!”

Martin terdiam.

“Lo slebor, lawak, acak-acakan, tapi lo jenius. Lo selalu bikin ketawa orang lain, tapi gue males juga kalau lo bercandain gue kayak gini. Satu lagi, ketua BEM kampus kita itu, namanya Shofwan, bukan Ridwan!” Fitri beranjak dari duduknya. Berlalu pergi tanpa permisi setelah kalimat terakhirnya tanpa mampu dibalas Martin.

Martin mematung. Dia duduk menunduk bak pesakitan.

Mata kuliah perilaku ekonomi yang selalu disukai Martin, dilewatkan begitu saja. Ia telah memutuskan. Siang ini juga, ia akan melabrak Ridwan ke rumahnya.

Sudah terlalu jenuh dia dipermainkan seperti ini. Dia bosan menjadi tolol akibat bulan-bulanan sahabatnya itu. Satu hal yang pasti, dia rindu pada sumpah serapah yang terlontar dari mulut Ridwan.

***

Bangunan megah berkelir putih tampak angkuh berdiri. Rumah mewah setinggi empat lantai seluas nyaris 2.000 meter persegi tampak begitu mengintimidasi. Rasa rendah diri selalu menyergap setiap kali Ridwan memaksa Martin tinggal atau menginap di sana. Selalu ada gelisah merambati sekujur tubuhnya ketika mendekati pintu baja setinggi tiga meter yang menghalangi istana itu dari dunia luar.

Untungnya, seluruh penghuni rumah—kecuali mama dan papa Ridwan tentu saja—teramat ramah kepadanya. Pak Marno—komandan regu satpam penjaga rumah—yang dinas setiap pagi hingga sore hari tak pernah absen menyapa ketika Martin tiba di sana. Bu Sumi, Mang Ading, Bi Tinah, dan belasan orang karyawan lainnya, tidak pernah alpa menyajikan berbagai hal untuknya ketika bertamu.

Dengan sedikit gemetar, Martin mendekati bangunan kecil di samping gerbang hitam yang begitu pongah di hadapannya. Sekilas saja, ia dapat melihat sosok itu di sana.

Ada Pak Marno! Syukurlah.

“Ya, ada apa, Dek?” Suara wibawa Pak Marno mengadangnya.

“Eh—anu, Pak Marno, ini Martin, Pak. Ridwannya ada?”

“Martin siapa, ya?”

“Temannya Ridwan, Pak. Lupa, ya?” Sebuah cengiran dibuat sealami mungkin. Berharap ketegangan segera berlalu. Pak Marno pasti lupa.

“Ridwan? Adek ini mau apa?” Suara Pak Warno meninggi. Sepertinya upaya Martin mencairkan ketegangan gagal total.

Dengan segenap keberanian, Martin berucap pada komandan satpam yang mulai gelisah. Martin memang seorang karateka. Akan tetapi, pengalaman dirundung orang-orang kaya semasa kecil, seakan mengerdilkan dirinya. Di hadapan satpam rumah orang kaya—yang menurutnya adalah perwujudan arogansi kaum berduit—Martin hanyalah seekor bayi macan yang tak menyeramkan sama sekali.

“Saya mau ketemu Ridwan, Pak. Mohon izin boleh masuk.”

“Di sini tidak ada yang namanya Ridwan, Dek.”

“Pak, saya temannya Ridwan. Ridwan tinggal di sini. Saya mohon izin bisa bertemu Ridwan.” Nada suara Martin meninggi. Meski disudutkan, Martin sama sekali tak rela ketika sahabatnya dianggap tidak ada. Macan dalam diri Martin bangkit. Cakar tajamnya siap menghunjam.

Pak Marno bangkit dari duduknya. Dia keluar dari bilik sejuk berpendingin ruangan maksimal. Ditatapnya anak muda kurang ajar yang mempertanyakan jawabannya itu.

“Dek, saya bilang sekali lagi, ya. Tidak ada yang namanya Ridwan di rumah ini!”

“Ini rumah Bapak Yoga Bhaskara Arief, ‘kan?” Kepalan tangan Martin menguat. Hanya perlu menunggu ia gelap mata untuk menjatuhkan tinju terkuatnya ke perut tambun pria berseragam cokelat muda itu.

“Iya. Ini rumah Pak Yoga. Dan tidak ada yang namanya Ridwan di rumah ini!”

“Pak, saya tidak mau berkelahi. Saya mau bertemu Ridwan, putera Bapak Yoga Bhaskara Arief! Tuan muda Anda!”

Tiga orang satpam muda tergopoh-gopoh hadir menemani komandan mereka yang tengah adu mulut dengan Martin. Wajah Pak Marno memerah. Napasnya memburu.

“Goblok kalian! Kenapa baru datang? Usir gelandangan ini!”

Dengan sigap, tenaga ketiga satpam muda itu membungkam kekuatan Martin. Martin berontak. Namun, tak kuasa.

“Satu hal lagi, Pak Yoga tidak punya anak!”

Martin tercenung. Pernyataan Pak Marno menjungkirbalikkan seluruh dunianya.

***

Epilog

“Ayah, kok bengong? Mikirin apa?” teguran halus Fitri membuyarkan lamunan Martin.

“Eh—ehm … anu … eng—enggak mikirin apa-apa, kok. He-he-he …

“Ya, udah, kalau gitu pesen, dong, makanannya. Masa’ lagi perayaan anniversary, Ayah malah ngelamun.” Fitri merajuk. Wajah indah Fitri tak memudar sama sekali meski cemberut hadir di sana. Setiap hari, Martin masih terkesima melihat Fitri. Seseorang yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan menjadi istri dan ibu dari ketiga anaknya.

Penyanyi restoran mulai bersenandung. Lagu-lagu lawas kesukaan Martin terlantun. Lagu-lagu yang diperkenalkan seseorang dari masa lalu yang keberadaannya disangkal dunia.

Dengan sedikit parau, pria di atas panggung mendendangkan “I Don’t Want to Miss a Thing” milik Aerosmith. Suara Steven Tyler seolah menitis pada pria di bawah sorot lampu putih menyilaukan itu.

I don’t want to close my eyes
I don’t want to fall asleep
‘Cause I’d miss you baby
And I don’t want to miss a thing

“Eh, Kodok! Jangan nyanyi lo! Suara lo sember!” maki seorang pria kurus berambut keriting di pinggir panggung.

“Diem lo! Enggak boleh ngeliat orang senang aja! Dasar, Kunyuk!” timpal lelaki tampan di sampingnya.

Martin menatap keduanya. Matanya kosong.

***[][][]***

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar