Karena Sahabat Tak Akan Mati (bagian 2)

Posting Komentar
Sebelum kamu membaca cerita ini, alangkah baiknya kamu membaca kisah sebelumnya.
Klik tautan berikut untuk membaca cerita sebelumnya.
Karena Sahabat Tak Akan Mati (bagian 1)

=========================000=========================

Karena Sahabat Tak Akan Mati

“Hai, Fit!” Martin menyapa gadis manis yang tengah duduk sendiri. Nampak di hadapannya dua buah buku saling bertumpuk. Ekor mata Martin menangkap judul yang ada. Human Development karya Diane E. Papalia dan Theory and Problems of Psychology of Learning karangan Arno F. Wittig. Sementara di tangannya, terbuka buku metode penelitian kualitatif yang ditulis oleh salah seorang pengajar di kampus.

Di samping Martin, Ridwan berdiri gelisah. Dirangkulnya lelaki kurus di sampingnya dengan kasar.

“Lo bilang kita ketemuan di tempat Fitri? Kenapa malah di perpustakaan begini?” bisik Ridwan. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan kiri.

Wajah-wajah serius mahasiswa dan beberapa orang dosen terlihat. Berderet-deret buku tersusun pada rak-rak yang berjejer rapi memenuhi hampir seluruh perpustakaan. Mas Margono, salah seorang petugas perpustakaan sedang mencatat buku yang dipinjam seorang mahasiswi. Sementara Pak Ragil tengah asyik mem-fotokopi beberapa halaman buku sesuai pesanan pengunjung lain.

Martin melepaskan pitingan di lehernya. Kakinya aktif menginjak kaki Ridwan demi membuatnya bungkam. “Sstt … diem!”

Pendingin ruangan yang diatur di angka 20 derajat oleh Mas Margono menjalankan tugasnya. Suhu udara terasa begitu sejuk. Tak ayal, seorang mahasiswa di salah satu sudut ruang, tertidur sembari kepalanya sesekali terantuk meja.

“Eh, elo, Tin. Duduk, yuk!” Fitri tersenyum. Manis sekali. Ridwan mengakuinya. Bagaimana tidak, dua tahun sudah ia memendam rasa pada penyandang predikat Mahasiswa Berprestasi itu. Sayangnya, ia tak pernah memiliki sejumput keberanian untuk sekadar menyapa lebih dulu ataupun mengajak diskusi.

Martin mengambil sikap. Dia duduk tepat di depan Fitri. Di sampingnya, Ridwan berdiri mematung.

“Eh, Kodok, duduk lo!” maki Martin seraya menarik tangan kekar sahabatnya itu.

“Eh—eh, iyya …”

“Hai, Wan …” Fitri tersenyum. Kemudian menunduk. Ada raut bahagia terpancar di sana. Meski hanya setitik, Martin melihatnya. Rona merah sedikit terpancar. Seuntai sipu hadir perlahan dari pipi putih tanpa cela berbalut sapuan tipis bedak merek ternama.

“Hai, Fit.” Ridwan menunduk. Jantungnya berlompatan tanpa ritme yang jelas. Jedag-jedug gitu, deh. Mirip house music di lantai dansa klub malam.

Martin celingukan. Ia melihat pemandangan demikian canggung hadir dari kawan baik dan juga gadis manis di depannya. Terbit senyum lebar tak tertangguhkan.

“Ciyee … malu-malu nih, ciyee …”

“Kunyuk! Apaan, sih, lo!” Kepalan tangan Ridwan keras meninju rusuk Martin. Bisik yang diumbar Ridwan tertutup ringis kesakitan Martin.

“Kodok!”

“Eh, eh, apaan, sih?” Senyum Fitri terkembang. Pemandangan di depannya terlalu menarik untuk dilewatkan. Pemandangan yang hanya dapat ia lamunkan selama ini. Sebuah keindahan yang teramat jarang terjadi pada kampus berisi mayoritas kaum hawa itu. Sudah sejak lama ia mengagumi keduanya. Ridwan si aktivis kampus dan ketua BEM, serta Martin mahasiswa jenius yang kelakuannya tidak ada unsur plus-nya sama sekali.

“Ini, nih, Fit. Si Ridwan ….” Adu Martin sembari mengusap tulang rusuknya. Ridwan terdiam. Mulutnya terkunci rapat.

Fitri mengangguk. Senyum tak jua hilang dari bibir berlapis lipstik bernuansa nude itu. “Jadi, gimana, Tin?”

“Ehm, jadi gini, Fit,” ucap perlahan mulai meluncur dari bibir tebal Martin, “si Ridwan ini …”

Ridwan terkejut demi mendengar namanya disebut. “Eh, kok gue?”

“Diem dulu lo!”

Fitri menatap keduanya bergantian.

“Jadi gini, alasan gue ngajak lo ketemuan, karena pengin ngenalin si Ridwan ke elo, Fit.”

“Eh, Kunyuk!”

“Lo diem dulu, Kodok!”

Fitri terpingkal. Bahagia sekali dia bertemu kedua legenda kampus hari ini.

“Eh, gue kan udah kenal sama Ridwan, Tin. Iya kan, Wan?”

“I—iyya, Fit.”

Martin salah tingkah. Dia membenarkan duduknya.

“Maksud gue, gini. Ridwan ini mau gue kenalin ke elo. Siapa tau lo bisa deket sama dia. Dia ini ganteng, tajir, punya mobil, bikin usaha sablon, nulis buku, bikin puisi. Pokoknya segala ada, deh!”

“Tin!” Ridwan terkejut. Matanya terbelalak.

Dalam bisik pelan, dicubitnya perut Martin. “Kan bukan begini perjanjiannya, Martinus Marasabessy!”

“Oh gitu, ya. Seneng banget gue kalau bisa kenal sama lo, Wan. Lo nulis puisi? Boleh, dong, gue baca kapan-kapan ….” Fitri menyambut perkataan Martin.

“Tuh kaaan …” Martin di atas angin.

“Eh iya, Fit, bo—boleh, kok. Ka—kapan-kapan gue bawain, ya, puisinya. Tapi itu, yang kenal itu … gimana, ya, maksudnya?” Kulit putih Ridwan berubah warna. Ada semburat merah muda pelan-pelan mengambil alih cerahnya wajah rupawan Ridwan.

“Iya, Wan. Gue seneng, kok, kalau bisa kenal sama lo. Kenal lebih dekat.”

“Nah! Cocok ini! Ciyeee …”

Jemari Martin diremas kuat-kuat. Ridwan meledak menahan malu.

“Sakit banget, Kodok!!”

“Sssttt … tolong itu yang lagi pacaran jangan berisik, ya!!” Mas Margono memekik dari tempat duduknya.

“Aman, Mas! Ini sodara saya baru aja jadian sama cewek yang udah lama dia taksir!”

“Martin!!” Fitri dan Ridwan menjerit bersamaan. Lalu keduanya berpandangan. Tersipu.


---bersambung---

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar