Libur Telah Tiba (bagian 1)

Posting Komentar


“Ma, minggu depan aku udah libur kuliah.”

Mama menurunkan iPad yang tengah dipegang. Rancangan adibusana untuk dipentaskan dalam sebuah pagelaran beberapa pekan ke depan, sejenak dikesampingkan. Mata Mama menatap Tasya.

Tasya paham benar. Diamnya sang ibu selalu penuh arti. Kali ini, Tasya pun tahu, sang Mama menunggu penjelasan akan kalimat yang baru saja ia lontarkan.

“Iya, Ma. Minggu depan itu, aku udah libur. Kita emangnya enggak ada rencana liburan ke mana, gitu?”

Tasya menanti. Mama menurunkan kacamatanya yang memang sudah turun.

“Kamu kepengin liburan?”

"Iya, Ma.”

“Ke mana?”

“Eropa?”

Mama kembali diam. Tasya menanti jawaban penuh harap.

“Gimana kalau yang dekat-dekat aja?” usul Mama kemudian.

“Misalnya?”

“Yah, yang dekat aja. Dalam negeri. Borobudur, Prambanan, Malang …”

“Ah, bosen, Ma. Dari jaman Tasya masih seukuran kecambah, kita liburannya ke situ-situ aja.” Tasya merajuk. Mama menatap gadis semata wayangnya itu.

Bukannya Mama enggak mau liburan jauh, Sayang. Tapi kan …


“Jadi, gimana, Ma?” Pertanyaan Tasya mengaburkan kilasan pikir Mama. Perempuan jelang 50 tahun itu tersenyum simpul, meski bukan simpul mati.

“Kita minta saran Papa aja, ya,” sambut Mama seraya mengerling kepada sang putri.

***

“Ehm, gimana kalau kita kamping?” Malam itu, Papa menyambut usulan berlibur putri dan istrinya.

“Ya elah, Pa. Tasya bukan anak pramuka SD. Masa’ iya mau liburan malah bikin ribet diri sendiri.”

Dahi Papa berkernyit.

“Bikin ribet gimana, Sayang?”

“Ya itu tadi. Masa’ iya mau liburan malah mesti masang tenda, nyari kayu bakar, mengumpulkan umbi-umbian, membantu nenek-nenek menyeberang jalan, membuat tali komando, berburu babi hutan, menyuling air hingga jernih, membuat tandu, menerjemahkan sandi morse, hingga apel siaga!” Tasya mencerocos. Papa tersenyum, Mama terpingkal.

Begitulah keluarga Sunardi. Terlalu lucu meski bahasan yang tengah dibicarakan teramat serius. Bahkan penyebutan nama sebagai keluarga Sunardi pun karena alasan serbalucu. Sunardi tiada lain adalah akronim kedua orang tua penyayang di rumah itu. Suningsih dan Ardi.

“Ya enggak gitu, dong, Sayang. Kita kampingnya enggak yang buka tenda sendiri gitu. Kita kamping ke hutan yang sudah ramai dan banyak cottage. Jadi, kita tetap bisa santai, makanan tersedia, dan spot-spot-nya tetap Instagrammable.”

Mama penasaran. Dia yang sedari tadi asyik menyimak, tiba-tiba tergugah.

“Memangnya ada, Pa?”

“Ada, dong,” jawab Papa semringah. Mama menanti penuh harap. Tasya pun tak ubahnya sang Mama. Bahkan lebih ekstrem. Dia menanti jawaban Papa sembari kayang dan makan pisang.

Papa tersenyum. Keinginan membuat kedua perempuan tercintanya dirundung rasa penasaran, membuahkan hasil.

“Kepengin tau banget, nih?”

“Iya!” jawab Mama dan Tasya nyaris berbarengan.

Papa kembali tersenyum. Sejurus kemudian, ia menyodorkan pipinya ke arah kedua perempuan itu.

“Sun dulu, dong …”

“Ih, Papa!”

Kemudian berjuta cubitan pun mendarat di sekujur tubuh pria paruh baya penuh karisma itu.


(bersambung dulu)

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar