Silakan klik tautan berikut untuk membaca cerita bagian sebelumnya.
***
Nyatanya, ketika mobil berhenti di tempat tujuan, sepanjang mata memandang, hanya hamparan hutan dengan pepohonan tinggi menjulang. Udara sejuk yang lebih tepat jika dikatakan sedingin es menyambut ketiganya. Mama, Papa, dan Tasya terpana.
"I—ini beneran di Indonesia, Pa?" Mama bertanya seraya menggosok kedua telapak tangan demi mengusir dingin.
"Ya, iya, dong, Ma. Masa' kita keluar negeri cuma pakai mobil." Jawaban Papa terlontar penuh keyakinan. Akan tetapi, sejatinya Papa pun tak menyangka akan dihadapkan pada pemandangan sebagaimana yang ia lihat kini.
Di kanan-kiri, pohon-pohon raksasa yang entah apa namanya seakan mengungkung. Kicau burung demikian ramai meningkahi kehadiran mereka. Kicau burung yang belum pernah Tasya dengar sebelumnya.
Jalan setapak yang terhampar di depan, dengan tegas memberi tahu satu hal: itulah satu-satunya jalan untuk melanjutkan perjalanan. Di pinggir jalan setapak, bunga-bunga kuning dan merah ditanam selang-seling seolah difungsikan sebagai pagar penghias sisi jalan.
"Wah, cakep, nih! Mama, Tasya, ayo lanjut!" Papa lekas-lekas menggandeng tangan Tasya. Setengah kerepotan, Tasya terpaksa ikut berjalan mengejar langkah pria kesayangannya yang membawa begitu banyak peralatan.
"Oh, gitu ... jadi Mama dibiarin sendirian di sini? Jadi cuma Tasya aja, nih, yang diajak?"
"Ish, ngambeknya udahan dulu, dong. Tangan Papa kan penuh bawa tenda dan banyak barang lain. Atau Mama mau Papa gendong belakang?" tawar Papa sembari senyum semanis mungkin.
"Huh, merayu ... tak usah, ya. Emangnya Mama cewek apaan ...."
Mama berjalan maju sambil memonyongkan bibir. Tasya tergelak memandang canda kedua orang tuanya. Di usia hampir setengah abad seperti sekarang, Mama dan Papa selalu terlihat romantis dengan canda kecil di sana-sini. Tasya bahagia. Sangat.
***
"Mana, nih, seru-seruan yang Papa janjiin? Katanya ada cottage? Katanya tempatnya Instagrammable? Katanya enggak kayak kamping pramuka?"
Tasya tak lagi sanggup menahan kecewa. Perjalanan 10 menit menyusuri jalan setapak begitu melelahkan. Belum lagi riuhnya nyamuk hutan terus mengganggu dengan dengung kepak sayap di samping telinga.
"Eh, sabar, dong, Cintaku. Sekarang kan udah gelap. Kita boboan aja dulu. Besok pagi, deh, kamu lihat. Papa janji kamu akan seneng banget!"
Tasya melirik jam tangan digital di pergelangan tangan kirinya. Sambil menyibak anak rambut yang menutupi, matanya menangkap deretan angka. Pukul 19.45.
Memang sudah malam, sih. Cukup berlebihan jika berharap menikmati pemandangan di malam selarut ini. Di tengah hutan pula. Tasya memandang papanya tajam.
"Awas, ya, kalau sampai pemandangannya enggak keren!"
"Ish, santai. Papa kan enggak pernah bohong. Kecuali kepepet ...."
Kini, tiga orang itu berada di tengah hamparan tanah terbuka lebar. Dikelilingi pepohonan yang membentuk lingkaran, tak ayal keberadaan mereka di hutan itu bak residivis yang buron dan lari ke tengah hutan.
Papa mulai menancapkan tenda instan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh sang asisten di kantor. Sementara Mama, mempersiapkan api untuk merebus air di tengah tanah kehitaman tak jauh dari tenda, yang ia yakini bekas bakaran api unggun pengunjung sebelumnya.
Tasya belum usai merengut. Dia merebahkan badan di atas gundukan tanah dan rumput yang mulai basah seiring embun nan hadir di malam itu. Dipandangnya langit. Gemintang malam terserak, seolah menjanjikan seribu mimpi untuk digapai.
***
"Hi, Guys! Pagi ini aku sama Papa lagi di depan air terjun. Gokil, sih, ini, Guys! Air terjunnya indah banget! Udaranya sejuk dan airnya dingin. Brrr ..."
Hari belum siang ketika Tasya tengah Instagram Live di pinggir air terjun dekat kemah mereka. Sesuai janji, Papa mengajak Tasya berangkat pagi demi menghadirkan pemandangan dan asyiknya daerah wisata yang tengah mereka datangi.
"Huuu ... kemaren cemberut. Sekarang malah girang banget. Tuh, bener kan janji Papa ...." Papa menggoda Tasya dengan turut ikut dalam siaran langsung di media sosial itu.
Tasya terperangah. Setengah terkejut, ia tersenyum.
"Ih, Papa. Jangan buka rahasia, dong. Nanti followers aku jadi pada tahu. Tapi bener, sih, Guys. Jadi kemarin, tuh, aku emang sempet ngambek waktu sampai di sini. Mana jauh dari Jakarta, eh, sampai sini cuma disuguhi hutan. Gelap pula."
"Tapiii ...," goda Papa lagi.
"Tapi, ya, gitu, Guys. Ternyata pemandangan di sini indaaah banget! Air terjun ini juga enggak terlalu jauh dari tenda tempat kemah!"
Tasya kian semangat. Bermacam komentar hadir pada siaran langsung bersama sang ayah. Banyak simbol hati, penanda siarannya disukai para pengikut, membuatnya makin semangat.
"Eh ... eh, Pa, liat, nih. Mama juga join IG Live aku!" Cengiran lebar kian merekah dari bibir manis Tasya.
Papa penasaran. Lalu tertulis sebaris kalimat dari akun Instagram Mama.
[Ih papa jahat. Mama ditinggal dtenda sndr]
Mau tak mau, Tasya terpingkal dengan pesan singkat sang Mama. Sambil terus melakukan siaran langsung, Papa menyeruak ke hadapan layar ponsel sang putri.
"Guys, Papa jemput permaisuri dulu, ya. Kuatir diomelin, nih, Guys!" Papa sekonyong-konyong beranjak dari duduknya di pinggir air terjun.
"Papa, masa' Tasya ditinggal?"
"Udah, kamu tunggu sebentar. Lanjutin IG Live-nya. Emangnya, kamu mau jalan kaki 20 menit bolak-balik buat jemput Mama, lalu balik ke sini lagi?"
"Iya, juga, sih. Ya udah, Guys. Papa jemput Mama dulu, ya. Sambil nunggu mereka, aku akan reviu ada apa, sih, di sini. Yuk, simak!"
***
Sambil terengah, Papa tiba di hadapan Mama. Mama yang tetap memantau keadaan Tasya dari siaran langsung yang diadakan, merajuk manja.
"Tuh, gitu, deh. Kalau sudah asyik sama anak, Mama dibiarin sendirian!"
"Ih, Mama. Jangan ngambek, dong. Papa kan sengaja biar Tasya enggak marah-marah terus."
"Iya, Mama tahu!"
Papa kini balik tersenyum. "Kalau udah tahu, jangan cemberut atuh, Geulis ... Oh, Cintaku, Sayangku, Pujaan hatiku, Bidadariku ..."
Mama tersenyum. Namun, tak lama, kernyit di dahinya menegang.
"Pa ... Papa!"
"Apaan, sih, teriak-teriak. Papa kan ada di sampingmu, Mama ..."
"Ini loh, si Tasya. IG Live-nya masih lanjut. Tapi, kok Tasya-nya enggak ada?" Kepanikan menjalar. Suara Mama bergetar.
"Ah, paling-paling, hp-nya lagi ditaruh sebentar, biar enggak kecipratan air terjun."
"Enggak, Pa. Ini posisi hp-nya malah kayak lagi jatuh gitu!" Mama mulai histeris.
"Ayo, Pa! Ayo kita ke air terjun sekarang juga!"
Dua orang tua paruh baya berupaya secepat mungkin tiba di air terjun. Gemuruh air menghantam batu di bawahnya menjadi satu-satunya latar suara yang terdengar di sana. Sepi, seakan-akan takada tanda kehidupan di sana.
"Tasyaaa! Tasyaaa!" Mama menjerit. Memanggil anak semata wayang yang bahkan ia cintai lebih dari dirinya.
"Tasyaa! Di mana kamu, Nak?"
Senyap. Lalu, Papa menemukan ponsel Tasya tergeletak tak jauh dari tempat terakhir mereka berpisah. Terendam separuhnya ke dalam tanah basah. Menyisakan peringatan sisa baterai dan siaran yang masih berlangsung.
(bersambung lagi, ya)
Posting Komentar
Posting Komentar