“Gil! Ragil!” Sebuah teriakan diiringi gedoran keras sukses mengoyak ketenangan pagi itu. Penyebabnya apa lagi kalau bukan si bungsu Ragil yang tak tahu waktu ketika di kamar mandi.
“Woi, Ragil! Udah gila lo, ya?” Eko naik pitam. Napasnya memburu. Kepalan tangannya pun telah memerah. “Buruan keluar lo!”
Suasana hening sejenak. Tidak ada jawaban keluar dari kamar mandi yang telah digedor berulang kali. Gemericik air lamat-lamat mulai terdengar.
“Ragil! Gue itung sampe empat, ya!” Kali ini Dwi si anak kedua memekik.
“Wi, kenapa sampe empat?” tanya Eko bingung. Tanpa sadar, kepalanya kini tertoleh ke arah adiknya itu.
“Biar beda sama yang lain aja, Mas,” jawab Dwi tenang.
“Heleh, lagi marah-marah begini masih sempet-sempetnya bercanda!” sungut Eko kesal. Namun, tak ayal sesungging senyum menyembul juga di bibirnya.
Ketukan keras tak berperikemanusiaan kembali terhunjam ke daun pintu putih dari kayu yang mulai keropos itu. Tergopoh-gopoh, Tri si anak nomor tiga datang membawa sebuah ulekan batu.
“Eh, eh, eh, mau ngapain lo, Tri?” Kini Dwi yang bertanya keheranan.
“Buat ngetok pintu, Mbak. Kasian tangan Mas Eko udah merah begitu …”
***
Bukan baru kali ini drama kamar mandi terjadi. Bahkan, drama dengan lakon empat bersaudara yang beranjak dewasa dalam memperebutkan akses kamar mandi itu sudah memasuki bulan ketiga. Penyebabnya selalu sama. Ragil menggila tiap kali ia berada di kamar mandi sebelum berangkat ke sekolah.
Alhasil, Eko yang seorang pegawai bank, Dwi si mahasiswi semester empat, juga Tri yang baru saja lulus SMK perhotelan, hampir setiap hari naik darah. Mereka senantiasa dihantui kecemasan yang sama. Cemas terlambat tiba ke tempat aktivitas masing-masing.
Eh, tunggu. Itu Tri kenapa ikutan ribut? Bukannya dia sedang menunggu panggilan kerja dari hotel? Dalam kata lain, Tri masih menganggur dan tidak perlu takut terlambat.
“Biar solider aja, Mas, Mbak. Masa’ Mas dan Mbak rusuh, aku enggak ikutan,” jawab Tri ketika ditanya kedua kakaknya beberapa hari yang lalu.
***
Tak tahan dengan kelakuan adik bungsu mereka, diadakanlah sebuah rapat. Rapat wajib yang hanya dapat diinisiasi oleh Eko, sang kepala keluarga.
“Oke, makasih semuanya sudah berkumpul. Gue rasa, kita semua udah paham, ya kenapa malam ini kita adain rapat.”
Suasana hening. Semua mata nyalang menatap Ragil. Ya, Ragil didudukkan di tengah ruang keluarga yang biasa difungsikan sebagai ruang menonton.
“Sejak Bapak dan Ibu enggak ada, otomatis gue yang berperan dan bertugas sebagai kepala keluarga di rumah ini. Maka, dengan alasan itu juga, gue minta kita semua bisa dewasa dalam bersikap selama rapat berlangsung.”
Ragil tertunduk. Dia menelan ludah. Bulir-bulir keringat mulai keluar dari pori-pori kulitnya.
Mati gue. Mati gue.
“Jadi gini, Gil. Kita semua resah. Udah tiga bulan lo bikin kita bertiga telat. Eh, berdua ding. Tri kan enggak diitung …”
Tri sudah akan melayangkan protes atas perkataan kakak tertuanya. Namun, Dwi dengan emosinya yang sedang tak stabil, lekas menyelak perkataan Eko.
“Sorry, Mas. Biar enggak kelamaan, lo langsung jawab aja. Lo ngapain aja, sih, di kamar mandi? Lama banget, Kodok!”
Eko terhenyak. Namun, ia biarkan.
“Ehm, ehm … anu, Mbak ….” Tenggorokan Ragil tercekat. Ia paham benar kesalahannya. Namun, ia tak pernah menduga akan didudukkan sebagai pesakitan seperti malam ini.
“Jawab aja, Gil.” Dengan bijak, Tri berkata kalem. Kayak lembu.
“I—iya, Tri. Jadi, ehm … anu …”
“Lo bisa to the point, enggak? Jawab langsung aja, Domba!” Eko si pemarah tersulut emosinya. Sorot matanya tajam menusuk dada Ragil.
“Ehm—“
“Am, em, am, em, apaan, sih? Jawab aja, Ragil!” Kini giliran Dwi membentak.
Ragil mengatur napas, sebab kalau mengatur barisan adalah pekerjaan pemimpin upacara. Ditariknya napas dalam-dalam.
“Jadi, aku lama di kamar mandi itu karena … karena—“
“Iya, karena apa?” Eko dan Dwi bersahutan. Tri terdiam memandang kedua kakaknya. Ia memilih senyap dan tak menambah keruh suasana.
“Anu, Mas, Mbak … aku lama itu karena seneng ngeliatin badanku di kaca kamar mandi. Badanku bagus. Kekar gitu. Soalnya kan rajin nge-gym …”
“Oalaah, Kampret!”
Selanjutnya, malam merangkak dengan brutal. Tri harus berjuang sekuat tenaga menenangkan kedua kakaknya yang kepanasan. Ia menahan tubuh gempal Dwi yang berupaya sepenuh hati menjambak Ragil. Di sisi lain, Eko tak henti menjerit-jerit tak ubahnya cheerleaders basket menyemangati para pemain.
Ragil ketakutan. Ia berlari bersembunyi di balik pintu dapur. Pikirannya hanya satu: menyelamatkan diri harus dilakukan dengan rasional. Setidaknya, di dapur dia tak akan kelaparan karena banyak bahan makanan tersedia.
***
Pagi itu, Ragil sengaja bangun jauh lebih pagi. Dia tak ingin mendapat caci dari ketiga kakaknya lagi. Dia ingin tetap bersolek. Namun, tanpa harus membuat kakak-kakaknya terlambat beraktivitas.
Dibukanya pintu kamar mandi yang sedikit koyak lantaran dihujani ulekan oleh Eko. Kemudian, satu per satu, pakaian tidur pun mulai ia tanggalkan. Bersiul riang, ditujunya barang kesayangan peninggalan Ibu. Cermin besar seukuran setengah badan.
Mata Ragil menatap nanar ketika seluruh tubuhnya telah menghadap cermin. Keringat dingin deras mengucur. Napasnya memburu tanpa tertahan.
Kemudian, tanpa ampun meluncurlah teriakan pilu nan menyayat hati itu.
“Maaas!! Mbaaakk!! Toloong! Bayanganku enggak ada di kaca!”
Posting Komentar
Posting Komentar