Perusahaan sudah semestinya tidak hanya berfokus pada produk yang ditelurkan dapat dikonsumsi dan dipakai konsumen sebanyak-banyaknya. Lebih penting dari itu, bagaimana kebutuhan para pelanggan dapat terpuaskan dengan kehadiran perusahaan. Singkat kata, perusahaan harus mampu memberikan solusi atas permasalahan pelanggan.
Dengan kemampuan perusahaan dalam memberi solusi, diharapkan para pelanggan bersedia membayar dengan harga sepadan. Ujungnya, tentu saja pundi-pundi rupiah akan mengalir ke dalam kas perusahaan.
Lantas, manakala terjadi permintaan berulang—yang tidak lain sebagai bukti betapa perusahaan mampu memberikan pelayanan prima dan pemenuhan solusi atas permasalahan yang dihadapi pelanggan—tentu saja keuangan perusahaan akan kian gemuk. Hasilnya, jajaran manajemen perusahaan akan gembira, dan tentu saja, para pemegang saham sebagai pemangku kepentingan yang harus terus dipuaskan, akan tersenyum lebar.
Sebagai pekerja, saya merasa nilai yang ditanamkan serta menjadi doktrin bagi seluruh karyawan ini begitu mulia. Layak untuk diperjuangkan. Setidaknya hingga saya menua dan memasuki masa pensiun.
Akan tetapi, sesuatu terjadi menjelang ulang tahun ke-13 saya bekerja di kantor ini. Ada hal yang membuka mata … ah, tidak. Agaknya ungkapan membuka mata tidaklah cukup menjelaskan keadaan saat itu. Membelalakkan mata.
***
Bagaimana tidak, kantor tempat saya bernaung merupakan perusahaan besar dan ternama. Beragam fasilitas juga kemudahan telah saya peroleh dari perusahaan ini. Sebut saja, jaminan kesehatan, pelatihan dan pendidikan demi meningkatkan beragam keterampilan, hingga pembiayaan pegawai untuk kebutuhan primer—seperti pembelian rumah maupun pendidikan—dengan nilai angsuran yang terbilang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pinjaman di bank atau perusahaan jasa layanan keuangan lain.
Hasilnya? Wah, jangan ditanya.
Pelatihan seharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah telah memenuhi ruang memori otak saya. Rumah yang saya huni bersama istri dan anak juga wujud nyata dari fasilitas itu. Bagaimana saya yang saat itu baru setahun bekerja, dapat memiliki hunian tanpa perlu repot memikirkan uang muka rumah. Saya hanya cukup mengangsur setiap bulan kepada perusahaan—yang tentunya melalui mekanisme potong gaji. Belum lagi operasi caesar saat kelahiran putra dan tindakan operasi yang harus dijalaninya ketika berusia 6 bulan. Kedua operasi dengan nominal uang teramat fantastis bagi saya yang kere saat itu, dapat terlaksana tanpa ada satu rupiah pun yang keluar dari dompet.
Loyalitas kepada perusahaan kian mengemuka. Jika tidak dibilang berlebihan, agaknya saya dapat menepuk dada sembari menyombongkan diri sebagai salah seorang garda terdepan yang akan membela perusahaan. Perusahaan ini seakan menjadi perantara nikmat yang Tuhan beri kepada saya dan keluarga.
Barangkali muncul pertanyaan besar dalam benakmu, sebenarnya perusahaan apa yang menjadi tempat bernaung saya selama belasan tahun? Sudahlah, tidak usah kepo begitu. Saya tidak berminat membocorkan nama kantor ini kepadamu. Lagi pula, untuk apa?
Kamu nanyeaa?
Kamu bertanyeea-tanyeeaa?
Duduk di kursi belakang dan mendapat berbagai akses kebijakan perusahaan, membuat saya dapat melihat lebih jauh akan “dalaman” perusahaan. Ada hal yang sebelumnya tidak saya ketahui karena terbatasnya akses, kini jauh lebih benderang. Dampaknya? Mencengangkan.
Betapa perusahaan yang saya elu-elukan selama ini, ternyata menjalankan bisnis yang tidak semestinya. Demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya serta memperluas ceruk pasar, perusahaan mengeluarkan kebijakan yang melukai hati dan kemanusiaan. Parahnya, hal itu ditetapkan serta dilegalisasi oleh manajemen. Ditandatangani kepala divisi sebagai representasi wajah direksi.
Saya meradang. Tubuh saya bergetar hebat.
Saya memang tidak bekerja di perusahaan minuman beralkohol yang jelas ketidakhalalannya alias haram secara zat. Saya juga tidak bekerja sebagai penyalur ilegal organ tubuh manusia yang jelas-jelas kriminal. Akan tetapi, utang budi saya pada kemanusiaan, memaksa untuk berontak.
Saya tidak mungkin bertingkah seolah semua baik-baik saja di hadapan perusahaan yang menyembunyikan kecurangan dengan polesan bedak berkedok pelayanan prima. Saya pun tidak berkeinginan mengisi perut istri juga anak dengan uang hasil memeras pelanggan hingga kering tak bersisa. Ada gamang melanda. Namun, amarah bergejolak di dada kian meraja.
Selang satu hari usai menemukan dokumen pembuka mata atas kebobrokan perusahaan, sebuah surat saya layangkan. Surat pengunduran diri bertanda tangan saya.
Saya harus mengakhiri semuanya sekarang. Saya menutup buku penuh kenangan yang ternyata berbau bangkai nan busuk itu.
Selamat tinggal!
Betapa perusahaan yang saya elu-elukan selama ini, ternyata menjalankan bisnis yang tidak semestinya. Demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya serta memperluas ceruk pasar, perusahaan mengeluarkan kebijakan yang melukai hati dan kemanusiaan. Parahnya, hal itu ditetapkan serta dilegalisasi oleh manajemen. Ditandatangani kepala divisi sebagai representasi wajah direksi.
Saya meradang. Tubuh saya bergetar hebat.
Saya memang tidak bekerja di perusahaan minuman beralkohol yang jelas ketidakhalalannya alias haram secara zat. Saya juga tidak bekerja sebagai penyalur ilegal organ tubuh manusia yang jelas-jelas kriminal. Akan tetapi, utang budi saya pada kemanusiaan, memaksa untuk berontak.
Saya tidak mungkin bertingkah seolah semua baik-baik saja di hadapan perusahaan yang menyembunyikan kecurangan dengan polesan bedak berkedok pelayanan prima. Saya pun tidak berkeinginan mengisi perut istri juga anak dengan uang hasil memeras pelanggan hingga kering tak bersisa. Ada gamang melanda. Namun, amarah bergejolak di dada kian meraja.
Selang satu hari usai menemukan dokumen pembuka mata atas kebobrokan perusahaan, sebuah surat saya layangkan. Surat pengunduran diri bertanda tangan saya.
Saya harus mengakhiri semuanya sekarang. Saya menutup buku penuh kenangan yang ternyata berbau bangkai nan busuk itu.
Selamat tinggal!
***[][][]***
Posting Komentar
Posting Komentar