Bukan Hulk ataupun Spider-Man

Posting Komentar

Dalam perjalanan menuju kantor pagi ini, saya menonton siniar yang dipandu oleh Pak Helmy Yahya di kanal YouTube-nya. Helmy Yahya Bicara, memang salah satu tayangan yang kerap saya putar tatkala berkendara di pagi hari. Selain berbagai video yang ditayangkan oleh Doktor Indrawan Nugroho, tentu saja.

Pagi ini, saya memperoleh sebuah inpirasi luar biasa yang membuat diri terguncang. Pak Helmy yang menghadirkan Asri Pramawati atau yang lebih dikenal dengan nama Asri Welas memberikan sebuah tayangan yang teramat membuka mata.

Vespa merah
sumber gambar: pixabay.com

Asri sang seniman serba bisa, bercerita mengenai salah satu fase dalam hidupnya. Dengan mata berkaca-kaca dan sesekali diiringi isak, pemilik The House of Asri Welas itu bercerita bagaimana papa dan ibunya senantiasa berupaya memberikan kenangan manis dan tak terlupakan tatkala ia dan saudara-saudaranya masih kecil. Dengan bermodal sebuah Vespa, Papa dan Ibu mengajak ketiga anaknya berwisata, meski bukan wisata-wisata mewah seperti yang biasa dilakukan para public figure kini.

Dalam ceritanya, Asri bertutur, rumah mereka berada di dalam sebuah gang sempit yang hanya dapat dilalui dua orang dan motor. Mereka bukan dari keluarga berkecukupan. Namun, kedua orang tua Asri memiliki satu visi sederhana: memberi kenangan indah di masa emas anak. Maka, meski hanya dengan Vespa, kelima orang itu menyusuri Jakarta dengan rute Tanjung Priok yang terletak di utara Jakarta, menuju Taman Mini Indonesia Indah di timur Jakarta.

“Papa dan Ibu bilang waktu itu, ‘Kami berupaya sekali memberi kenangan indah pada anak-anak di masa emas hidup mereka. Kenangan di usia 0—5 tahun yang semoga akan membekas dalam hidup.’” Kenang Asri dengan mata penuh air.

Dalam bincang-bincang sederhana itu, Pak Helmy terlihat begitu terkesan dengan kisah yang dihadirkan. Lebih lanjut, Asri menambahkan, “Pokoknya, saya bahagia banget waktu kecil dulu. Benar-benar kenangan indah.”

Saya tertampar. Dalam serunya berkendara di atas motor menuju kantor, saya tersadar bahwa sebenarnya, hal yang dibutuhkan oleh anak bukanlah kemewahan, gadget puluhan juta, tontonan penuh warna di YouTube, ataupun mainan terkeren dan juga tercanggih.

Saya terpukau, sekaligus terbelalak. Satu kenyataan yang seolah luput, kendati sebenarnya beberapa kali anak saya memberi sinyal tak kasat mata. Anak hanya ingin bahagia bersama orang tua dan orang-orang tersayang mereka.

Kenangan indah yang dilukiskan orang tua manakala anak berusia dinilah yang kelak akan menjadi modal dasar bagi mereka ketika menapaki hidup serba seru di masa mendatang. Saya tergugu. Dada saya sesak. Ada perasaan berdosa bukan kepalang lantaran kekeliruan yang sedari dulu saya perbuat, utamanya kepada jagoan kesayangan di rumah.

Betapa sedari dulu, tatkala bocah kecil itu hadir ke dunia, saya senantiasa membanjirinya dengan mainan, action figure idaman yang tidak pernah saya peroleh saat kecil dulu, serta kunjungan ke berbagai tempat paling hype di sekitar lokasi tinggal.

Pertanyaannya kini hanya satu. Segala mainan dan wisata pusat perbelanjaan yang saya lakukan bersama istri dengan dalih menyenangkan anak, sebenarnya memang untuk menyenangkan anak atau justru sekadar menyenangkan hati saya?

Spider-Man
sumber gambar: pexels.com
Apakah karena tidak pernah memiliki action figure jagoan idola ketika saya kecil, maka terbanjirilah
dia dengan beragam figur Hulk, Iron Man, Spider-Man, dan berbagai superhero lain? Apakah karena jarang diajak ke zona permainan di mal saat kecil, maka saya seolah membalas dendam, dan melampiaskannya melalui anak? Bisa jadi iya. Sepertinya memang iya.

Apakah kehidupan serba sulit secara ekonomi yang dialami keluarga, benar-benar dimaknai masa sulit oleh si anak? Jangan-jangan perasaan serba sulit itu hanya dirasakan oleh orang tua yang notabene adalah orang dewasa. Orang dewasa yang memang pikirannya serba ruwet, kerap mikirin duit, ataupun beras untuk makan besok.

Sementara si anak, mereka tidak peduli. Mereka tidak benar-benar tahu bahwa mereka sulit, bahkan mungkin kekurangan ekonomi. Anak-anak tidak pernah tahu bahwa mereka miskin. Mereka hanya ingin main. Khususnya bermain bersama orang tua, dan itu sudah lebih dari cukup.

Padahal, jagoan cilik saya pernah berkata, meski tidak tegas benar.

“Aku senang banget hari ini. Ada Ayah, ada Bunda. Kita bisa tidur-tiduran bareng. Main bareng. Seru-seruan bareng.”

That’s it. Cuma itu yang dia inginkan.

Bermain bersama ayah dan bundanya, tanpa perlu memikirkan mainan baru apa, tontonan seru apa, ataupun dinginnya pusat perbelanjaan terkemuka di Jakarta dan Tangerang. Bukan itu bahagia sebenarnya yang mereka kejar.

Ada utang luar biasa besar yang saya miliki padanya. Semoga kepulangan saya ke rumah, seiring berhentinya saya dari dunia kerja profesional ala pegawai kantoran beberapa hari lagi, akan mampu menebus itu semua. Semoga saya dapat kembali menjadi seseorang yang ia sampaikan sewaktu masih duduk di kelas 1 SD.


“Nak, ini ada pertanyaan terakhir. Kamu jawab, ya,” ucap saya pada sebuah Minggu sore tatkala kami mengerjakan proyek bersama, sewaktu pertengahan semester di kelas 1.

“Iya, Yah.”

“Ini pertanyaannya, ‘Siapakah pahlawan kamu?’” tanya saya sembari membaca sebaris kalimat yang tertera dalam kertas proyek di hadapan kami berdua.

Lelaki kecil di samping saya tidak banyak berpikir. Dengan segera dia menjawab lantang dan penuh keyakinan.

“Ayah,” jawabnya tanpa berkedip.


Seketika, hati saya sejuk. Bahagia yang takakan pernah dapat digantikan dengan apa pun jua.

***[][][]***

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar