Buku Baru Tak Boleh Sendu

Posting Komentar

“Nak, jangan terlalu cepet! Ayah capek.” Saya tengok arah datangnya suara. Lelaki paruh baya berjarak beberapa meter itu terlihat menunduk. Kedua tangannya memegang lutut. Dadanya turun-naik dengan irama tidak teratur. Keringat sebesar biji jagung, mengilap seiring terpaan mentari pada wajahnya.

Saya tersenyum. Tak ayal, saya pun bergegas menghampiri. Sebotol air mineral, saya beri kepada sang lelaki yang masih asyik mengatur napas.

“Ah, cupu, nih. Katanya kuat. Masa’ jalan santai susur Malioboro aja, ngos-ngosan.” Saya meledek.

“Ah, kamu. Ayah kan kuat di masa lalu ….” Sebuah cengiran khas yang amat saya hafal, hadir. Senyum yang hanya terkembang sesekali itu, akhirnya kembali saya dapati.

“Yah … intinya, Ayah udah tua lah, yaa …”

“Ah, kamu ini.” Dekap kuat tiba-tiba menggapai saya. Sebuah jitakan lembut mendarat di kepala. Bertubi-tubi.

Tiada luka atau sakit tatkala dia, lelaki yang saya panggil Ayah, menghujani jutaan jitak di kepala. Alih-alih sendu juga marah, cinta ini justru kian meluap. Rindu tanpa mampu terbendung, membanjiri tiap inci sel tubuh.

“Lepasin! Lepasin! Malu, ah …”

Dalam dekap tangan, juga dada yang terasa begitu kekar ketika di bangku SD dulu, saya menyadari. Dekap Ayah kian lemah. Tubuh, usia, juga berbagai penyakit, telah menggerus kedigdayaan masa muda. Berpura-pura, ya, hanya itu yang saya punya.

Saya berpura-pura berontak. Cekalan tangan yang sebenarnya teramat mudah dilepas, saya buat seolah-olah membelit kuat.

“Lepasin, dong, Yah!”

“Ha-ha-ha. Gimana, masih kuat kan ayahmu ini?” Ayah membusungkan dada. Jika berpura-pura lemah di hadapannya mampu membuat ia bahagia, untuk selamanya pun akan saya lakukan.

***
Buku Baru Tak Boleh Sendu


Entah apa yang hadir dalam ekspresi wajah saya kala itu. Lagi-lagi, saya melamun. Saya kembali pada imajinasi yang sepenuhnya hanya mimpi di siang bolong. Khayalan masa silam yang menjadi bukti betapa inginnya saya melakukan berbagai aktivitas seru bersama Ayah.

Saya sadar, petualangan saya dan Ayah tidak akan pernah dapat terlaksana. Ayah yang kini telah teramat sepuh, tentu tidak akan pernah dapat saya ajak menyusuri Malioboro di Yogyakarta, keluar masuk pintu Lawang Sewu di Semarang, mendaki Bromo di Jawa Timur, hingga berselancar di sepanjang Kuta, Bali.

Ayah yang hadirnya terlalu sering saya impikan, sebenarnya bukanlah pemeran antagonis dalam cerita ini. Justru, beliau adalah sosok pria bertanggung jawab yang senantiasa memikirkan istri dan anak-anaknya. Bahkan dalam mimpi sekali pun. Sementara saya, tentu hanyalah seorang anak kesepian yang berharap ditemani.

Saya sungguh paham, ketidakmampuan Ayah berpetualang seru bukan karena menganggap saya tidak penting. Akan tetapi, sepertinya Ayah berpendapat, ketimbang berpetualang, memastikan saya dapat makan dan sekolah, justru menjadi misi paling penting. Sehingga, tidak mengherankan jika saya harus mengulum sepi dan rindu, ditemani segelas pemakluman. Lagipula, bukankah saya memang terbiasa diminta memaklumi keadaan keluarga dan lingkungan sejak kecil?

Saya berkembang dari seorang anak yang digerus rindu menjadi pemuda dengan berjuta ide dan mimpi akan banyak hal. Saya ingat, ketika masih kuliah, alam pikir saya membuat serangkaian kisah imajinatif layaknya kisah yang ditampilkan pada awal tulisan ini. Saya dan Ayah berpetualang, berkejaran, tertawa bersama tanpa peduli rasa sakit juga duka. Impian menerbangkan saya dan Ayah ke alam khayal di mana kami berdua mengerjakan sebuah proyek besar bersama. Memperbaiki sepeda motor, naik sepeda, hingga bermain video gim sembari tertawa keras-keras.

Impian mengantar kami berdua pada petualangan bawah air, berkejaran dari pulau ke pulau, hingga menerima nasihat jitu darinya tentang apa dan bagaimana cara menghadapi seorang perempuan. Intinya, petualangan bersama Ayah, akan menjadi petualangan paling heroik yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Setidaknya, menurut imajinasi saya.

Akan tetapi, lagi-lagi saya harus sadar. Segelas jus pahit bernama kenyataan dan pemakluman kembali saya reguk. Mimpi yang kelewat bodoh itu tak semestinya saya hadirkan. Saya harus realistis, sebab hidup tidak memberi ruang bagi kami melakukan semua omong kosong itu.

Saya paham. Hal paling penting untuk diperjuangkan saat ini adalah anak saya. Darah daging saya itu tidak boleh ikut menganyam mimpi kosong seperti ayahnya. Dia tidak pantas hanya dapat membayangkan berpetualang bersama ayahnya di dalam mimpi. Tak bisa saya biarkan, bocah santun itu mengisi ruang-ruang otak dengan impian murahan akan serunya berpetualang bersama Ayah. Tidak boleh!

Saya bangkit. Alih-alih meneruskan mimpi tolol puluhan tahun, saya persiapkan buku yang baru.

Saya rengkuh pundak mungilnya. Dalam rasa yang tak pudar, saya sesap harum tubuhnya. Saya dan dia akan menjalani ribuan petualangan besar nan nyata. Petualangan yang sungguh terjadi, sehingga ia tak perlu menjejali pikiran dengan jutaan imaji nan semu.

Kami akan untai baris-baris kalimat. Kami akan tulis beragam petualangan baru ke dalam buku. Buku yang menjadi saksi akan kisah kami berdua.

Buku petualangan superseru. Buku yang agaknya akan ia beri judul: Petualanganku bersama Ayah.

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar