Sangkala Fajar

Posting Komentar
Sangkala Fajar

Sebenarnya, sudah sejak sore Widya mulas. Perutnya terasa kencang. Sensasi aneh itu semakin menghebat. Tendangan kuat terasa menggedor dinding-dinding rahimnya.

Jamal, sang suami, tak perlu dipertanyakan lagi. Selang dua bulan sejak pernikahan mereka, lelaki keparat itu tak lagi nampak batang hidungnya. Tidak-tidak! Jangankan batang hidung, bahkan hela napasnya pun tak pernah terdengar.

Widya kepayahan. Sudah lebih dari lima jam dia mengejan. Namun, tanda-tanda kepala orok terbit dari mulut rahimnya belum juga tampak. Kelelahan, kehabisan napas, serta kesakitan tiada akhir melandanya. Mata Widya memutih. Urat-urat di sekujur tubuhnya menegang.

Bu Sari dilanda panik. Selama 20 tahun menjadi dukun beranak, belum pernah ia menghadapi persalinan serumit ini. Apa yang ia temukan saat ini, sungguh di luar nalar. Widya adalah orang pertama yang ia bantu dengan durasi persalinan lebih dari setengah jam.

“Wid, ayo, Wid! Tarik napas panjang … dorong!”

Seluruh tubuh Widya menegang. Tarikan napasnya terasa kosong. Alveolus dalam parunya, hampa. Sesak napas yang tak pernah terjadi, ia alami kini.

Bu Sari panik. Tubuh perempuan mungil di hadapannya mendadak lemas tanpa tenaga.

“Tolooong! Toloong! Widya biru! Tolongg!”

Widya bergeming. Tubuhnya seakan tanpa tulang.

Tangan-tangan gemetar Bu Sari mengguncang tubuh perempuan malang di hadapannya. Sia-sia.

“Wid, bangun, Wid! Wid, Widya! Sadar, Wid! Eling!”

Ditamparnya pipi Widya berkali-kali. Diangkatnya baskom kaleng yang biasa ia gunakan untuk menolong persalinan. Lalu, tanpa aba-aba, baskom kaleng itu sukses menghantam wajah dan tengkuk Widya demi menyadarkannya.

Agak tolol, ya? Namun, tatkala panik Bu Sari memang tolol dan sering bertindak di luar batas.

“Wid! Sadar, Wid! Wid, nyebut, Wid!”

***

Fajar menjelang. Ayam jantan berkokok nyaring. Tidak merdu memang. Mau bagaimana lagi, ayam-ayam di kampung Widya belum pernah berlatih vokal dengan Bu Bertha yang tenar itu. Andai dilakukan audisi Indonesia Mencari Ayam, dapat dipastikan bahwa ayam-ayam di kampung Widya dan Bu Sari tak akan pernah mampu memperoleh golden ticket untuk melenggang ke Jakarta.

Tubuh Bu Sari masih gemetar. Kejadian mencengangkan yang mampu mengubah cara pandangnya akan hidup, baru saja terjadi. Widya, perempuan mungil nan baik hati itu, sempat hilang kesadaran dan kehabisan napas lantaran tersedak liur sendiri.

Dalam keremangan, Bu Sari membantu perempuan letih di hadapannya menyusui putri cantik dengan kulit kemerahan itu. Tanpa banyak perhitungan, dukun beranak yang terkenal angkuh itu, justru melunak dan menyayangi kedua insan anak dan ibu di depannya.

“Pelan-pelan aja, ya, Wid,” ujar Bu Sari lembut.

“Iya, Bu, Terima kasih banyak, ya, Bu.”

“Iya, sama-sama. Sudah kepikir nama yang cocok untuk putrimu, Wid?”

“Sudah, Bu.” Widya menjawab tersipu dengan kelembutan seorang ibu yang serta-merta terpancar seiring kelahiran sang buah hati.

“Wah, bagus sekali. Siapa?”

“Perpaduan nama kita dan juga indahnya pagi tatkala anak cantik ini dilahirkan, Bu.”

“Wah, Ibu jadi makin penasaran. Siapa, Sayang?” Bu Sari takmampu menahan penasaran. Didesaknya ibu muda yang tengah asyik menelateni wajah polos bayi mungil dalam dekapan.

“Putri saya bernama Fajar Widyasari.”

***[][][]***

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar