Libur Telah Tiba (bagian 3: Tamat)

Posting Komentar

Sebelum membaca cerita ini, sebaiknya kamu membaca cerita sebelumnya.

Klik tautan berikut untuk membaca cerita-cerita sebelumnya.

Libur Telah Tiba (bagian 1)

Libur Telah Tiba (bagian 2)

***

Libur Telah Tiba


"Pa ... Tasya mana, Pa? Tasya mana?" Mama menjerit histeris.

"Iya, Ma. Sabar, ya. Ayo kita cari lagi!" Sebenarnya, kaki tua pria itu terasa sakit untuk digerakkan. Langkahnya kian terseok meningkahi gerak sang istri yang belum juga turun kecepatannya. Namun, hilangnya Tasya, buah cinta mereka, seakan memberi suntikan tenaga kepada Papa.

Matahari mulai tinggi. Terik yang hadir, meski terhalang dedaunan, tak menyurutkan langkah. Lebih dari tiga jam sepasang orang tua panik itu mencari. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda gadis remaja mereka akan ditemukan.

"Pa, kita ke sana, Pa! Ayo, Pa!" Mama menarik keras tangan suaminya. Pemegang saham mayoritas dari puluhan perusahaan terkemuka di Indonesia itu terengah. Papa menegang. Bertumpu pada kedua lututnya, lelaki itu meminta sang istri menunggu sejenak.

"Sebentar, Ma. Papa sesak napas." Diambilnya obat semprot pelega napas kelabu dari balik tas pinggang. Dihirup perlahan semprotan Salbutamol yang keluar bersamaan tekanan kuat ke arah mulut.

Ada kelegaan terpancar dari raut wajah Papa. Meski belum sepenuhnya, tetapi pria itu dapat bernapas lebih tenang.

"Iya, Pa. Maafin Mama. Mama terlalu panik sampai lupa sama Papa. Kita istirahat sebentar, ya, Pa ...."

Dipijat perlahan kaki sang suami. Mama sadar, keputusannya buru-buru mencari Tasya berdampak pada kelelahan luar biasa yang dialami sang suami. Ia paham, mereka tak lagi muda.

"Iya, Ma. Sebentar, ya." Dua semprotan lagi dari alat bantu napas kelabu itu memenuhi rongga mulut Papa. Napas Papa kini jauh lebih tenang. Pijatan di kaki yang Mama lakukan, mereda. Dipandang lembut wajah suami tercintanya.

"Gimana, Pa?"

"Udah mendingan, Ma. Ayo!" Papa hendak beranjak dari duduknya. Digamit lembut tangan sang istri.

"Duduk dulu aja, Pa. Sepuluh menit lagi. Kita butuh istirahat sebentar."

Papa mengangguk. Diusap perlahan kepala sang istri.

***

Pencarian Tasya yang dilakukan Mama dan Papa terus berlanjut. Keduanya kini melangkah lebih jauh. Mereka menembus bagian hutan yang bukan bagian dari kawasan kelolaan penyelenggara wisata.

"Ini Papa bisa dapat lokasi kamping di sini, rekomendasi siapa, sih?" tanya Mama memecah keheningan.

"Dari Unang, Ma. Dia kan senang hiking, travelling, dan naik gunung. Makanya, Papa tugasin dia buat booking satu kawasan hutan wisata ini cuma buat kita bertiga."

"Lah, terus si Unang-nya ke mana? Pihak penyelenggara kamping juga kok enggak Mama lihat sama sekali sejak pertama datang?" Mama memuntahkan kebingungannya.

"Papa kan kepengin Tasya lebih dewasa dan bertanggung jawab. Papa minta Unang sama sekali enggak muncul. Begitu juga yang punya tempat kamping. Biar kita bisa ngerasain serunya kamping di alam bebas."

"Nah, kalau kondisi darurat kayak sekarang gimana, Pa?" Mama mulai histeris. Ada sesal menggantung dari suaranya. Dia menyayangkan sang suami bertindak tanpa melibatkan dirinya dalam merencanakan sesuatu.

"Papa sudah suruh Unang buat koordinasi sama pemilik tempat kamping. Unang juga udah Papa suruh lapor polisi dan Basarnas, Ma. Mama tenang, ya. Kita tetap usaha cari, tapi jangan terlalu jauh. Jangan sampai nanti malah kita yang kesasar."

Keduanya terus melangkah. Meski sedikit, ada sejumput lega di hati Mama. Hingga akhirnya, Mama dan Papa tiba di hadapan sebuah bangunan.

Sebuah rumah kecil reyot dengan warna yang sama sekali tidak jelas, hadir setelah keduanya melalui jalan setapak yang cukup panjang. Rumah kumal berbahan kayu itu, doyong ke arah kanan. Siapa pun yang melihat akan berkesimpulan, usia rumah dengan beberapa genting pecah dan lepas itu lebih dari 50 tahun.

Mama melangkah. Dikitarinya rumah itu. Sementara Papa mengekor dari belakang.

"Per—permisi, Bu, eh, Nek ...." Mama menyapa seorang nenek yang sedang duduk di sisi belakang rumah. Seakan tengah berjemur, nenek sepuh itu asyik duduk menatap jauh ke tengah hutan di atas kursi goyangnya yang juga tidak kalah tuanya.

Hening. Hanya suara desau angin yang terdengar.

"Nek ... Nenek ... permisi ..."

"Ah, ya ... ya ...." Suara parau dari perempuan tua itu terdengar. Dengan terkaget, nenek itu menengok kanan-kiri mencari sumber suara.

"Di sini, Nek!" Papa setengah berteriak. Mama pun berjalan mendekat.

"Oh, ya ... Maaf, ya. Nenek tadi tidak sadar kalau ada yang manggil. Ada apa, ya?"

"Iya, Nek. Maaf mengganggu. Kami mau tanya. Apa Nenek melihat putri kami? Umurnya 19 tahun. Tingginya segini, rambut dikucir."

Papa mengambil ponsel dari tas pinggangnya. Membuka ruang penyimpan gambar, lalu memperlihatkan pada nenek renta di sampingnya.

"Seperti ini fotonya, Nek."

Kepala nenek tua itu mendekati layar ponsel. Dipandangnya lekat-lekat layar ponsel Papa. Kemudian menggeleng.

Mama belum putus asa. "Tadi, dia hilang saat di dekat air terjun di sana. Dia pakai celana jeans biru, kaus oranye, juga jaket tebal hijau. Nenek lihat?"

Kembali, sang renta menggeleng pelan.

"Nenek jarang ke mana-mana. Sudah tua begini, Nenek enggak kuat jalan jauh."

"Oh, begitu. Maaf, ya, Nek. Ganggu istirahatnya."

Seulas senyum terbit di bibir Nenek."

"Enggak apa-apa. Lagian Nenek jarang punya tamu. Jadi, senang kalau ada yang datang ajak ngobrol." Suara parau Nenek terasa janggal. Ada yang tidak biasa menurut Mama dalam suaranya. Namun apa, Mama taktahu.

"Loh, memangnya, Nenek tinggal sama siapa?" tanya Papa penasaran.

"Sendirian. Nenek, ya, sehari-hari begini. Cuma ditemani boneka-boneka." Wajah Nenek tampak cerah. Gigi hitam nan jarang tampak menghias mulutnya.

Mama dan Papa tersadar. Ternyata perempuan sepuh ini tidak sendiri. Di sampingnya, berjajar beberapa boneka seukuran bayi duduk di kursi-kursi di samping kursi goyang.

"Baik, kalau begitu. Kami permisi, ya, Nek. Terima kasih." Papa menutup perbincangan. Mereka tak ingin menyiakan waktu. Tasya harus segera ditemukan!

"Loh, tidak mampir dulu? Biar Nenek buatkan teh, ya!"

"Tidak usah, Nek. Terima kasih." Pasangan suami istri itu lantas beranjak meninggalkan rumah tua yang sepertinya akan rubuh dalam hitungan bulan.

Ekor mata Mama menangkap sesosok boneka yang sepertinya masih baru. Tampak pakaian yang dikenakan, juga warna langsat dari kain pintal yang menjadi kulit boneka cenderung lebih bersih ketimbang enam boneka lain.

Seperti enam boneka lain, boneka anak perempuan itu juga berbahan dasar kain. Mengenakan celana biru dengan kaus jingga. Aksen berupa jaket hijau menambah manis perawakan sang boneka berkucir itu.

***

Malam telah larut. Nenek tua di gubuk reyot mematikan lampu minyak yang menjadi satu-satunya penerang rumah. Dalam hitungan menit, nenek tua itu lelap di atas ranjang tuanya, hingga sebuah tangis terdengar pelan dari jajaran boneka di lemari.

"Hei, kenapa menangis?" Sebuah suara berbisik menyapa. Sebuah boneka kumal dengan topi rajut khas pendaki.

"Aku takut. Aku kangen Mama. Kangen Papa."

"Enggak usah takut. Semua baik-baik aja, kok."

"Aku enggak mau jadi boneka." Isak tangis masih terdengar, kendati pelan dan terbata.

"Ambil sisi positifnya," suara boneka dengan sepatu bot coklat terdengar, "setidaknya, dengan menjadi boneka, kamu akan abadi."

Boneka lain yang tampak sangat lusuh, ikut dalam diskusi malam itu. Kulit bagian kepalanya telah terkupas. Dengan dakron menyembul, boneka itu tampak begitu tua.

"Sudah, lebih baik kamu perkenalkan namamu kepada kami semua!" perintahnya penuh wibawa.

Dalam isak, boneka baru itu berkata. "Aku Tasya."

"Selamat datang, Tasya. Perkenalkan, aku Unang."

***[][][]***

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar