Saat Bel Pulang Berdentang

Posting Komentar
Tekadku telah bulat. Tidak akan ada yang mampu menghalangi, bahkan membujukku lagi. Tidak dia, mereka, ataupun kamu. Kendati harus dicap sebagai durhaka, andaikata Ibu memerintahkan aku mengurungkan niat, pasti akan kulawan juga titahnya.

Aku berangkat ke sekolah dengan sedikit cemas. Biar bagaimana pun, pengalaman ini bukanlah hal yang wajar dan umum dialami setiap orang. Biarlah. Biar aku melakukannya. Aku sudah menentukan waktu. Sejauh ini, satu-satunya waktu yang kurasa tepat, ya, hari ini.

Berjuta debar terus bertalu. Dadaku seakan sesak diiringi hentakan jantung yang tak juga mau melambat. Debar yang hadir seakan hendak menyampaikan satu hal: aku harus mengurungkan langkah.

Tidak!

Tidak mungkin aku berhenti. Aku sudah berjalan sejauh ini. Tidak ada jalan untuk kembali. Satu-satunya pilihan masuk akal bagiku, ya, hanya itu, maju. Bukan mundur seperti yang mereka akan sarankan untuk kulakukan.

Waktu bergulir begitu lambat. Jam akhir pelajaran yang jatuh pukul 12, terasa bagai berabad lamanya. Air liur tak lagi mampu kutelan. Nyaris tersedak aku dibuatnya.

Saat Bel Pulang Berdentang

Tepat ketika dering nyaring bel sekolah memenuhi ruang dengar, otakku menyalak seketika. Aku bangun dari tempat duduk reyot yang sedari tadi menyerap panas tubuh. Kurogoh sebuah benda dari dalam tas.

Lekas-lekas kuhampiri lelaki di sana.

“Anton!”

Pria 30 tahunan itu menoleh. Wajah yang semula ceria, tiba-tiba masam bak tahi kucing yang terinjak tanpa sengaja.

“Kok manggilnya langsung nama, gitu? Jangan kurang ajar, ya!” Lelaki itu menyemburku tanpa ampun.

Guru matematika kelas XII itu kudekati. Dengus napasnya terasa menyentuh permukaan kulit. Dalam satu sentakan, dadaku nyaris menempel dadanya.

Sebaris kalimat lirih kubisikkan di telinga laki-laki yang kini hanya berjarak beberapa senti dariku.

“Dapat salam dari Annisa Dwinanda …”

Meski hanya beberapa detik, mata terbelalak seiring nama yang terucap, masih dapat kunikmati. Selanjutnya, belati di tanganku mengoyak dadanya dan memuntahkan berliter-liter darah. Kemeja putihku bermandi cairan merah kini.

“A—akh … akh …” Lelaki tambun bertancap belati itu terperanjat. Jerit histeris dari para murid memenuhi ruang kelas. Beberapa gadis memanggil namaku, sementara sebagian lain memanggil nama Tuhan.

“Titip salam buat dia kalau lo ketemu dia di akhirat, Bangsat!” Belati kucabut. Tanpa permisi, bilah tajamnya mengiris urat dan nadi di kerongkongan Anton Romansari.

Aku melenggang keluar kelas.
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar