Tatkala pikiran saya mengarah ke sana—bahwa guru adalah tinggi dan teramat layak ditinggikan, beberapa kawan dengan profesi itu justru merendahkan diri dengan menyebut diri “hanya guru biasa”.
Hei, please, dong!
Masyarakat dan pemerintah sudah merendahkan kamu sebegitunya, masa’ iya kamu yang jelas-jelas memang guru, malah ikut-ikutan merendahkan diri? Jika kamu merendahkan diri, menganggap bahwa dirimu adalah orang biasa, marginal, dan tidak keren, maka jangan salahkan jika semakin banyak orang di luar sana kian menafikan peran dan andil guru dalam sendi kehidupan.
Jangan munafiklah. Pemerintah kita memang mengerdilkan peran guru, ‘kan? Omong kosong jika pemerintah berkata mereka memperhatikan guru. Tahi kucing!
Secara slogan maupun semboyan, guru memang terkesan ditinggikan. Diberi label “pahlawan”. Lalu, demi ketinggiannya, disematkan tambahan frase “tanpa tanda jasa”. Dampaknya? Guru menjadi sosok suci nan agung, diharapkan ikhlas, sabar, juga rida dengan berbagai terpaan yang mengadang.
Bangsat!
Sangkala guru bergaji 3—8 juta rupiah per bulan untuk ukuran pegawai negeri, juga 100 ribu hingga 1 jutaan untuk guru honorer, di saat itu pula manusia-manusia yang terkenal karena desakan media sosial dibayar tinggi membumbung langit.
Akibatnya? Guru dengan desakan dan tuntutan mencerdaskan kehidupan bangsa, lalu masih diperas sedemikian rupa dengan berbagai perangkat pembelajaran, diganjar gaji kecil. Sementara nun di sudut sana, bermodal viral, gaya aneh, juga slogan mengerikan, para “artis” diberi bayaran puluhan, bahkan ratusan juta rupiah.
Lalu, kamu yang guru sebenar-benarnya guru masih merendahkan martabat dengan menyebut diri “hanya guru biasa”?
Tolol!
Sudah direndahkan, malah makin merendahkan diri!
Posting Komentar
Posting Komentar