Warisan Aneh si Orang Aneh

Posting Komentar
Warisan Aneh si Orang Aneh


Saya tumbuh dari keluarga sederhana yang demi memenuhi kebutuhan makan harian, mengharuskan para penghuni rumah bekerja ataupun berhemat. Dengan latar belakang itu, tidak mengherankan jika kedua orang tua memaksimalkan seluruh waktu demi keping-keping rupiah. Ya, pepatah time is money, agaknya benar-benar menjadi hal nyata dalam pengalaman kanak-kanak saya.

Imbasnya, ketiadaan sosok orang tua pada beberapa situasi genting dalam hidup, terjadi. Di masa kanak-kanak, saya teramat sering menemukan rumah kosong di hari kerja, dan sepi di hari libur. Tatkala hari kerja, rumah kosong karena kedua orang tua bekerja. Sementara anak-anak—termasuk saya—bersekolah. Sepi pada hari libur, terjadi karena lelah setelah bekerja dan bersekolah, dibayar dengan tidur sepanjang waktu.

Saya kesepian. Sosok Ayah yang saya harap akan mengajari hal-hal jantan tidak juga hadir. Sementara Ibu, hanya datang untuk menagih prestasi. Pertanyaan berapa nilai yang saya dapat, serta “motivasi” berupa ocehan berdurasi dua jam manakala gagal mendapat nilai sempurna, kerap saya temui.

Saya kini tumbuh menjadi pria dewasa yang telah beristri juga anak. Dendam akan masa lalu yang sunyi, mewujud pada ketidakinginan diri melewatkan berbagai masa emas dalam tumbuh kembang anak. Sayangnya, hidup tidak linear. Hidup berisi kompromi dan segala pemakluman.

Demi memenuhi kebutuhan hidup, saya melakukan beragam hal yang hampir sama dengan apa yang dilakukan orang tua. Saya meletakkan kaki di kepala, kepala di kaki, demi mengisi pundi-pundi rupiah.

Pulang malam menjadi hal yang lumrah. Sisa tenaga, ya, hanya itu yang dapat dibagi. Untuk anak, juga istri.

Dalam satu kesempatan, protes lembut yang dilayangkan istri dan anak, membuat saya tersentak. Berjuta gemuruh bergulung di atas kepala, menghantam, sekaligus menyadarkan.

Ada tangis hadir saat itu. Saya berutang banyak pada istri. Tentu saja saya juga berutang tak terkira pada dia, sang bocah bermata bening yang tetap setia menunggu saya, kendati gulita dan Dewi Malam telah hadir mengambil alih pelataran langit.

Saya perlahan merangkak. Mencoba hadir untuk kedua makhluk tersayang di sana. Memohon kesempatan untuk menjadi suami, juga ayah yang dicintai dan dirindukan.


Buku sebagai Prasasti

Warisan Aneh si Orang Aneh

Dalam upaya merenda kembali masa-masa yang hilang bersama keluarga, saya bertemu dengan keinginan menjajal potensi lain diri ini. Saya berkenalan dengan dunia tulis-menulis. Dunia baru yang tidak sepenuhnya asing, meski tidak seutuhnya benderang.

Saya mulai belajar merangkai huruf menjadi kata. Kata demi kata, saya rajut menjadi kalimat. Hingga berbaris alinea tercipta dari anyaman kalimat yang ada.

Terasa rona bahagia memancar dari kusamnya wajah setelah mendaki dunia baru ini. Dunia tulis-menulis menawarkan kehangatan menjadi diri sendiri sekaligus menjadi orang lain, dalam waktu bersamaan. Dalam tulisan, saya dapat menjadi diri sendiri kendati tengah merancang sosok pembunuh yang jelas-jelas bukan diri saya.

Saya yang tengah merajut bahagia dalam cumbu mesra bersama anak dan istri, dihujani tambahan sukacita dengan kenyataan bahwa menulis layak dijadikan sarana mengeksplorasi diri.

Lalu, desakan untuk membuktikan diri dengan menelurkan karya berupa buku mengemuka. Tidak sedikit pihak seakan menekan saya memiliki buku sendiri.

Untuk apa?
Apa urgensi memiliki sebuah buku?

Bukankah saya baru saja pulang dan membuka lembar baru bersama istri dan anak? Bukankah kesibukan mempersiapkan buku, berpotensi merusak lembar indah itu dengan terkurasnya energi dan waktu?

Kepala saya menoleh kiri dan kanan. Rekan sejawat yang sama-sama baru belajar menulis seakan berlomba menghasilkan buku pribadi. Satu, dua, tiga, banyak!

Pertanyaan itu terus berdengung. “Kamu kapan?”


Barangkali, bagi kebanyakan penulis, buku tak ubahnya trofi. Buku merupakan pencapaian prestisius yang layak digembar-gemborkan, bahkan diseremonikan.

Salah? Sama sekali tidak.

Setiap orang memiliki cita-cita serta target capaian yang berbeda, ‘kan? Tentu sah saja ketika menetapkan buku sebagai sebuah cita-cita. Namun, apakah saya harus punya cita-cita yang sama?

Sebenarnya, saat itu saya menyadari satu hal. Jarak saya dengan lahirnya buku yang berhiaskan nama saya sendiri pada sampulnya, tidak lebih dari sejengkal tangan. Sangat dekat. Akan tetapi, ketidaktahuan atas urgensi buku itu lahir, membuat saya perlu kembali mengevaluasi.

Apakah saya harus menulis buku? Apa memang pencapaian hidup saya berbentuk buku? Bukankah, pulang dan dihujani cinta istri serta anak, adalah cita-cita yang ingin saya raih dan wujudkan?

Perenungan panjang membawa saya pada sebuah kesadaran: kecintaan saya pada mereka harus terwujud. Usia saya tidak mungkin bertambah. Akan tiba masanya kematian datang menjemput. Lalu, setelah mati nanti, apa hal yang dapat saya beri untuk mereka?

Apa hal yang dapat saya bagi untuk cucu dan cicit? Apa nilai-nilai yang dapat saya wariskan manakala umur lebih dulu tak bersisa?

Kesadaran saya tiba. Diri ini akhirnya memiliki alasan kuat demi hadirnya sebuah buku bernama saya. Buku itu adalah warisan dan prasasti yang tatkala dibuka, akan bercerita kepada istri, anak, menantu, cucu, hingga keturunan-keturunan selanjutnya, bahwa pernah ada orang aneh yang kelak mereka panggil kakek. Orang dengan nilai-nilai yang layak dipertimbangkan sebagai falsafah hidup.
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar