Belajar dari 2 Film tentang Kekerasan di Sekolah

Posting Komentar
belajar dari 2 film tentang kekerasan di sekolah
Tindak kekerasan di sekolah, sudah semestinya tidak terjadi dengan alasan apa pun. Namun, kenyataannya berbagai aksi kekerasan di sekolah seakan-akan merebak sedemikian hebat tak ubahnya cendawan di musim penghujan.

Fenomena mengerikan ini bahkan kerap diabadikan oleh para sineas di berbagai belahan dunia sebagai sebuah tayangan yang dengan mudah dikonsumsi publik. Pada kesempatan kali ini, saya akan mengulas singkat dua film yang berasal dari negeri ginseng, Korea Selatan, akan aksi kekerasan yang terjadi di sekolah.

Tentunya, ulasan yang saya lakukan sama sekali tidak ditujukan untuk menginspirasi agar kejadian-kejadian serupa terjadi di mana pun. Justru kehadiran ulasan ini, tidak lain saya maksudkan agar kita semua, tanpa kecuali, dapat belajar dan terhindar dari tindakan ini. Baik sebagai korban, pelaku, maupun orang-orang yang berada dalam lingkaran aksi mengerikan semacam ini.

Berikut dua rekomendasi film tentang kekerasan di sekolah. Check these out!

1. Silenced

belajar dari 2 film tentang kekerasan di sekolah
Film tentang kekerasan di sekolah satu ini memiliki judul asli Do-ga-ni dan rilis pada 2011. Jujur saja, usai menyaksikan film satu ini, jiwa saya benar-benar terguncang. Silenced yang diperankan Gong Yoo ini, bahkan dapat saya nyatakan sebagai film yang jauh lebih menegangkan dari berbagai film thriller dan horor yang pernah saya saksikan sepanjang hidup.

Silenced berkisah tentang Kang In-ho (diperankan Gong Yoo), yang baru saja diterima sebagai guru seni rupa di sebuah sekolah bagi siswa-siswi berkebutuhan khusus. Ya, In-ho diterima mengajar di sekolah khusus anak-anak tunarungu.

Keberadaan In-ho sendiri tiada lain lantaran profesor yang menjadi dosen pembimbingnya selama kuliah, merekomendasikan dirinya kepada kepala sekolah.

Kendati mengawali karier di sekolah dengan cukup aneh—misalnya, In-ho diminta untuk ikut menyumbang sebesar 50juta won kepada sekolah sebagai dana pengembangan sekolah—tetapi, segala sesuatunya masih dianggap wajar oleh In-ho.

Akan tetapi, keganjilan demi keganjilan terus menerus guru ini temui. Mulai dari jerit ketakutan anak perempuan di dalam kamar mandi putri, seorang siswi yang ketakutan kepada guru, siswa bernama Yoo-ri yang dipukuli guru dengan begitu sadis, tetapi para guru lain seolah tak peduli, hingga seorang siswa perempuan bernama Yeon Do yang ditekan kepalanya ke dalam mesin cuci yang sedang berputar.
belajar dari 2 film tentang kekerasan di sekolah
Yoo-ri
Film yang berhasil memuncaki tangga film terlaris setelah pemutaran di minggu pertamanya ini benar-benar membuat saya mengalami trauma. Saya tidak habis pikir, betapa orang-orang terpandang, berakal sehat, bahkan dikenal dermawan oleh masyarakat, ternyata berani bertindak sedemikian hina. Bahkan lebih hina daripada binatang.

Film tentang kekerasan di sekolah satu ini, tanpa tedeng aling-aling mengungkap kepada para penonton kekejian demi kekejian yang dilakukan kepala sekolah, kepala administrasi sekolah (keduanya adalah saudara kembar), dan seorang guru.

Dengan penuh lagak, kepala sekolah memaksa Yeon Do, siswi berusia 14 tahun, untuk menyaksikan film porno di ruangannya, kemudian mulai mencabulinya.

Di sudut lain, Park Bo-hyun sang guru bejat, tanpa merasa berdosa memaksa Yoo-ri, seorang anak laki-laki teman sekelas Yeon Do, untuk memuaskan nafsunya. Benar, Sobat tidak salah duga. Park Bo-hyun mencabuli Yoo-ri dan adiknya (yang laki-laki juga), di mana mereka semua adalah laki-laki.

Film ini memperlihatkan kengerian lain di balik kisah perundungan dan aksi kekerasan yang terjadi. Betapa kekuasaan, jabatan, serta uang, akan senantiasa berkuasa dan dengan mudah mengintimidasi mereka yang lemah.
belajar dari 2 film tentang kekerasan di sekolah
Yeon Do
Kepala sekolah yang dikenal masyarakat sebagai pemuka agama taat dan rajin bersedekah, bahkan didukung habis-habisan oleh para jemaat gereja, kendati pengadilan telah membuktikan bersalah.

Film ini, mengajarkan begitu banyak nilai berharga yang dapat saya pergunakan dalam membantu mengawal anak saya memilih sekolah serta jalan hidupnya.

Satu hal yang paling mengerikan dari Silenced adalah karena ternyata film ini diinspirasi dari sebuah kisah nyata yang pernah terjadi di sebuah sekolah difabel. What?

2. My Little Baby, Jaya

belajar dari 2 film tentang kekerasan
Saya akan ajak Sobat untuk berangkat ke sebuah film tentang kekerasan di sekolah selanjutnya. Kali ini sebuah film yang rilis pada 2017 silam dengan judul asli Korea-nya, Jirungyi.

Film ini menyoroti kisah hidup Lee Won-Sol, seorang pria paruh baya dengan cerebral palsy, yang menghidupi putri tunggalnya, Lee Jaya. Jaya, adalah seorang gadis cantik dengan kemampuan menyanyi yang sangat hebat. Mereka hidup bersama meski impitan ekonomi kerap mengejar hidup.

Berharap sang putri memperoleh pendidikan yang lebih baik, Won-Sol mengajak Jaya untuk melanjutkan sekolah di Seoul. Won-Sol sendiri, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mengandalkan keterampilannya berdagang untuk menghidupi diri dan anaknya.

Sayang sekali, SMK tempat Jaya bersekolah, rupanya amat mengedepankan uang dan harta. Begitu mengetahui Jaya “hanyalah” anak pria cerebral palsy yang berdagang pakaian dalam wanita di pinggir jalan, penghormatan yang Jaya peroleh lantaran kemampuan bernyanyinya yang luar biasa, seketika luruh.
belajar dari 2 film tentang kekerasan di sekolah
Won-Sol dan Jaya
Jaya lekas menjadi bulan-bulanan para penguasa sekolah, yang tidak lain anak ketua yayasan dan kroni-kroninya.

Kendati film tentang kekerasan di sekolah satu ini begitu terasa efek dramatisasinya, saya harus mengakui tidak bisa tidak menghalau geram yang menghantui.

Saya menahan marah luar biasa ketika para penjahat berseragam SMK itu satu demi satu “menggilir” Jaya di rumahnya sendiri. Bahkan, para gadis sekelas Jaya yang berada dalam naungan kekuasaan ketua yayasan, dengan begitu jemawa memaksa Jaya yang sudah tak mampu berkelit untuk menjadi pekerja seks komersial.

Film satu ini memang bukan kisah nyata. Akan tetapi, ketakutan dan isak yang saya alami ketika menyaksikan kebiadaban yang dilakukan kepada Jaya dan Won-Sol, nyata adanya.

Saya merasakan kesakitan luar biasa yang Won-Sol alami usai Jaya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Apa yang Dapat Dilakukan?

Berkaca dari apa yang terpampang nyata pada kedua film tentang kekerasan di sekolah yang sedemikian mengerikan di atas, agaknya, sudah sepatutnya sebagai manusia, orang tua, dan juga warga masyarakat mengambil pelajaran.

1. Kewaspadaan Orang Tua

Yeon Do dan Yoo-ri dalam Silenced, diceritakan memiliki latar belakang keluarga yang kurang menggembirakan. Yeon Do adalah yatim piatu dan tinggal di asrama milik sekolah. Adapun Yoo-ri, berlatar belakang keluarga supermiskin dengan ayah yang mengalami keterbelakangan mental dan ibu yang kawin lari dengan orang lain.

Adapun Jaya, memiliki orang tua bernama Won-Sol, yang bekerja jungkir balik demi menghidupi keluarga, di tengah keterbatasannya sebagai penyandang cerebral palsy.

Kewaspadaan orang tua yang saya maksud tentu tidak bermaksud menyudutkan keadaan keluarga para korban dalam film. Justru kewaspadaan yang saya angkat adalah betapa para pelaku perundungan atau kekerasan di sekolah ini, nyata-nyata merupakan anak-anak yang minim memperoleh perhatian dan diawasi secara intens oleh para orang tua.

Maka, sudah menjadi kemestian bagi kita semua—khususnya para orang tua—untuk memberi perhatian lebih atas segala yang dialami anak. Tentu kita tidak berharap anak-anak kita tercinta menjadi korban kekerasan maupun menjadi para perisak yang merusak.

2. Kewaspadaan terhadap Kekuasaan yang Korup

Merujuk pada artikel yang dimuat dalam tribunnews.com atas kejadian memilukan yang terjadi di Menganti, Gresik, mengenai seorang siswi kelas 4 SD yang terpaksa kehilangan penglihatannya lantaran dicolok dengan tusukan bakso oleh sesama siswa, tentu amat memilukan. Silakan baca artikel selengkapnya di sini.

Hal ini diperparah dengan kabar yang berembus bahwa Camat Menganti mengancam memecat orang tua korban dari profesinya sebagai Carik (sekretaris desa), manakala kasus yang memilukan ini tidak selekasnya selesai.

Membaca kisah ini, jelas membuat saya berkaca kepada kedua film yang diulas di atas.

Dalam kasus pada film Silenced, pelaku yang tidak lain kepala sekolah dan kepala administrasi sekolah, ditambah seorang guru, jelas-jelas menyalahgunakan kekuasaan. Mereka mengancam bahkan jelas-jelas memukuli siswa di depan semua orang.

Adapun pada My Little Baby, Jaya, kuasa ketua yayasan dan anggapan bahwa orang miskin sebagai warga kelas dua-lah yang akhirnya menjerumuskan Jaya dan Won-Sol ke lembah kenistaan.

3. Terima Anak Kita

Anak tidak pernah mau menjadi korban perisakkan. Mereka pun saya yakin tidak bercita-cita menjadi seorang pelaku tindak kekerasan. Alih-alih membebani mereka dengan segala hal yang memberatkan, saya mengajak kita semua—termasuk diri saya tentu saja—untuk senantiasa mengawasi anak-anak kita.

Terima mereka apa adanya. Sayangi mereka, tanpa pamrih dan embel-embel apa pun. Karena mereka sejatinya hanya memedulikan perhatian dan cinta kasih kita.


Demikian ulasan sederhana atas dua film tentang kekerasan di sekolah. Semoga kita semua dapat terhindar dari semakin meningkatnya angka kekerasan di sekolah.

Sebagai informasi, berdasarkan data yang dikumpulkan kumparan, saat ini Indonesia menempati peringkat ke-5 dari 75 negara, dalam daftar negara dengan perundungan tertinggi di dunia. Sama sekali bukan sesuatu yang perlu dibanggakan apalagi ditingkatkan.
belajar dari 2 film tentang kekerasan di sekolah

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar