Tangkaplah Daku, Kau Kujitak: Novel Remaja Asyik dari Seri Pertama Lupus

Posting Komentar
Bagi saya, Lupus dengan segala kisah unik yang melingkupinya, merupakan salah satu novel remaja yang menjadi kekayaan dan budaya bangsa.
Lupus novel remaja yang asyik
Sudah cukup lama saya mendambakan seri pertama dari novel remaja terkenal mendiang Hilman Hariwijaya, Lupus: Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!

Saya memang salah seorang penggemar banyak serial Lupus yang Hilman tulis. Setidaknya, masa-masa SD—SMA cukup banyak saya habiskan bersama Lupus, Boim, Gusur, dan sahabat-sahabatnya yang lain.

Maka, ketika pada suatu kunjungan ke toko buku Gramedia saya menemukan buku ini, tanpa pikir panjang—sebenarnya agak mikir panjang, sih, karena uang di dompet dan saldo di rekening sudah menipis—jadilah buku ini saya angkut ke kasir.

Dari sisi ketebalan, buku ini sebenarnya tidak terlalu tebal, khususnya jika dibandingkan dengan salah satu buku Lupus yang saya miliki saat SMA dulu: Mission Muka Tebel. Buku setebal 160 halaman ini, bahkan tuntas saya baca hanya dalam kurun waktu tidak terlalu lama. Kalau ditotal, mungkin sekitar 2—2,5 jam waktu yang saya butuhkan untuk menuntaskan buku ini.

Usai membaca, kebanggaan saya akan sosok Hilman semakin besar. Hilman yang telah menghadirkan Lupus sebagai salah satu idola masa remaja saya, nyata-nyata telah berhasil melahirkan sosok “remaja ideal” ala dia, yang kemudian saya amini dan masih terus saya nikmati hingga kini.

Setidaknya, ada 3 hal seru yang saya catat dari tulisan Hilman Hariwijaya pada serial pertama novel Lupus ini.

Kisah Remaja yang Relevan dengan Berbagai Zaman

Lupus novel remaja yang asyik
Sebenarnya, salah satu alasan yang mendasari saya membeli buku Lupus: Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!, selain hendak mempelajari cara Hilman bertutur dalam novelnya, tiada lain adalah keinginan untuk bernostalgia.

Bagaimana pun, novel remaja yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada 1986 ini, tentu akan membawa banyak kisah romantisme-nya sesuai dengan kehidupan remaja pada masa itu. Setidaknya, itu yang ada dalam benak saya ketika membeli buku ini.

Akan tetapi, dugaan saya rupanya meleset jauh. Lupus yang saya pikir akan menampilkan cerita khas anak muda masa lalu, seakan-akan dilahirkan kembali melalui buku ini. Saya terkejut dengan berbagai hasil suntingan dan “pengkinian” yang editor lakukan atas berbagai sisi cerita.

Sebagaimana seri-seri Lupus lainnya, seri pertama ini bercerita tentang keseharian Lupus sebagai seorang siswa, anak, juga wartawan freelance Majalah Hai. Berbagai kisah kocak yang terjadi sepanjang hari, mulai dari perjalanan cinta dengan ketua kelasnya, aksi yang dia lakukan demi menyelamatkan diri dari razia rambut, ataupun ucapan-ucapan usil yang kerap dilontarkan ketika bertemu cewek kece, tersaji apik.

Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri, nuansa 80/90-an yang biasanya hadir dalam semua buku Lupus, kabur dengan berbagai pengkinian yang dilakukan.

Sebut saja Lupus yang kini memiliki handphone, suka mendengarkan musik lewat iPod, berburu gadget berupa laptop di Grand Indonesia, bahkan hingga menyamakan potongan rambutnya dengan boy band Korea, Super Junior.

Jika dirunut, sudah dapat dipastikan semua itu tidak mungkin ada pada naskah asli Lupus tahun 1986, ‘kan? Bahkan tawa narator sebagai pencerita—karena novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga—pun telah menyesuaikan dengan gaya anak muda masa kini.

Seingat saya, Hilman kerap menulis “hehehe” sebagai tawa narator dalam buku-buku Lupus cetakan lawas. Adapun sekarang, narator menggunakan tawa khas anak masa kini, yakni “wkwkwk”.

Dari sana, saya menyadari, justru di sinilah letak kekuatan Lupus berada. Kendati perlu diberi sedikit penyesuaian, Lupus nyatanya tidak lekang dimakan zaman.

Gaya jahil Lupus masih tetap relevan hingga 37 tahun sejak kemunculan perdananya. Keusilannya kepada Lulu dan celetukan khas yang kerap dia lontarkan kepada Boim, masih tetap asyik dan dapat diterima hingga kini.

Pesan Sosial yang Tidak Menggurui

Sebagai penulis, Hilman tidak hanya asyik membangun cerita. Melalui sudut pandang khas remaja, Hilman justru rajin menyisipkan sentilan halus yang biasa terjadi pada kehidupan sosial masyarakat.

Tengok saja pada apa yang diangkat dalam cerita “Prestise Jazz”.

Melalui cerita ini, dengan amat nyata Hilman mengkritik pada pekarya yang hanya sibuk dan asyik tenggelam dalam karyanya, tanpa memedulikan apa yang dirasakan oleh para penikmat karyanya. Mereka seakan tidak peduli apakah para pengunjung mengerti dengan gelaran yang dibuat.

Pada cerita ini, disebutkan para musisi jazz yang tampil dalam sebuah konser musik jazz, teramat asyik mengulik musik hingga menjadi terlalu rumit dan sukar dinikmati para pendengar jazz pemula. Para pemusik ini bahkan sama sekali tidak menengok ke arah penonton dan asyik bermanuver bersama alat musiknya di atas panggung.

Alih-alih menyuguhkan sajian musik yang menyenangkan penonton, mereka justru asyik menyenangkan diri sendiri.

Belum cukup di situ, “Prestise Jazz” juga dengan amat halus menyentil hubungan persahabatan yang dangkal—sekadar ikutan teman ke konser jazz, padahal tidak paham musiknya—hingga meninggikan gengsi di atas kenyamanan pribadi.

Layaknya isu fomo—fear of missing out—sebagaimana yang kerap menjangkiti anak muda masa kini, Lupus pada 1986 bahkan telah menyoroti hal ini sebagai salah satu bagian dalam gaya hidup kebanyakan remaja.

Jika Sobat pikir pesan moral dan sosial hanya ada pada cerita ini, tentu saja salah. Sebab, masih ada “Kantin Sekolah” dan “Kolak Pisang buat Lupus” yang tersaji dalam novel remaja satu ini dan siap membuat Sobat terhenyak dengan cara Hilman mengupas isu.

Kritik yang membangun dan relevan, lalu disajikan dengan cerdas melalui banyolan khas remaja, membuat Lupus memang berada pada kelasnya sendiri untuk sebuah novel remaja.

Gaya Bahasa yang Mudah

Sejatinya, sebuah pesan akan efektif manakala mudah dipahami. Begitulah yang Hilman sajikan melalui Lupus.
Lupus novel remaja yang asyik
Sebagai sebuah novel remaja, Lupus memang dipersenjatai dengan cara bicara cowok berperawakan tinggi berjambul yang ceplas-ceplos tetapi jujur. Kelucuan yang kerap tersaji selama cerita berlangsung pun mengalir tanpa dibuat-buat. Makanya, tidak heran jika begitu banyak orang yang jatuh hati pada cerita Lupus.

Dari sana, saya pun belajar. Saya menjadi termotivasi menghasilkan novel-novel dengan cara penceritaan dan gaya bertutur sebagaimana yang tertuang dalam Lupus.


Overall, kendati ada banyak penyesuaian yang dilakukan, Lupus: Tangkaplah Daku, Kau Kujitak ini, tetap seru untuk dinikmati. Skor 7/10 saya beri untuk novel remaja ini.
***
Lupus: Tangkaplah Daku, Kau Kujitak! | Hilman Hariwijaya | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan pertama: 1986 | Cetakan ke-17: September 2022 | 160 halaman

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar