Review Lengkap One Piece Live Action

2 komentar

Serial One Piece yang pertama kali rilis pada 4 Agustus 1997, akhirnya diproduksi dan ditayangkan oleh Netflix sebagai sebuah live action.

Review One Piece Live Action
sumber gambar: imdb.com

Sebagai sebuah serial, One Piece telah menemani jutaan pasang mata di seluruh dunia. Bayangkan, selama 26 tahun, Eiichiro Oda seakan telah menyihir begitu banyak manusia di muka bumi untuk tidak berhenti menyimak aksi dari Monkey D. Luffy dan para kru-nya menjelajahi Grand Line untuk mewujudkan mimpi menemukan One Piece, serta menjadi raja bajak laut.

Iyes, Sobat tidak salah baca. Selama 26 tahun, One Piece telah menjadi sebuah fenomena besar di dunia.

26 tahun!
Andai itu cicil rumah, besar kemungkinan sudah lunas, tuh.

Maka, ketika Netflix meluncurkan sebuah proyek ambisius berupa One Piece live action, tidak mengherankan jika begitu banyak mata memberi perhatian.

Apakah mimpi masa kecil para pembaca manga dan penonton anime One Piece akan terpenuhi, melihat tokoh-tokoh kesayangan mereka mewujud menjadi manusia sesungguhnya? Atau malah akan berakhir tragis dan berubah menjadi celaan seperti pada live action manga legendaris lainnya, yakni Dragon Ball.

Sebagai catatan, Dragon Ball Evolution yang tiada lain 
live action dari karya agung Akira Toriyama, hanya memperoleh skor 2,5/10 menurut imdb.com. Hiii … ngeri!!

***

One Piece 
live action sudah rilis dan dapat dinikmati melalui Netflix. Season 1 serial ini tersaji ke dalam 8 episode dengan durasi masing-masing episode sekitar 45—64 menit.

Setelah menyelesaikan seluruh episode One Piece 
live action, sebuah ulasan atas serial satu ini saya sajikan untuk Sobat semua. Check this out, Nakama!

Alur Cerita yang Segar

Review One Piece Live Action
sumber: imdb.com

Sebagai sebuah serial adaptasi, tidak mengherankan manakala One Piece live action tidak memiliki alur yang persis sama dengan origin story-nya. Apalagi, season 1 yang hanya berjumlah 8 episode, seakan-akan harus merangkum jalinan cerita panjang yang bermula dari awal mula perjumpaan Luffy dengan Koby, hingga kisah epik kehancuran Bajak Laut Arlong beserta para krunya.

Maka, alih-alih menyatakan cerita 
live action ini melenceng jauh, saya lebih cenderung menggunakan istilah One Piece live action memiliki alur cerita yang segar.

Eiichiro Oda sensei sebagai kreator asli One Piece yang mensupervisi langsung pembuatan 
live action ini tentu telah memperhitungkan banyak hal. Misalnya, penonton live action yang tidak hanya berasal dari kalangan die-hard fans One Piece yang setia selama lebih dari 20 tahun. Melainkan juga mereka, para newbie, yang mengalami fomofear of missing out—alias ketakutan ketika tidak ikutan dengan tren masa kini.

Para anak muda fomo ini, bisa jadi sama sekali buta dengan awal mula One Piece, kenapa kok di dunia Luffy begitu banyak bajak laut, dari mana Luffy memperoleh kekuatan melar bak karet itu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, wajar saja rasanya ketika adegan perdana One Piece 
live action dimulai dengan penjelasan singkat perihal dunia bajak laut.

Ya, adegan eksekusi mati Gol D. Roger, sang raja bajak laut pada 22 tahun lalu di Logue Town adalah sebuah pembukaan yang apik dan mampu mengikat penonton, baik mereka yang terbilang anak baru di dunia per-One Piece-an, maupun para nakama senior yang sudah hafal segala seluk beluk dunia One Piece.

Review One Piece Live Action
Eksekusi Mati Gol D. Roger

Menurut saya, “alur cerita nan segar” ini cukup berhasil memberikan pengalaman baru saat menonton. Dengan demikian, manakala mereka yang buta akan One Piece menonton 
live action ini, akan tetap mampu memahami live action setiap tokoh dan akan dibawa ke mana cerita ini nantinya. Artinya, cukup seru kok untuk dinikmati.

Akan tetapi, ya, itu tadi. Bagi Sobat yang merupakan die-hard fans One Piece, mohon kesampingkan sejenak pengetahuan akan seluruh alur cerita One Piece, ya. Sebab perbedaan yang terjadi dalam 
live action ini, sungguh-sungguh “berbeda”.

Ciri Khas yang Dipertahankan

Review One Piece Live Action
Monkey D. Luffy

Kendati pada poin sebelumnya saya sampaikan alur cerita live action yang tayang di Netflix ini baru dan segar, tetapi ciri khas yang melekat dari masing-masing tokoh maupun tempat, tetap dipertahankan. Karena, biar bagaimana pun, ke-khas-an itu kan pasti sudah melekat kuat dalam benak para pencinta One Piece.

Misalnya saja, luka di bawah mata kiri Luffy. Sebagai sebuah ciri khas, Netflix berhasil menyajikan alasan Luffy memperoleh luka itu—yang ditampilkan dengan cara yang amat mengerikan menurut saya.

Contoh lain Restoran Baratie yang berwujud ikan besar. Menurut saya, ini keren, sih. Karena seumpama Baratie tidak berwujud ikan, tentu banyak nakama seluruh dunia akan misuh-misuh.

Baca juga: 5 Pelajaran Keren dari Manga Naruto

Intinya, seluruh ciri khas dan keunikan tokoh, benar-benar ditunjukkan dengan tepat. Adapun latar belakang dari mengapa hal unik itu bisa terjadi, akan kembali ke poin ulasan saya yang pertama. “Kesegaran alur cerita”.

Misalnya, Helmeppo, putra Kapten Morgan. Pada mulanya berambut gondrong. Padahal, jika di anime dan manga, Helmeppo rambutnya kan mirip mangkok tumpah. Maka, live action ini pun memberikan background story yang masuk akal, sebagai alasan mengapa laki-laki cengeng dan culas itu bisa memiliki rambut mangkok hingga akhir cerita.

Kemudian jangan lupakan juga ciri khas Zeff si pemilik dan koki utama Restoran Baratie. Sebagai mantan kapten bajak laut, Sobat pencinta One Piece tentu paham benar apa yang menyebabkan Zeff si kaki merah kehilangan sebelah kakinya.

Nah, pada serial 
live action ini, Zeff tetap digambarkan sebagai koki berkaki putus. Namun, penjelasan bagaimana dia bisa kehilangan kaki kanannya itu, amat berbeda dengan versi manga dan anime. Mengerikan bangetlah pokoknya alasan Zeff kehilangan kaki di One Piece live action ini. Hiii!

Cerita yang Vulgar dan Dewasa

Review One Piece Live Action
Wakil Laksamana Garp dan Den Den Mushi

Bisa dibilang, One Piece live action dikemas dengan logika yang pas untuk kondisi masa kini, dan penceritaan yang cukup dewasa.

Den Den Mushi, misalnya. Den Den Mushi merupakan spesies siput yang dapat saling berkirim telepati dan difungsikan sebagai alat komunikasi jarak jauh di dunia One Piece. Dalam bahasa lainnya, Den Den Mushi adalah siput yang berfungsi sebagai telepon.

Berhubung era kini sudah zamannya handphone, maka Den Den Mushi pada One Piece 

live action pun mengalami perkembangan. Jika dulu Den Den Mushi cenderung mirip telepon kabel yang banyak digunakan di rumah dan kantor, pada live action ini, Den Den Mushi ada yang menjelma menjadi handphone dengan bentuk yang lebih kecil. Cukup tempelkan siput mungil di telinga, lalu komunikasi pun berjalan lancar.

Hal ini dilakukan oleh Nami, yang menyembunyikan Den Den Mushi mini miliknya di bawah lambung kapal, dan juga Dracule Mihawk, yang tetap dapat menerima telepon dari Wakil Laksamana Garp ketika dia sedang membantai Don Krieg.

Adapun vulgar dan dewasa yang saya maksud adalah, pada 
live action ini, kreator cerita seakan tidak ragu memperlihatkan banjir darah dan kengerian pada setiap scene-nya. Sebagai contoh adegan ketika Kapten Alvida menggetok kepala salah seorang kru kapal.

Memang, sih, adegan kepala pecah tidak diperlihatkan. Namun, bekas darah yang hadir kemudian, sukses membuat imajinasi travelling ke sana-kemari.

Jangan lupa juga, aksi Zoro ketika menghabisi nyawa Mr. 7. Asli, saya tercengang banget saat melihat adegan itu.

Saya yang semula berpikir One Piece adalah cerita yang masih dapat dikonsumsi anak-anak, sampai berpikir ulang. Setidaknya, 
live action ini, memang bukan konsumsi bocil-bocil ingusan yang masih duduk di bangku SMP atau di bawahnya.

Banyak adegan lain yang menunjukkan “kedewasaan” dalam serial ini. Perpisahan Usopp dengan Kaya di galangan kapal, jelas menunjukkan hal itu. Sesuatu yang tidak pernah hadir selama manga dan anime One Piece mengudara.

Intinya, andai Sobat mau menonton 
live action ini bareng anak di bawah usia 17 tahun, sebaiknya temani dan pandu baik-baik, ya.

Review One Piece Live Action
Dracule Mihawk

Skor Tinggi Menurut Rotten Tomatoes dan IMDB

Sebagai penilai kualitas film atau serial, Rotten Tomatoes dan IMDB, sering menjadi acuan. Manakala skala skor mereka menunjukkan angka yang cukup tinggi, antusiasme dan rasa penasaran pasar akan film itu pun meningkat. Maka, wajar saja jika keduanya sering dilampirkan dalam sebuah ulasan film.

Rupanya, keduanya mengganjar One Piece live action ini sebagai sebuah tayangan yang cukup oke dan menghibur. Hal ini terbukti dari skor yang diperoleh serial ini.

Pada Rotten Tomatoes, One Piece 
live action menerima poin 82%. Adapun IMDB mengganjar serial ini dengan skor 8.6/10.

Review One Piece Live Action
skor Rotten Tomatoes

Review One Piece Live Action
skor imdb.com

Wuah, tinggi sekali! Jadi makin penasaran untuk menonton, ‘kan?

Catatan ala Jirfani

Terlepas dari penceritaan yang segar, kekhasan tiap karakter yang dipertahankan, serta rating tinggi ala Rottentomatoes dan IMDB, sebagai penonton, saya memiliki sedikit catatan atas serial ini.

Pertarungan yang Kurang Menggigit

Review One Piece Live Action
Pertarungan Luffy di Pangkalan Marinir

Meski polesan CGI sudah cukup pol, tetapi pertarungan-pertarungan yang dilakukan oleh Sanji, Usopp, Nami, dan terutama Luffy, terasa masih kurang hot. Simak saja bagaimana Kapten Kuro dikalahkan oleh Luffy.

Saya yang memahami bagaimana sulitnya Luffy menundukkan Kapten Kuro a.k.a Klahadore pada versi anime dan manga, seketika merasa “Lah, kok gitu?” ketika Kapten Kuro tumbang.

Belum lagi ketika kisah penjemputan Nami dan pertarungan Luffy dengan Arlong di Arlong Park. Saya merasa, kok bisa cuma begitu saja?

Arlong yang dikenal sebagai bajak laut dengan nilai buruan tertinggi di East Blue, cepat sekali tersungkurnya di hadapan Gomu Gomu Gatling dan Gomu Gomu Axe milik Luffy. Rasanya, jadi seperti antiklimaks aja, gitu.

Adapun pertarungan yang dilakukan Zoro, itu mah udah kece. Mackenyu emang ganteng dan asik!

Review One Piece Live Action
Usopp

Tone Color Gelap dan Dominasi Suasana Malam Hari

Menurut pendapat saya, adegan pertarungan penting terjadi pada One Piece live action banyak sekali di malam hari. Hal ini membuat jurus-jurus yang ditampilkan jadi seperti “tidak keluar” karena tertutup malam dan tone color-nya yang memang dibuat gelap.

Bagaimana Luffy menghajar Kapten Alvida hingga ke langit, pertarungan melawan Buggy yang di bawah tenda sehingga terasa temaram dan suram, pukul-pukulan dengan Kapten Kuro di dalam mansion Kaya, ataupun jitak-jitakan Luffy dengan Arlong di Arlong Park. Kebanyakan terjadi pada malam atau dalam suasana temaram.

Akibatnya, terasa kurang greget. Sudah pertarungannya kurang maksimal, ditambah lagi setting suasananya yang terasa suram dan gelap. Bagi saya, feel-nya jadi makin drop.

Review One Piece Live Action
Buggy the Clown

Eksplorasi Tokoh yang Kurang

Saya paham, sih, One Piece live action ini adalah upaya memadatkan lebih dari 45 episode animasi One Piece ke dalam 8 episode live action. Jadi, tidak heran ketika beberapa tokoh tidak kebagian panggung yang cukup.

Namun, saya lumayan sedih ketika Cabaji sebagai anak buah utama Kapten Buggy, hanya kalah dalam sekali gebuk oleh Zoro. Padahal, Cabaji bisa dibilang lumayan tangguh dan sempat membuat repot Zoro.

Belum lagi Mohji si pawang binatang, yang perannya menyedihkan sekali. Wakil Kapten Bajak Laut Buggy ini bahkan tidak terlihat bermain dengan Richie, singa absurd peliharaannya.

Hal lain yang agak mengganggu adalah wajahnya Kapten Kuro. He-he-he.

Kalau ini, sih, subjektif, ya. Menurut saya, Kapten Kuro mestinya bisa ditampilkan dengan perawakan yang cukup ganteng. Yah, minimal seganteng Primus Yustisio saat muda. He-he-he.

Sayangnya, Kapten Kuro, malah hadir seperti Kapten Bajak laut yang mengalami gagal ganteng lantaran terlalu banyak suntik serum kecantikan di wajah.

Review One Piece Live Action
Sanji

Momen Memorable yang Tetap Dipertahankan

Terlepas dari penilaian akan hal-hal minor yang masih dapat diperbaiki, saya memberi apresiasi setinggi-tingginya karena One Piece live action tidak luput mempertahankan hal-hal ikonik dan memorable. Hal-hal yang sangat-sangat tidak boleh dihapus karena akan membuat cerita One Piece jadi sangat tidak kece.

Nasi Kepal untuk Zoro

Review One Piece Live Action
Roronoa Zoro

Menurut saya, momen nasi kepal pemberian Rika untuk Zoro, merupakan hal penting yang harus ada, bagaimana pun kondisinya. Hebatnya, meski dikemas dengan penceritaan yang baru, momen ketika Zoro makan nasi kepal pemberian gadis kecil itu, tetap ada dan diperlihatkan dengan seru. Mantap!

Shanks Mengepel

Review One Piece Live Action
Luffy dan Shanks si Rambut Merah

Sebenarnya, seluruh kisah Shanks bersama Luffy memang tidak layak dihapus sama sekali. Kisah raibnya lengan kiri Shanks gara-gara monster laut, tentu saja menjadi hal yang pasti ada. Itu saya yakini sejak awal. Akan tetapi, Shanks mengepel pecahan gelas bajak laut belagu, berpeluang untuk dihapus dan diganti hal lain.

Lantas, ketika Shanks si rambut merah mengepel dan tersenyum ketika dijahatin bajak laut cemen tetap dipertahankan di One Piece 
live action ini, bagi saya itu precious moment.

Tamparan untuk Usopp

Entah apa momen epik yang terpenting dalam Arc Syrup Village selain tamparan Kaya kepada Usopp. Kaya yang terhanyut dalam bujuk rayu Klahadore, menolak omongan jujur Usopp. Maka, tamparan Kaya kepada Usopp, menurut saya adalah hal penting dan wajib ada.

Topi Jerami untuk Nami

Review One Piece Live Action
Nami

Dari sekian banyak hal penting dalam One Piece, ada satu hal yang amat saya khawatirkan keberadaannya ketika live action ini akan dibuat. Sejujurnya, saya kuatir sekali manakala momen paling epik dalam Arc Arlong Park itu dihapus karena alasan teknis.

Syukurlah, kekhawatiran saya sama sekali tidak terbukti. Bahkan, sekuens mulai dari Nami menangis, menusuk lengannya sendiri, minta tolong kepada Luffy, lantas dipasangkan topi oleh Luffy, berjalan dengan amat baik.

Selanjutnya, jeritan Luffy saat menerima permintaan tolong Nami, hingga Luffy memanggil Sanji, Zoro, dan Usopp untuk beraksi di Arlong Park, terjadi dengan urutan yang tepat. Intinya, momen epik ini dipertahankan dengan sangat pas.

***

Review One Piece Live Action
One Piece Bercerita Tentang Impian dan Cita-Cita 

Overall, One Piece live action yang ditayangkan di Netflix merupakan tayangan segar yang cukup menghibur. Sobat yang lama mengikuti manga/anime-nya, maupun yang memang kepengin saja menonton serial ini, akan tetap dapat menikmati.

Penjelasan dari setiap tokoh, background story kelima tokoh utama, bahkan dialog-dialog antara Garp dan Koby—yang sepertinya dihadirkan sebagai penghubung keseluruhan cerita—sangat memudahkan para nakama newbie dalam menyaksikan serial ini.

Mengulang saran yang telah saya sampaikan sebelumnya. Jangan lupakan dua hal ini saat menonton One Piece live action:
  1. Jangan menganggap live action ini harus sama persis alurnya sebagaimana dalam manga dan anime;
  2. Jangan lupa temani anak, adik, keponakan, atau siapa pun manakala mereka masih berusia di bawah 17 tahun dan ikutan menonton.

Kalau Sobat punya komentar apa untuk One Piece 
live action ini? Sampaikan di kolom komentar, ya!
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

2 komentar

  1. Deslak - Squad 6 30dwc Jilid 433 September 2023 pukul 00.00

    It's amazing, yang tadinya cuma nonton anime, sekarang sudah ada live actionnya. Lebih hidup dan nyata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Jadi lebih terbayang wujudnya di kehidupan nyata.

      Hapus

Posting Komentar