Perayaan Kemenangan

Posting Komentar
Perayaan Kemenangan

Setelah lebih dari sebulan berjibaku dengan mulut busuk Wardoyo, akhirnya malam ini tiba waktuku mereguk kemenangan. Sesuai janji yang disampaikan Mbah Atmodjo, malam ini aku akan mendapati kabar gembira darinya.

Senyum tak lepas dari bibirku tatkala menikmati perayaan seorang diri di malam penuh kemenangan ini. Meminum anggur sembari hanyut dalam kenikmatan di atas kursi hitam empuk berlapis kulit lembu asli yang kerap menjadi incaran orang. Mau bagaimana lagi, kursi Dirjen memang terlalu empuk untuk ditinggalkan, bukan?

Maka, ketika tiba-tiba Wardoyo, si anak kemarin sore yang baru saja diangkat pegawai, mencak-mencak sembari mengancam akan menyeretku ke hadapan Menteri dan KPK atas berbagai kebiasaan yang lumrah kulakukan bertahun-tahun lamanya, sudah barang tentu tak dapat kubiarkan.

Sesuai saran Resti, sekretaris sekaligus simpananku yang goyangannya kelewat aduhai itu, Mbah Atmodjo pun kuhubungi.

“Ha-ha-ha-ha … Mampus koe, Bajingan!”

Mulutku belum menutup sempurna usai tawa membahana ketika satu hantaman keras bukan alang kepalang menggedor hulu hatiku. Hantaman berikutnya kurasa selang dua detik kemudian. Tidak lebih ringan, cenderung lebih menyakitkan bahkan.

“Ap—apa in—ni?” Mulutku terasa kaku. Sekujur dadaku terasa koyak.

Kusibak kemeja Calvin Klein putih yang melekat di badan. Lelehan darah, rembes perlahan dari pori-pori perut. Aku tak dapat bergerak. Kuarahkan mata nanarku menelusuri daftar kontak pada ponsel lipat seri terbaru di atas meja.


Napasku kian berat. Kemeja putih telah berubah merah nyaris seutuhnya.

“Halo, sopo iki?” Suara berat pria 80 tahunan itu terdengar dari ujung telepon.

“Ardi Wah—wahyu Nug—nugroh—ho, M—mbah ….”

“Oalah, Den Ardi. Piye, Den?” Suara parau itu memenuhi ruang dengarku.

“Perr—perut say—ya sak—kit, Mbah ….”

“Loh, sudah sampai toh? Ha-ha-ha ….”

Aku mematung. Dua buah duri mahatajam terasa menusuk dan menggores rongga perutku. Seiring sakit yang kurasa, darah segar memancar keluar dari lubang pusar.

“Makanya, Den, lain kali kalau mau kirim santet, enggak usah minta diskon. Duit sampean iku loh, Den. Akeh temen! Duit haram kok mau dimakan sendiri. Yo wis, ular-ular yang Den Ardi kirim buat si Wardoyo iku, Mbah kirim balik ke perut Den Ardi wae. Ha-ha-ha ….”

Tanganku bergetar menahan gejolak tak tertahan hingga tak mampu mendengar jelas ocehan Mbah Atmodjo. Aku menggelepar menahan sakit di atas kursi empuk belasan juta ini, hingga tanpa permisi empat ekor ular seukuran lengan orang dewasa dengan taring berkilat merobek dan memaksa keluar dari perut. Aku masih ingat bunyi desisnya, sebelum salah seekor dari mereka melahap hidungku dan pandanganku gelap seketika.
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar