Review Film Sang Penari, Film Pemenang Piala Citra

Posting Komentar

Tidak keliru memang jika Sang Penari yang rilis perdana pada 10 November 2011 diganjar Piala Citra pada ajang Festival Film Indonesia 2011. Tidak main-main, selain dinobatkan sebagai film terbaik 2011, Sang Penari turut mengantarkan tiga Piala Citra lain kepada para pendukungnya. Sebut saja penghargaan Pemeran Utama Wanita Terbaik yang diraih Prisia Nasution, Pemeran Pendukung Wanita Terbaik untuk Dewi Irawan, serta Sutradara Terbaik, yakni Ifa Isfansyah.

Review Film Sang Penari
Apa, sih, istimewanya Sang Penari? Penasaran, ‘kan?
Yuk, simak review film Sang Penari berikut!

Garis Besar Plot

Membuka review film Sang Penari, saya akan sedikit mengulas seputar plot yang dimainkan.

Sebagai film yang terinspirasi dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, film ini dengan amat baik memotret budaya warga Banyumas pada kurun waktu 1950—1970-an. Secara garis besar, Sang Penari sendiri banyak mengambil latar waktu pada periode 1963—1965-an.
Review Film Sang Penari
Prisia Nasution sebagai Srintil
Sang Penari, bercerita mengenai kehidupan warga Dukuh Paruk, sebuah desa kecil di Banyumas, Jawa Tengah yang miskin dan gersang. Kehidupan warga yang mayoritas berprofesi sebagai buruh tani benar-benar jauh dari kata makmur. Satu-satunya hal yang dapat menjadikan Dukuh Paruk kembali berjaya, manakala dukuh menyedihkan ini kembali melahirkan seorang ronggeng.

Kehadiran ronggeng bagi Dukuh Paruk sendiri, dianggap sebagai sebuah anugerah. Ronggeng, dipercaya sebagai profesi penting yang diberkahi oleh arwah leluhur pendiri dukuh, Eyang Secamenggala. Oleh karena itu, manakala Dukuh Paruk mampu melahirkan kembali seorang ronggeng, tentu hal itu akan dapat kembali menceriakan seluruh warga.

Tersebutlah Surti, ronggeng Dukuh Paruk yang menjadi penggerak perekonomian utama dukuh ini. Pada kurun 1950-an, semua warga dukuh begitu menyanjungnya. Habis mau bagaimana lagi, sebagai ronggeng, Surti benar-benar bertindak sebagai tulang punggung dukuh.

Surti yang diperankan oleh Happy Salma ini pun tidak bisa tidak menjadi idola setiap warga. Tua, muda, pria, maupun wanita, semua menyanjungnya. Bahkan, Srintil, seorang gadis kecil yang gemar menari, bercita-cita menjadi penerus jejak langkah Surti di kemudian hari.

Malang tak dapat ditolak, pada suatu hari di tahun 1953, Surti yang menerima hadiah berupa tempe bongkrek dari istri Santayib—pembuat dan penjual tempe bongkrek—tewas mengenaskan. Warga yang marah pun menggeruduk rumah Santayib. Mereka menyalahkan Santayip dan menuduh tempe bongkrek buatannya adalah tempe beracun.

Baca juga: Review Film Sebelum Iblis Menjemput

Santayib yang naik pitam, serta-merta memakan tempe hasil karyanya demi membuktikan tempenya aman terkendali. Namun, nahas. Santayib pun menggelepar tak lama kemudian. Sang istri yang melihat suaminya tewas, turut memakan tempe bongkrek pembawa petaka. Jadilah pasangan suami istri itu tewas di hadapan warga. Sejak saat itu, Srintil, yang ternyata adalah anak dari Santayip pun dikenal sebagai anak pembunuh ronggeng.

Berselang sepuluh tahun, Srintil semakin hari, semakin tidak mampu menahan gejolak hati. Dia teramat ingin menari dan menjadi seorang ronggeng. Tujuannya sederhana saja. Selain menyalurkan passion, baginya menjadi ronggeng adalah satu-satunya cara yang dapat dia lakukan untuk membersihkan nama baik keluarga yang telah kadung tercoreng akibat tragedi tempe bongkrek kematian.

Maka, perjuangan dan upaya Srintil menjadi ronggeng pun dimulai. Lika-liku kehidupan ronggeng yang nyatanya tidak sekadar njoget pun ditampilkan dengan demikian jelas. Ifa Isfansyah selaku sutradara, dengan amat cemerlang mengolah cerita, mengatur sudut pengambilan gambar, dan mengarahkan para pemain sehingga menghadirkan sebuah cerita luar biasa.

Film dengan Paparan Budaya yang Sangat Kental

Review Film Sang Penari
Persiapan Penobatan Ronggeng
Sebagai sebuah film yang berangkat dengan latar Banyumas, sudah tentu berbagai dialog khas Banyumasan yang sarat dengan bahasa ngapak, dihadirkan. Prisia Nasution sebagai Srintil, maupun Oka Antara yang berperan sebagai Rasus, dengan amat piawai memainkan peran mereka.

Saya amat terkesan dengan kemahiran Prisia yang notabene bermarga Nasution alias berdarah Sumatera Utara dan Oka Antara yang berdarah Bali ini dalam berlogat ngapak medok khas Banyumas. Belum lagi Landung Simatupang sebagai Sakarya—kakek Srintil—yang juga berdarah Sumatera Utara.

Kepriwe, Kang?” atau “Aja kayak kuwe …” terdengar begitu nyaman di telinga. Tidak seperti logat-logat ngapak yang sering diucapkan oleh public figure yang cosplay menjadi orang Banyumas, Purwokerto, dan sekitarnya.

Kembali kepada pembahasan budaya dalam review film Sang Penari.
Andai tidak menonton film ini, saya sendiri tentu tidak akan paham apa itu ronggeng, tugas dan kewajiban yang diemban, bahkan peran sertanya dalam kemakmuran sebuah daerah.

Iya, saya mengakui belum membaca novel Pak Tohari. Namun, kendati tidak membaca novel-novel beliau, Sang Penari dengan begitu dahsyat membuka mata saya akan ronggeng dan kesenian yang berada di belakangnya.

Warga Dukuh Paruk dengan kepercayaan yang mengakar bahwa kehidupan yang mereka jalani di dunia tidak terlepas dari berkah Eyang Secamenggala, amat percaya bahwa ronggeng merupakan titah atau penunjukkan langsung sang Eyang. Oleh karena itu, tidak mengherankan untuk menjadi ronggeng, seorang gadis tidak hanya harus piawai dalam menari, melainkan juga mendapatkan “pertanda”.

Adapun penunjukkan dan pengukuhan seseorang sebagai seorang ronggeng sendiri, dilakukan oleh seorang dukun ronggeng alias orang yang dipercaya mampu menerjemahkan keinginan dan titah Eyang Secamenggala. Maka ketika Kartareja (diperankan Slamet Rahadjo), sang dukun ronggeng menyatakan Srintil sebagai ronggeng baru bagi Dukuh Paruk, semua orang pun bersukacita.

Banyak hal yang diperlihatkan dalam film ini, yang bisa jadi membuat Sobat bergidik ngeri. Betapa dengan balutan budaya turun temurun, hubungan seksual yang dilakukan segala macam laki-laki kepada Srintil selaku ronggeng, dianggap sebagai hal yang lumrah. Syarat menyetubuhi ronggeng pun sederhana saja. Selama Sobat punya uang atau jabatan, maka ronggeng pun siap diajak naik ranjang.
Review Film Sang Penari
Adat Bukak Klambu
Berbagai praktik budaya yang ditampilkan dalam film ini bisa jadi terkesan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin, para istri justru berlomba-lomba menginginkan suami mereka mendapatkan keperawanan Srintil? Alih-alih cemburu, para ibu ini justru terlibat perang mulut lantaran saling berharap suami mereka akan segera meniduri Srintil dan mengambil perawannya dalam budaya “Bukak Klambu” yang menjadi salah satu syarat sah seseorang menjadi ronggeng.

Bukan itu saja, Sobat juga mungkin akan geleng-geleng tak percaya ketika melihat seorang istri berterima kasih setelah suaminya bersetubuh dengan sang ronggeng. Alih-alih marah, perempuan itu malah menghadiahi sebuah sandal dan mengharapkan agar dirinya segera hamil karena sang suami telah berhubungan badan dengan Srintil.

Dari paparan ini, saya yakin Sobat kini paham mengapa seorang ronggeng mampu mengangkat harkat dan martabat desanya, ‘kan? Yuk, mari kita lanjut ke paparan review film Sang Penari selanjutnya!

Latar Sosial Politik yang Tajam

Tidak hanya seputar urusan njoget, nembang, dan kehidupan seksual ronggeng yang diangkat film ini. Pergolakan politik dengan propaganda pro-rakyat yang digembar-gemborkan PKI—Partai Komunis Indonesia—juga amat kental mewarnai Sang Penari.

Jangan lupa dengan latar waktu film ini mengambil kurun 1963—1965, ya. Jangan lupa juga, tragedi G30S/PKI yang pecah pada 30 September 1965.

Dari apa yang ditayangkan, saya merasakan kesakitan serta kesedihan yang mendalam atas apa yang dialami warga miskin dan “bodoh”. Betapa, kaum terpelajar—atau minimal mengerti pergaulan serta perkembangan dunia terkini—dengan mudah menunggangi rakyat kelas bawah demi kepentingan pribadi dan golongan.

Saya masih belum lupa dengan perasaan tersayat yang hadir ketika melihat para warga Dukuh Paruk yang dianggap sebagai kaki tangan PKI dan menjadi tahanan politik lantaran nama mereka dicantumkan dalam daftar oleh seorang aktivis partai.
Review Film Sang Penari
Antre Pendataan
Iki apa, Kang? Aku ora bisa maca,” tanya Srintil ketika seluruh warga Dukuh Paruk antre di depan seorang petugas partai dengan membawa selembar kertas.

Dengan cepat, Bakar sang aktivis yang diperankan Lukman Sardi pun menjawab, “Ini biar dapat makan pas pentas.”

Percaya dengan omongan Bakar, Kartareja, sang dukun ronggeng sekaligus sesepuh yang omongannya didengarkan seluruh warga, berseru girang.
“Ehehehe … Kang Bakar bilang, iki buat madang!”

Warga dukuh yang mengantre—dan tidak seorang pun yang dapat membaca—bersorak girang dan melanjutkan antrean.

Siapa sangka, “kupon antrean makan” yang tidak lebih dari bumbu penyedap alias janji palsu itulah yang melekatkan nyaris 100% warga Dukuh Paruk sebagai antek PKI. Maka, ketika operasi penumpasan PKI dan para pendukungnya berlangsung setelah pecah tragedi G30S/PKI, warga Dukuh Paruk terimbas.

Pedih. Saya merasakan pedih tak terperikan manakala praktik kotor dunia politik dipertontokan. Bukan hanya apa yang tergambar nyata di depan mata pada masa sekarang. Melalui film ini, saya pun kembali menyaksikan mulut manis yang selalu menjadi senjata pamungkas para poli-tikus.

Film Jujur yang Menggambarkan Fakta Sosial

Review Film Sang Penari
Oka Antara sebagai Rasus
Bagi saya, Sang Penari bukan hanya sebuah film yang berangkat dari potret sosial yang digambarkan Ahmad Tohari melalui novel. Lebih dalam lagi, Sang Penari, dengan gamblang memperlihatkan kondisi sosial politik yang relevan dengan keadaan masa kini.

Bagi saya, Sang Penari benar-benar memberi pengetahuan baru dan membuka mata. Alih-alih bicara kebudayaan, ronggeng yang diceritakan dalam film ini, membawa saya pada banyak penalaran. Betapa pendidikan dan pemahaman akan konsep ketuhanan benar-benar menjadi dasar yang perlu ditekankan dalam diri seorang manusia.

Terlepas dari begitu bagusnya film ini untuk ditonton, dinikmati, serta direnungkan, saya tidak menyarankan manakala Sobat berencana menonton film ini bersama anak, adik, atau keponakan yang berusia di bawah 21 tahun.

Dengan begitu banyaknya adegan ranjang—meskipun implisit—ditambah juga adegan percumbuan panas Rasus dan Srintil yang ditampilkan, rasanya sudah cukup menjelaskan mengapa larangan ini saya sampaikan.

Belum lagi faktor isu politik dan kenegaraan yang mungkin masih sukar dipahami anak-anak muda, bisa jadi akan membuat acara nonton Sobat mengalami gangguan. Yah, tentunya tidak seru, dong, ketika sedang asyik nonton, bocil-bocil itu malah bertanya ini-itu seputar dunia politik dan sosial yang terjadi pada kurun 1960-an.

Dari saya, skor 8,8/10 untuk film ini!

Demikian review film Sang Penari yang dapat saya sampaikan. Selanjutnya, menurut Sobat saya membahas film apa lagi, nih? Tulis di kolom komentar, ya!
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar