Review Film Para Betina Pengikut Iblis

2 komentar

SPOILER ALERT: review film Para Betina Pengikut Iblis yang saya tuliskan akan membocorkan alur cerita film. Jika tidak menginginkan spoiler, Sobat bisa mengurungkan niat membaca review film ini.

Review Film Para Betina Pengikut Iblis
Poster Para Betina Pengikut Iblis

Dalam sebuah kisah fiksi, sebenarnya sah-sah saja menampilkan hal-hal di luar nalar dan kebiasaan. Akan tetapi, “setidak masuk akal” apa pun, sebuah cerita fiksi harus tetap mengikuti aturan yang berlaku di dalam dunia fiksi itu.

Sebagai contoh, jika tidak diberi informasi akan gravitasi yang berlaku di sebuah tempat, maka sewajarnya gaya tarik yang berlaku pada dunia itu sama seperti gravitasi pada umumnya. Mengikuti hukum Newton akan gravitasi.

Dengan demikian, wajar sekali jika semua benda yang dilempar ke atas, akan diperlihatkan selalu jatuh kembali ke bumi lantaran gaya tarik yang ada.

Oleh karena itu, akan teramat cacat logika jika dalam sebuah cerita fiksi yang menunjukkan semua orang selalu kembali ke bumi manakala terjatuh, tiba-tiba menampilkan seseorang yang tanpa kekuatan spesial apa pun, jatuhnya ke atas pohon.

Baca juga: Mat Kilau: Film Laga Malaysia yang Bikin Iri

Hal inilah yang saya alami dan temukan manakala menonton film horor Indonesia besutan Rako Prijanto yang rilis 16 Februari 2023 silam. Secara judul, saya yang mulanya berharap akan ketakutan setengah mati usai menontonnya, malah mengalami tekanan mental luar biasa.

Bukan karena film Para Betina Pengikut Iblis sebegitu mengerikan ataupun gore sebagaimana yang digadang-gadang. Saya merasakan tekanan mental justru karena logika yang digunakan selama film berlangsung.

Jadi, alih-alih merasa ketakutan, terancam, hingga bergidik ngeri, perasaan yang timbul manakala menonton film ini hanya satu: ingin segera mengakhiri film demi menyelamatkan akal sehat saya.

Selamat Tinggal Akal Sehat

Film Para Betina Pengikut Iblis dibuka dengan adegan Sumi (diperankan oleh Mawar de Jongh) yang berlari panik menjemput satu-satunya dokter di kampung. Dokter yang saya masih ragu akan kewarganegaraannya itu—antara Belanda, Portugis, atau Spanyol. Entahlah—pun bergegas menemani Sumi.

Dokter Freedman—nama sang dokter—sepertinya sudah paham benar dengan tujuan Sumi menjemputnya. Sebagai dokter satu-satunya, Dokter Freedman telah memberikan terapi atas sakit parah yang dialami Pak Karto, ayahanda Sumi.

Review Film Para Betina Pengikut Iblis
Sumi, diperankan oleh Mawar de Jongh

Tiba di rumah Sumi, Dokter Freedman mendapatkan kondisi kaki Pak Karto yang sedemikian parah. Nyaris busuk dengan bau yang luar biasa. Pak Karto pun menjerit minta diberi morfin demi mengurangi sakit tak berkesudahan yang dialaminya.

Mendengar permintaan Pak Karto, Dokter Freedman menolak. Kaki Pak Karto sudah sedemikian parah. Sang dokter pun memutuskan melakukan tindakan darurat demi menyelamatkan nyawa bapak tua itu dan mencegah infeksi meluas.

Sampai di sini, saya masih merasa semua baik-baik saja. Saya bisa mengikuti setiap alur cerita yang ditampilkan. Semua adegan yang saya ceritakan ini terjadi pada menit-menit awal film ini bergulir.

Baca juga: Horor Nanggung: Sebuah Ulasan dari Film Losmen Melati

Oya, sebagai catatan, setting waktu film ini tidak cukup jelas diperlihatkan. Akan tetapi, besar dugaan saya latar waktu yang berlaku pada film ini berada pada kisaran tahun 60-an hingga 70-an akhir. Adapaun lokasi cerita berada di sebuah perkampungan yang bisa jadi listrik masih merupakan barang mewah.

Semua rumah masih menggunakan lampu tempel dan petromaks. Para warga kerap menggunakan obor untuk bepergian di malam hari.

Adapun listrik, agaknya hanya ada di rumah mewah milik Dokter Freedman. Saya menduga, sepeda motor Honda 100cc yang kerap dikendarai sang dokter pun adalah kendaraan mewah satu-satunya yang ada di kampung itu.

Mari kita kembali ke review film Para Betina Pengikut Iblis.

Dokter Freedman pun bersiap. Dengan mengenakan apron kulit demi melindungi pakaian dari cipratan darah, dokter itu mulai melakukan tindakan yang diperlukan.

Sang dokter melakukan aputasi kaki Pak Karto menggunakan gergaji. Yes, literally gergaji. Darah bercucuran membasahi sepatu dan lantai rumah. Adapun Pak Karto, masih belum siuman usai suntikan yang Dokter Freedman berikan.

Saat itu, saya mulai merasa, “Nah, mulai, nih serunya. Mulai, nih, potong-potongannya …”

Tepat di menit ketiga, saya melihat kaki hasil amputasi yang dilakukan Dokter Freedman tergeletak di atas meja dapur. Saya pun makin girang. Nah, ini dia, nih. Gore-nya dimulai.

Eh, tapi apaan, tuh? Kok ada yang nyala terang di ujung dapur?

Rupanya, Sumi sedang membuka freezer daging. Sumi pun menggendong kaki bapaknya, untuk kemudian menempatkan potongan kaki berdarah itu ke dalam freezer dua pintu itu.

Yes, Sobat tidak salah baca.

Freezer. Dua pintu. Freezer besar speerti yang Sobat dapat temukan jika pergi ke toko frozen food, supermarket, dan lain sebagainya.

Freezer, ya. Bukan kulkas jadul. Terasa begitu modern dengan sentuhan ala 2010-an ke atas. Gara-gara freezer itulah, seketika mood saya menguap.

Review Film Para Betina Pengikut Iblis
contoh gambar freezer dua pintu

Sobat dapat bayangkan, di kampung yang bahkan penerang jalan saja tidak ada, tiang listrik tidak terlihat, lampu petromaks di sana-sini, tiba-tiba ada freezer dua pintu ukuran jumbo yang dugaan saya berada pada kisaran harga 4—15 jutaan dengan daya sekitar 250—400an watt.

Gokil sekali!

Lebih seru lagi freezer ini terus diekspos dalam cerita—mengingat Pak Karto sebelum sakit adalah seorang pemilik rumah makan dengan menu utama gulai daging. Freezer ini akan menjadi tempat penyimpanan daging yang diperoleh Sumi dengan berbagai cara.

Baca juga: Unikmu Asyik!: Sudut Pandang Lain Sebuah Dongeng

Plot Dangkal dan Dibuat-Buat

Usai menemukan freezer dua pintu di dapur reyot keluarga Sumi, minat saya menonton film ini raib. Belum lagi dengan keberadaan highlight rambut berwarna merah yang tampil di rambut salah seorang tokoh lain, Sari (diperankan oleh Hanggini).

Bayangkan, untuk ukuran kampung, Sari rambutnya nge-bob dengan highlight merah kekinian ala muda-mudi zaman sekarang.

Review Film Para Betina Pengikut Iblis
Sari, diperankan oleh Hanggini 

Secara plot, sebenarnya premis film Para Betina Pengikut Iblis tidak terlalu rumit. Ide film ini pun sederhana sekali. Sangat dasar. Tentang tipu daya Iblis dalam mencari pengikut. That’s it.

Akan tetapi, cara penceritaan yang monoton dengan setting waktu dan lokasi yang tidak jelas, membuat saya agak ngos-ngosan saat menontonnya. Penokohan yang aneh dari banyak karakter, membuat saya terus menduga. Kira-kira kejadian ini berlatar lokasi di mana, sih?

Di satu kesempatan, saya berpikir daerah yang disasar sebagai tempat kejadian cerita ada di seputar Sumatera. Di lain waktu, saya menduga Pulau Jawa. Lalu, sempat juga terpikir kejadian ini berlatar Sulawesi atau Kalimantan. Namun, entah mengapa tidak ada yang benar-benar tegas menjelaskan.

Satu hal yang pasti. Mantra yang dibaca Sari ketika hendak membalaskan dendam atas kematian Ningrum, adiknya, adalah bahasa Jawa—lengkap dengan aksaran Jawa kuno.

Baca juga: Mengintip Live Action One Piece Episode 1 di Netflix

Belum lagi kostum Iblis yang dikenakan Adipati Dolken. Dengan kuku jari panjang, Iblis ala Adipati Dolken hadir dengan tawa yang lebih mirip batuk dengan kaus hitam dan hoodie. Sungguh mencirikan Iblis yang berasal dari era masa depan, mengingat dugaan saya film ber-setting tahun 60 atau 70-an.

Kesimpulannya, jika harus mengatakan satu kata untuk menggambarkan film Para Betina Pengikut Iblis, saya cuma bisa bilang, “Embuh!”

Gore, Slasher, dan Kanibalisme

Jika Sobat ingin merasakan sensasi nonton film gore yang penuh dengan adegan potong-memotong anggota tubuh, maka film Para Betina Pengikut Iblis, masih cukup layak untuk dinikmati.

Adegan usus terburai, leher patah, hingga payudara dipotong, terpampang nyata di sepanjang film.

Review Film Para Betina Pengikut Iblis
Iblis, diperankan oleh Adipati Dolken

Jangan lupakan juga dengan kanibalisme seperti makan daging manusia sebagai hidangan utama rumah makan, menjadi sesuatu yang turut ditonjolkan dalam film ini. Akan tetapi, ya, hanya itu. Jangan berharap lain.

Jika Sobat berharap ditakut-takuti layaknya film horor yang sarat akan hantu, film ini tidak dapat mengabulkannya. Demikian pula jika Sobat berharap sebuah tontonan yang penuh jalinan cerita menarik dan seru. Film ini tidak akan memberikannya.

Sebab, ya, seperti yang telah saya sampaikan di atas. Alih-alih memberikan kengerian, film Para Betina Pengikut Iblis lebih pas untuk saya katakan memberikan tekanan mental atas ceritanya yang seakan-akan sengaja merendahkan akal sehat dan nalar.

***

Demikian review film Para Betina Pengikut Iblis yang dapat saya tuliskan. Masih terbayang deg-degan yang saya alami usai menonton film ini. Deg-degan karena merasa dibodohi begitu rupa.

Kalau menurut Sobat, bagaimana?
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

2 komentar

  1. Se-gore gore- nya film, logika harus tetap dipakai ya, Bang🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tentu saja, Bu.
      Kalau logika dikesampingkan, lantas apa yang bisa menjadi radar dari sebuah karya?

      Hapus

Posting Komentar