Tanda Mata dari Masa Lalu

Posting Komentar
Tanda Mata dari Masa Lalu
Apa yang lebih menyakitkan ketimbang dipermalukan di depan umum?
Ditikam dengan belati tajam bergerigi tentu menyakitkan. Akan tetapi, ditertawakan oleh semua orang dan menghadapi tatapan melecehkan mereka, jauh lebih perih. Malam ini, aku akan mengajarinya rasa pilu itu.

“Tom, Tomi. Bangun, Tom,” kataku sembari menggoyang perlahan tubuhnya.

Sembari tertawa, sebuah tamparan keras kudaratkan di pipinya yang cerah cemerlang. Tak butuh waktu lama, pipi putih itu berubah warna layaknya jambu. Tanpa senyum terlepas dari bibir, kulayangkan juga sebuah tinju tepat di dadanya. Ayo, Tom, bangun! Tanganku sudah lelah memukulimu.

Bola mata Tomi membesar. Air mukanya menegang. Tomi mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

“Siapa kau? Di mana aku?” tanyanya ketakutan.

“Jahat kamu, Tomi. Masak lupa sama aku,” ujarku tenang.

Tubuh Tomi menggeliat. Banjir keringat, Dia berusaha melepaskan simpul yang mengikatnya. Sayang sekali, sewaktu sekolah dulu, kegiatan membuat simpul adalah salah satu kegiatan pramuka yang paling kusuka.

Lampu sorot kuarahkan kepadanya. Sembari mengatur arah kamera, mengalir tenang ucapanku untuknya.

“Tom, masih ingat kejadian 30 tahun lalu? Di sekolah, setelah pelajaran olahraga. Tiba-tiba langit gerimis. Kita semua lari berteduh. Kamu sudah sampai duluan di bawah kanopi. Tubuh gempalku membuat lariku tak sekencang kamu dan teman-teman …”

Mendadak tubuh Tomi bergetar hebat. Sudut matanya basah. Isaknya mulai terdengar.

“… saat aku tiba di bawah kanopi, kamu menjegal kakiku. Aku jatuh terjengkang. Celanaku yang terlalu ketat karena badan yang berat, akhirnya kena imbas. Celana olahragaku sobek mulai dari selangkangan hingga paha,” lanjutku sambil tetap tersenyum.

“Andre … Andre … aku minta maaf.” Tubuh Tomi menggeletar. Wajahnya pasi bagai tak dialiri darah.

“Kamu ajak teman-teman menertawaiku. Masih ingat omonganmu waktu itu? ‘Lihat itu, si Andre selangkangannya burik! Budukan!’ Masih ingat, Tom?”

“Iya, Ndre. Aku minta maaf banget. Tolong lepasin aku, Ndre. Kumohon,” mohon Tomi padaku.

“Tenang aja, Tom. Kamu akan kubebasin kok. Aku kan baik.”

“Terima kasih, Ndre. Terima kasih.”

“Tapi, tolong kamu bacakan surat yang kubuat ini dengan suara lantang, ya. Aku akan rekam kamu saat baca.”

Menahan tangis, Tomi meninjau surat yang kupampang di hadapannya.

“Gila kamu, Ndre! Mana mungkin aku baca surat ini!” jeritnya usai membaca seluruh surat.

“Oh, ya, sudah. Enggak apa-apa.” Sejurus kemudian, sebuah pisau daging kuayunkan ke jari kelingking kaki kirinya. Darah memancar deras bersamaan jari yang terlepas dari kawanannya.

“Aaaahh!” pekik Tomi nyaring.

“Gimana, Tom? Masih ada 19 jari lagi, sih, sampai kamu mau membacakan isi surat ini.”

Please, Ndre. Kumohon. Jangan lakukan ini padaku. Aku minta maaf, Ndre. Kamu mau apa? Uangku? Akan kuberikan separuhnya …”

Usai mendengar ratap itu, kuperdengarkan kertak jari tengah tangan kanannya. Dengan sedikit gerakan sederhana, segera kujejalkan jari putus itu ke telinganya.

“Kalau gini, gimana, Tom?” tanyaku sambil terkekeh.

“Ahh… Iya, Ndre. Baik, Ndre. Aku akan bacakan surat itu. Ampuni aku, Ndre.”

“Nah, gitu, dong. Kalau begitu kan asyik. Sebentar, aku nyalakan rekamannya, ya.”

Aku bergegas menuju kamera dengan riang. Tidak lupa, sebelumnya kusobek dulu celana Tomi hingga dia hanya mengenakan celana dalam.

Menahan tangis, Tomi menarik napas dalam.

“Hei, Tom. Jangan cemberut gitu! Senyum, dong!” godaku sembari tersenyum.

“Bapak, Ibu Direksi dan Komisaris yang saya hormati …,” ucap Tomi mulai membaca. Air mata terus bercucuran mengaliri pipinya yang penuh keringat dan memerah.

“Terhitung malam ini, saya Tomi Pribadi, menyatakan pengunduran diri sebagai Direktur Keuangan PT. Umur Panjang. Pengunduran diri ini, saya ajukan karena hendak menyerahkan diri pada polisi atas tindakan keji yang saya lakukan tiga tahun lalu.

“Saat itu, saya menghamili salah seorang anak buah di divisi yang saya pimpin. Ajeng Putri. Setelahnya, dia saya perintahkan menggugurkan kandungan. Saya pun membayar orang suruhan untuk menabrak Ajeng dengan truk tronton. Demikian pengunduran diri ini saya lakukan dengan penuh kesadaran. Terima kasih.”

Usai selesai membaca surat, Tomi menangis sejadi-jadinya. Sungguh tidak tega aku melihatnya. Maka, kuhibur dia dengan penuh sukacita.

“Sabar, ya, Tom. Setelah ini, rekamannya akan kukirim ke berbagai media sosial, ke dewan direksi, komisaris, serta istri kamu. Hebat kamu, Tom. Kamu bakal viral setelah ini! Selamat, ya!” Dengan tulus, kupuji Tomi yang hebat di depanku ini.

“Oya, Tom. Sebagai oleh-oleh, akan kubuatkan tanda mata untukmu.”

Kemudian, kugerakkan tanganku ke arah dahinya. Kubuat rajah indah di kening mulus itu. Sebuah tulisan kini tersemat di sana.

AKU CABUL

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar