Tuminah, Janda Turidi

Posting Komentar

 

tuminah janda turidi

Hari masih gelap ketika Tuminah beranjak dari peraduan. Matanya begitu lelah lantaran tidur yang tak pernah cukup. Semenjak Turidi—suaminya—dikeroyok hingga mati dua pekan silam, otomatis tanggung jawab mencari nafkah keluarga, seluruhnya beralih ke pundak Tuminah.

Menyegarkan wajahnya, Minah, begitu ia biasa dipanggil, membasuh dengan air wudu. Dipandanginya lekat bilik depan dapur itu. Dalam remang yang menyakitkan mata, pendar bohlam 5watt itu menjadi satu-satunya penerang rumah ini. Rumah kontrakan yang telah 15 tahun terakhir ia tempati bersama suami dan dua orang anaknya. Bau busuk yang berasal dari perpaduan beragam jenis kotoran tanpa henti menusuki rongga hidung.

Entah bau kotoran apa saja ini. Kotoran kucing dan ayamkah? Jangan-jangan ada juga manusia bodoh yang berak dengan sengaja di samping rumah? Minah tak ambil pusing.

Digelar sajadah kumal satu-satunya di rumah itu. Usai mengenakan mukena yang tak lain mahar pernikahannya, Minah membangunkan Dewi, sang putri sulung.

“Kak … bangun, Kak. Sudah mau subuh. Mamah sebentar lagi mau berangkat. Kak, ayo bangun,” ujarnya lembut seraya menepuk lembut bahu sang putri.

“Ehmm ….”

“Kak, ayo bangun. Salat Subuh dulu, yuk. Mamah sebentar lagi mau berangkat ke pasar.”

“Mamah ganggu Dewi aja, sih!” Parau terdengar suara dari mulut Dewi.

“Ish, si Kakak. Ayo, dong, bangun. Nanti Kakak tolong jagain adeknya, ya.”

Sayup-sayup, suara azan Subuh menembus rumah berdinding tripleks itu. Dewi, beringsut malas dari tempat tidur yang jauh dari kata empuk itu. Ditujunya kamar mandi 2x1 meter di hadapan. Dibuka sumbat ember berisi air yang diletakkan sang ibu di atas bak mandi. Kemudian bergegas membasahi tangan, wajah, kepala, telinga, dan kakinya. Wudu.

Usai menunaikan dua rakaat salat, Minah bergegas melaksanakan aktivitas hariannya. Berangkat ke pasar.
***
Los tempat Minah berjualan merupakan salah satu yang paling ramai dikunjungi pembeli. Di lokasi yang konon diberi nama sebagai pasar modern ini, sebenarnya tidak semodern yang dapat dibayangkan. Saluran air buangan limbah dari lapak para pedagang daging terkadang menggenang di sana-sini. Bekas-bekas darah, potongan gajih, dan sejumput rambut hewan, tidak jarang menjadi penyebab tersumbatnya aliran air di sana.

Minah dan para pedagang sayur lainnya pun sesekali ambil bagian sebagai penyebab mampatnya saluran air. Sedikit seledri, potongan wortel, hingga bawang merah yang tak sengaja terjatuh, menjadikan aroma yang tercipta lantaran tidak mengalirnya saluran air semakin seru.

“Bu, minta sayur sopnya. Sama kangkungnya dua iket,” ujar seorang ibu muda berpakaian serba merah pagi itu.

Dengan sigap, tangan terampil Minah mengisi kantong plastik bening dengan kentang, tomat, buncis, serta bumbu penyedap rasa. Tanpa lupa, dua ikat kangkung ikut diulurkan kepada sang pembeli.

“Okeh, Bu. Makasih, ya.” Ibu muda itu segera beralih ke lapak lainnya.
***
tuminah janda turidi
Kesal benar hati Dewi. Permintaan akan ponsel baru tidak juga dikabulkan mamahnya. Apa lagi yang harus dia katakan sekarang pada Larissa dan teman-temannya nanti? Betapa malunya Dewi karena hingga sekarang, gawai dalam genggamannya jauh dari kata baru.

Dengan kesal, dilemparnya Oppo Reno 7 yang dia beli empat minggu lalu. Huh, kalau bukan iPhone, mana mungkin dia akan lepas dari tertawaan mereka?

Kenapa, sih, Tuhan tidak membuat aku terlahir dari keluarga yang kaya? Kenapa aku harus terpenjara di gubuk sial ini hampir seumur hidup? Tuhan tidak adil. Tidak pernah adil.

Dewi tak berhenti mendengus kesal begitu melihat di sampingnya tergolek seorang anak kecil yang tak dapat mengurus dirinya sendiri. Jangankan untuk duduk, sekadar membuka mata dan berkata ingin buang air pun, anak kecil itu tidak mampu melakukannya. Jijik sekali rasanya Dewi melihat anak itu!

Anak yang selalu disebut Adek oleh kedua orang tuanya. Adik yang tak pernah dia harapkan. Apalagi dengan segala hal buruk yang terjadi pada bocah tujuh tahun yang menurutnya nista itu.

“Iihh, geli banget, sih, ini, Anak Setan! Berak sembarangan gini di kasur! Ih, tolol banget, sih!”

Baik Dewi, mamah, maupun bapaknya dulu, tidak ada yang pernah tahu apa penyakit yang diderita Rosyid, adiknya. Namun yang pasti, Rosyid pernah menjadi anak yang ceria sewaktu masih di bawah tiga tahun.

Digendongnya Rosyid ke kamar mandi. Dengan umpatan tanpa henti, diguyurnya air ke seluruh tubuh Rosyid. Tanpa iba, dibiarkannya Rosyid menelan berjuta teguk air dari tiap guyuran yang dia lakukan.

Dewi menelungkupkan adik semata wayangnya itu ke atas lutut. Hingga terdengar dering merdu dari ponselnya.

Demi mengejar dering ponselnya, Dewi bangkit dari jongkok. Terguling sudah sang adik dari pangkuannya. Kepala Rosyid membentur lantai bersudut yang menjadi tempat bertenggernya kakus di kamar mandi.

Dewi melihat semua itu. Namun, dia tak peduli. Toh, dia tahu adiknya tak dapat mengadukan apa pun pada mamahnya, ‘kan?

Dibiarkannya Rosyid tergeletak di kamar mandi. Darah segar menetes perlahan dari mulut dan hidung Rosyid. Dewi tak tahu. Pun jika tahu, dia akan berpura-pura tidak tahu.

[open BO?] pesan singkat dari nomor tak dikenal, diterimanya.

[iya] jawab Dewi singkat.

[brp] orang tak dikenal itu kembali melanjutkan tanya.

[500 sejam]

[deal]

[dmn] tanya Dewi kemudian.

[ntar w share loc y]

[ok]

Berbunga-bunga, hati Dewi usai menyelesaikan chat dengan pelanggannya. Terbayang dalam benaknya, iPhone 14 Pro akan dapat segera dia genggam.

***

“Ampun, Om. Udah, Om. Saya enggak usah dibayar juga enggak apa-apa, Om.”

“Berisik lo! Udah, lo nikmatin aja cara main gue, Bangsat!”

“Ampun, Om. Saya sakit, Om.”

“Lo udah gue bilang diem, ya udah, diem aja! Dasar goblok!” Segores sayat terukir di tubuh telanjang perempuan cantik itu.

Pandangan mata Dewi nanar menatapi kamar yang terpampang di hadapannya. Plasma berukuran 52 inci terpatri kokoh di depan tempat tidur king size tempatnya terikat kini. Dua botol minuman beralkohol yang Dewi tidak tahu namanya, masih berada di dalam ember metal berisi es batu. Marmer hitam putih yang elegan di seputar suite mewah ini sedikit ternoda akibat cipratan darahnya.

Laki-laki gempal itu masih terus menarikan jemarinya di seputaran dada dan perut Dewi. Sesekali, tangan kirinya menyuapi irisan apel ke mulut gadis muda itu.

“Anjing lo, ya, emang. Gue bilang jangan nangis, lo masih nangis aja! Babi lo, ya! Bangsat!” Pria berusia 42 tahun itu, dengan gemas menekankan pisau lipatnya ke dalam pusar Dewi. Terus dijalankan pisau itu ke arah bawah. Terus, terus, dan terus.

Darah segar muncrat seiring tikaman pisau itu diangkat dari kemaluan Dewi. Seulas senyum puas, tersungging di bibir hitam pria itu.

“Nah, gitu dong. Diem kek kayak gini dari tadi. Kan gue jadi senang. Nih bayaran dan tip buat lo!”

Segulung uang berlukis dua proklamator kemerdekaan, lantas terhambur di atas tubuh tak bernyawa itu.

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar