Laut Bercerita: Utang Besar yang Belum Lunas Terbayar

Posting Komentar
review Laut Bercerita
Membaca Laut Bercerita, benar-benar membawa saya pada sebuah pengalaman baru. Saya menemukan kegelisahan berbalut penasaran sekaligus semangat menyala-nyala, yang berpadu dengan getir dan pedih memilukan.

Melalui novel ini, Ibu Leila S. Chudori berhasil membangkitkan kenangan masa lalu saya tatkala beranjak dewasa dan mengecap pendidikan baik di SMA maupun bangku kuliah. Kendati tidak berada dalam zaman yang sama dengan Laut, Sunu, Mas Gala, Kinan, dan kawan-kawan yang diceritakan dalam novel ini, tetapi pengalaman turun ke jalan, terlibat bentrokan dengan aparat, serta berpanas-panasan dengan kepalan tangan mengangkasa yang pernah saya lakukan bersama kawan-kawan mahasiswa dari berbagai kampus, seakan-akan kembali berkejaran di depan mata.

Garis Besar Plot

Novel karya Ibu Leila yang terbit pertama kali pada Oktober 2017 ini, secara garis besar dibagi menjadi dua bagian.

Bagian pertama, menggunakan sudut pandang Biru Laut Wibisana, seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada. Latar waktu yang digunakan pada bagian pertama ini, berada pada kurun 1991 ketika Laut, begitu dia biasa disapa, yang baru masuk semester tiga mulai bersentuhan dengan pergerakan mahasiswa, hingga Maret 1998, yaitu sewaktu Laut mengalami penculikan yang berujung pada kematiannya di dasar lautan.
review Laut Bercerita
Pada bagian pertama ini, cerita dimulai dengan ingatan Laut tatkala berada dalam sebuah drama penculikan yang dilakukan sekumpulan orang tidak dikenal. Jelang kematiannya, pembaca disuguhkan rangkaian cerita epik yang dikisahkan oleh Laut, berisi bagaimana dia dan para sahabatnya berkenalan, terlibat dalam serangkaian diskusi, hingga akhirnya menjadi aktivis mahasiswa.

Melalui sudut pandang Laut, pembaca dibiarkan menyelami serangkaian cerita yang menjelaskan setiap detail informasi atas situasi yang terjadi kala itu. Tindakan represif aparat dan kegelisahan kaum marginal seperti kaum buruh dan tani, kerap memperoleh sorotan dalam cerita yang diangkat.

Pengalaman Laut dan kawan-kawan mendampingi para petani yang dibungkam dan dirampas haknya pun diceritakan dengan detail. Bagaimana aksi Blangguan yang direncanakan dengan matang, berubah menjadi pengalaman tak terlupakan sepanjang sejarah perjuangan mereka.

Melalui mata Laut, para pembaca juga disuguhkan pengalaman menjadi buronan yang harus sembunyi di bawah tanah, berkirim kabar melalui pesan rahasia, hingga upaya bertahan hidup, selepas organisasi yang mereka gawangi dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Dari sini, tanpa banyak kata, pembaca diperlihatkan kengerian yang dialami banyak pihak manakala rezim Orde Baru yang tengah berkuasa, berupaya tetap menancapkan kuku mereka.

Bagian pertama ditutup dengan paparan luar biasa atas pengalaman yang dialami Laut dan beberapa sahabatnya tatkala diciduk oleh si Mata Merah, Manusia Pohon, dan si Raksasa. Penculikan pada malam nahas itu, digambarkan dengan teramat detail dan mengesankan.

Selama diculik, Laut dan kawan-kawan aktivisnya, didera siksaan demi siksaan di luar batas perikemanusiaan. Pukulan demi pukulan, disetrum, leher dan wajah yang dipijak dengan sepatu bergerigi, hingga ditelanjangi dan ditidurkan di atas balok es, adalah sebagian kecil dari apa yang mereka alami berbulan-bulan lamanya. Asinnya darah serta bibir dan mata bengkak, seolah-olah menjadi kawan setia selama penculikan berlangsung.

Bagian kedua buku ini, mengambil sudut pandang Asmara Jati, adik perempuan Laut dengan latar waktu beberapa tahun sejak hilangnya sang kakak (2000—2007).

Setelah penculikan yang Laut dan beberapa aktivis mahasiswa lain pada Maret 1998, Indonesia mengalami beberapa perubahan signifikan. Misalnya saja pada Mei 1998 ketika Soeharto memutuskan meletakkan jabatan sebagai presiden. Muara perjuangan yang selama ini didengungkan oleh ratusan ribu mahasiswa berbagai kampus dan berbagai elemen masyarakat, akhirnya tercapai.

Beberapa orang mahasiswa yang diculik pun dibebaskan. Beberapa orang sahabat Laut, seperti Alex Perazon, Naratama, dan Daniel Tumbuan, dilepas begitu saja setelah berminggu-minggu menerima deraan dan siksa lahir batin. Akan tetapi, Laut dan beberapa kawan lainnya, seperti Sunu, Mas Gala, Kinan, maupun Julius, tetap tidak diketahui rimbanya.

Pada bagian kedua, melalui mata Asmara Jati, pembaca dihadapkan pada kegetiran yang dirasakan para anggota keluarga aktivis-aktivis yang belum juga pulang. Penyangkalan demi penyangkalan menjadi hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang terdekat aktivis-aktivis ini.

Tengok saja ketika Anjani yang cantik bukan kepalang, berubah drastis menjadi seorang gadis yang tidak lagi peduli dengan kebersihan diri, lantaran Laut sang kekasih tidak kunjung diketahui nasibnya. Rambut indah Anjani, dikabarkan oleh Asmara Jati berubah menjadi kusam yang bertahun-tahun tak lagi pernah tersentuh busa sampo. Kuku-kuku jari lentik sang gadis seniman itu bahkan menjelma menjadi kuku-kuku hitam yang jauh dari kata terawat. Gadis cantik ini, menyangkal setiap hal yang bermuara pada kesimpulan bahwa Laut telah tiada. Keguncangan jiwa dialami Anjani dan kebanyakan anggota keluarga aktivis yang belum diketahui keberadaannya.

Ketidaktahuan keluarga atas keberadaan para aktivis ini, benar-benar menjadi sebuah siksaan luar biasa. Bagaimana tidak, hingga bertahun-tahun lamanya, Laut dan beberapa orang aktivis yang diculik, tidak pernah ada kabar beritanya.

Di mana mereka berada? Masih hidupkah mereka? Jika sudah meninggal, di mana jasad mereka berada?
Bapak dan aku terdiam. Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan. (halaman 256)

Deskripsi Latar yang Detail

Salah satu hal yang menurut saya sangat-sangat kuat dalam novel satu ini adalah kemampuan Ibu Leila dalam menggambarkan setiap latar yang diceritakan dengan begitu detail.

Saya terkesima betapa luar biasanya penggambaran detail bangunan “Rumah Hantu” Seyegan yang dijadikan sekretariat Winatra ketika Kinan, Sunu, Laut, Daniel, Alex, dan beberapa kawan lainnya berkunjung untuk kali pertama. Bagaimana situasi tidak terawat rumah tua itu, dideskripsikan dengan demikian cemerlang sehingga saya sebagai pembaca mampu membayangkan situasi rumah tua itu benar-benar sebagai “rumah hantu”.

Simak juga pertemuan Kinan dan Laut pertama kali, serta proses inisiasi yang dilakukan Kinan kepada Laut saat mereka makan di warung makan Ibu Retno. Penggambaran setiap sudut warung makan, bahkan penganan yang keduanya pilih untuk makan, dituturkan dengan begitu pas. Saya pun akhirnya tidak mengalami kesulitan berarti dalam melakukan reka adegan sebagaimana dituturkan oleh Ibu Leila.

Agaknya pengalaman Ibu Leila sebagai jurnalis Majalah Tempo benar-benar mengambil peran penting dalam penulisan novel ini. Investigasi yang kuat pun sedemikian terasa pada setiap potongan sejarah yang disampaikan.

Detail kasus Blangguan, sudut-sudut Stasiun Bungurasih, hingga nukilan kalimat yang mencitrakan seperti apa DPR-RI/DPRD pada zaman Orde Baru, dituliskan dengan sedemikian kuat. Dampaknya pun luar biasa dahsyat.

Saya yang pada kurun 1993 masih mengenakan celana pendek merah ketika bersekolah, dengan sangat mudah membayangkan situasi politik pada saat kisah ini terjadi.
Daniel benar. DPRD atau DPR selama ini adalah septic tank, tempat penampungan belaka. Negara ini sama sekali tidak mengenal empat pilar. Kami hanya mengenal satu pilar kokoh yang berkuasa: presiden. (halaman 163)

Novel yang Menjadi Saksi Sejarah

review Laut Bercerita
Bagi saya, keberadaan novel Laut Bercerita benar-benar sebuah anugerah. Bagaimana melalui tulisan yang terjalin indah, Ibu Leila memperlihatkan satu potongan sejarah kelam bangsa ini.

Penghilangan paksa demi membungkam dan menyelamatkan kekuasaan yang dilakukan rezim berkuasa, sudah sepatutnya menjadi sebuah catatan buruk yang tidak boleh terulang lagi di kemudian hari. Penculikan aktivis yang dilakukan sekumpulan orang—yang menamakan diri sebagai Kelompok Elang—adalah sebuah noktah sejarah yang tentu kita tidak inginkan terjadi lagi.

Sudah sepatutnya, novel ini menjadi salah satu referensi bacaan yang kelak menjadi penyadar betapa bangsa ini pernah terjerembab sedemikian dalam. Sehingga para pemimpin bangsa dan generasi penerus mampu mengantisipasi setiap kemungkinan buruk yang mengarah kepada hal-hal rendah seperti yang dialami Laut dan kawan-kawannya.

Utang negara ini kepada keluarga para aktivis pun sudah semestinya ditunaikan. Upaya pengusutan tuntas kasus penculikan dan penghilangan paksa, serta pelacakan keberadaan para aktivis, harus diupayakan oleh para pemangku kepentingan di negara ini.

Presiden, menteri, hingga pejabat negara lainnya, sudah sepatutnya memberi porsi perhatian khusus untuk pelanggaran HAM yang terjadi ini.
“Sampai kapan pun, kami harus tahu apa yang terjadi dengan suami, anak, adik, kakak, kekasih yang dihilangkan, Mas Aswin. Jika benar …,” Air mata Mbak Yun meluncur, “jika benar sudah tewas, kami perlu tahu di mana jenazah mereka karena kami ingin menguburkan dan mendoakan mereka semua. Dan siapa pun yang membunuh mereka harus diadili sesuai hukum yang berlaku.” (halaman 328)
Saya harus jujur mengakui, dalam beberapa bagian novel ini, ledakan tangis tak mampu saya bendung. Kesakitan yang dirasa oleh bapak dan ibu Laut atas hilangnya sang putra kebanggaan, turut saya rasa kendati saya hanya duduk termangu sembari membaca cerita yang tersaji.

Tangis pun tidak mampu saya tutupi ketika Anjani dan ibunda Laut akhirnya hadir di depan Istana Negara pada aksi kamisan yang kerap digelar oleh anggota keluarga yang hilang saban minggu. Saya membayangkan, andai saya lahir di tahun yang sama dengan Laut dan kawan-kawan (kisaran 1970—1971) dan berstatus mahasiswa pada kurun 1991—1998, bukan tidak mungkin salah seorang yang menempati sel penyiksaan itu adalah saya.

Kegeraman, serta keresahan yang sejak muda dirasa hingga kini, bisa saja membawa saya pada kemungkinan bernasib serupa dengan Laut, Kinan, Bram, ataupun Sunu. Dipenjara, ditelanjangi, dipukuli, bahkan disetrum hingga berpikir kematian akan jauh lebih baik ketimbang semua siksa yang ada.

Akhir kata, terima kasih sebesar-besarnya saya haturkan kepada Ibu Leila yang telah menuliskan kisah kelam bangsa ini ke dalam sebuah sajian novel yang memukau. Tidak bisa tidak, skor 9/10 harus saya beri untuk novel keren satu ini.
***

Laut Bercerita | Leila S. Chudori | Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia | ISBN: 978-602-424-694-5 | 379 halaman | Cetakan pertama: Oktober 2017 | Cetakan ke-63: Juli 2023
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar