Ratu Adil: Mengenal untuk Berempati

Posting Komentar
review buku "Ratu Adil"
Sebagai orang yang pernah berkuliah di kampus psikologi, berbagai istilah psikologi seperti waham, malingering, skizofrenia, skizofreniform, hingga fobia, menjadi hal yang biasa saya dengar. Terhitung sejak resmi menyandang jaket almamater kuning dengan logo makara warna biru muda, kami—para mahasiswa fakultas psikologi saat itu—menjadi para psikolog kapiran yang kerap ditanya ini dan itu tentang kondisi kejiwaan oleh kawan lain fakultas ataupun orang yang belum kenal-kenal amat.

Apa pasal? Apa lagi jika bukan karena kami—para mahasiswa psikologi—dianggap sebagai “paranormal” ataupun dokter jiwa dadakan yang bisa melakukan diagnosis sekali jadi hanya dengan membaca nama, melihat muka, ataupun membaca tulisan tangan.

“Kamu mahasiswa psikologi, ‘kan? Coba, dong, baca kepribadianku!”
merupakan hal yang sangat-sangat biasa saya temui selama empat tahun berkampus dan menyandang predikat sebagai anak psikologi.

Pertanyaannya kemudian, apa benar saya paham? Apa benar saya sungguh mengerti tentang makna dari sebuah istilah psikologi?

Skizofrenia: Istilah yang Dianggap Biasa dan Diselewengkan

Nyatanya tidak demikian. Berbagai istilah psikologi, khususnya yang terkait psikologi klinis, seperti delusi, halusinasi, bipolar, gangguan kepribadian, dan lain-lain, tidak serta-merta kami—saya—pahami. Ada, sih, mata kuliahnya. Psikologi klinis memang menjadi salah satu mata ajar yang wajib kami ambil dan ikuti memang pada tingkat dua. Namun, apa cukup untuk benar-benar membuka mata dan memberi pemahaman secara menyeluruh?

Sebut saja dengan istilah skizofrenia yang belakangan hari sering disebut-sebut dan menjadi hal yang terkesan “biasa” di kalangan masyarakat awam. Sedikit-sedikit orang yang dianggap “berbeda” dilabeli dengan istilah ini.

“Huh, dasar skizo!”
“Dasar psiko!”

Namun, apa benar istilah-istilah itu digunakan pada tempat yang tepat?

Ratu Adil: Membuka Mata dan Memaksa Empati

Buku Ratu Adil: Memoar Seorang Skizofren merupakan buku memoar psikologi yang saya miliki sejak Agustus 2012 silam. Sudah cukup lama memang. Sayangnya, barulah setelah satu dasawarsa lebih, buku ini akhirnya benar-benar saya baca.

Bermula dari sebuah cendera mata hasil kunjungan ke program Kick Andy di stasiun televisi Metro TV pada Agustus 2012, buku ini diberikan secara cuma-cuma oleh panitia kepada seluruh hadirin yang menonton acara pada malam itu. Tentu sebagai seorang anak psikologi, saya hanya menanggapi datar saat buku itu pertama kali mampir ke dalam genggaman.

“Oh, buku skizofrenia.”

Otak saya langsung membuat asosiasi. Paling-paling akan mirip dengan buku Sybil yang saya baca pada 2005 ataupun 24 Wajah Billy yang saya miliki saat masih berkuliah. Ya, kamu benar. Sebagai anak psikologi, saya merasa sok tahu. Merasa paham benar apa itu skizofrenia dan waham yang dialami oleh penderitanya.

Ujungnya pun bisa ditebak. Saya merasa sok pintar dan sok tahu. Saya merasa buku ini menjadi buku biasa yang sudah saya ketahui isinya tanpa harus membacanya.

Lantas, ketika awal pekan ini (6 Mei 2024) saya mulai menekuri halaman demi halaman buku, saya ketakutan sekaligus takjub. Sungguh, saya benar-benar kaget bahwa waham alias delusi ternyata semengerikan itu!

Saya pikir waham hanyalah gangguan otak yang menyebabkan seorang penderita skizofrenia berpikir aneh tentang dirinya. Merasa dirinya seseorang yang hebat atau nabi. Ya, sudah. Cuma itu.

Maka, ketika halaman demi halaman buku Ratu Adil tersusuri barulah saya sadar. Saya salah. Waham tidaklah seringan itu. Jauh lebih dari itu. Waham ternyata sangat memusingkan.

Sebut saja bagaimana penulis—Satira Isvandiari—yang tidak lain adalah seorang penderita skizofrenia merasa dirinya adalah sosok Ratu Adil yang memiliki tubuh bercahaya, transparan, dan dicintai semua pihak.

Dalam alam pikirnya, penulis merasa dia selalu mampu melakukan hal apa pun dan amat berjasa bagi alam semesta. Perubahan dirinya dari seorang “manusia biasa” menjadi “Ratu Adil” pun dipikirnya terjadi karena sebuah alasan. Dia diutus oleh sesosok makhluk naga besar dengan tahi lalat di bawah mata kiri menjadi seorang Ratu Adil dengan satu misi utama: memohon kepada Allah Swt. untuk menunda kiamat yang sebentar lagi datang.

“Namun pada dasarnya aku berwujud ular yang besar sekali dengan sebuah mahkota bertaburkan permata bertengger di kepala. Kalau aku sedang bercerita kepada seluruh penduduk dunia, aku berubah wujud menjadi naga merah perempuan yang di pelipisnya terdapat rumbai-rumbai putih.”
(halaman 57)

Dia bertugas melobi Allah, memohon kebijaksanaan-Nya, sekaligus menyenangkan semua makhluk di muka bumi. Sebagai salah satu kehebatannya, penulis merasa dirinya selalu mampu menghubungi dan berbicara dengan siapa pun. Di antara beberapa tokoh terkenal yang biasa diajak diskusi antara lain: Sun Go Kong (kera sakti), Dewi Kwan Im, Buddha, Bung Karno, Presiden Soeharto, Ratu Elisabeth, Jet Li, Malaikat Jibril, hingga Zoroaster.

“Aku sempat berkenalan dengan Bung Karno. Ilmunya seperti lukisan, lukisan alam pedesaan. Beliau senang dilihat ilmunya olehku. Beberapa hari aku ditemani Bung Karno. Aku pun akrab dengan putra-putri beliau. Setelah lama mereka tidak bertemu dengan ayahnya, kini mereka dapat berjumpa lagi.

Lalu, aku memanggil Mahapatih Gajah Mada. Beliau senang bisa berjumpa dengan Dewi Kwan Im dan Buddha.

Aku juga bicara dengan Sunan Kalijaga. Beliau berpesan padaku agar jangan meninggalkan salat dan nakal lagi.

Kemudian Aku bertemu dengan Maryam, Si Manis Jembatan Ancol dan pengikut-pengikutnya. Aku menyatakan turut bersedih atas kejadian yang menimpa mereka.”
(halaman 89-90)

Dari buku ini, saya seakan-akan ditampar. Keserbasoktahuan yang selama ini saya kedepankan, nyatanya tidak ada apa-apanya. Saya turut berempati dengan sedemikian ruwetnya alam pikir penulis dengan waham kebesaran yang dia miliki. Bayangkan, penulis terjebak dalam pikiran-pikiran “yang aneh” menurut kacamata awam, selama lima tahun!

Ya, selama lima tahun—sebelum akhirnya diobati di rumah sakit jiwa—penulis harus berasyik-masyuk dengan pemikiran bahwa dirinya adalah sosok pilihan yang bahkan mampu bercakap-cakap langsung dengan Allah. Jika hal itu dianggap tidak cukup, maka ngobrol dan minta pendapat Rasulullah saw. yang menjadi salah seorang tokoh yang cukup sering disebut dalam kisahnya, tentu bisa membuka mata—sengeri apa skizofrenia itu.

Buku ini membuka mata dan memaksa saya berempati kepada setiap orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan berpeluang untuk “ter-trigger” hingga jatuh ke jurang skizofrenia. Buku ini berhasil juga membuka wawasan baru bahwa skizofrenia bukan gangguan mental ala kadarnya. Gangguan ini sungguh membutuhkan bantuan profesional dan tidak bisa dianggap remeh.

Review Singkat tentang Buku

Kendati buku ini mampu membuka wawasan dan mata saya secara gamblang, akan tetapi begitu banyaknya kasus pemikiran absurd yang penulis alami, membuat saya cukup kelelahan lantaran datanya yang dimuat terlampau banyak.

Misalnya, jika pada satu halaman dijelaskan penulis akhirnya berpacaran dengan Sun Go Kong, tidak lama kemudian ditampilkan kisah bahwa Sun Go Kong ternyata adalah titisan langsung zoroaster.

Sudah? Tentu saja belum.

Halaman-halaman selanjutnya membuka kengerian baru. Ternyata penulis adalah anak kandung Sun Go Kong yang sedang dia pacari. Begitu seterusnya.

Akhirnya, saya mulai merasa kelelahan dan melakukan skip baca. Ceritanya terlalu banyak dan membuat bosan. Percayalah, setelah terlalu banyak data yang dipaparkan, akan tiba dalam pikiran yang penasaran dalam mempertanyakan sesuatu:

“Ini ending-nya bakal gimana, sih? Akankah happy ending?”

Sedikit membosankan, tetapi cukup membuat penasaran dan menggugah.

Saya cukup merekomendasikan buku ini untuk Sobat baca sebagai sarana menambah pengetahuan dan media untuk mengenal isi kepala seorang penderita skizofrenia. Selamat membaca!
***
Ratu Adil: Memoar Seorang Skizofren
Penulis: Satira Isvandiary.
Penerbit: Penerbit Idola Qta, Jakarta. Terbit pertama kali tahun 2011.
Jumlah halaman: xii + 232 halaman. ISBN: 978-979-22-7478-3
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar