Semestinya Rahasia

Posting Komentar
Semestinya Rahasia

"Apa yang tercatat sebagai rahasia, biarlah tetap menjadi rahasia."

Mata Deni mengerjap. Dibaca kembali tulisan yang tertera pada sampul sebuah buku. Entah siapa yang telah meletakkan buku itu di depan kontrakannya. Buku tebal berdebu yang dia duga berumur lebih dari setengah abad.

"Apaan, sih?"

Buku yang terdiri dari lembar kertas kecokelatan dengan sobekan di berbagai bagian, kini berada di tengah meja makan. Sebenarnya, kurang tepat juga mengatakan meja di tengah kontrakan Deni sebagai meja makan. Sebab, begitu banyak aktivitas dia lakukan di atasnya. Mulai dari mengerjakan tugas kuliah, menggarap cerpen untuk dikirim ke media, hingga menyiapkan bumbu dan merajang sayur. Praktis, meja makan hanyalah nama.

Ibu jari dan telunjuk kanan perempuan muda itu membolak-balikkan kertas. Dengan hati-hati, diangkatnya lembaran kertas yang telah nyaris kusam seluruhnya.

"Ini ... buku sihir!"

Minat Deni terbit. Benaknya berputar pada berbagai kemungkinan yang dapat dia peroleh dari buku yang baru didapatinya. Akan tetapi, seketika itu pula, keraguan menyelimuti. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan, membuat dia sukar mempercayai hal-hal mistik yang jauh dari kata masuk akal.

"Ramuan Awet Muda."

Dengan hati-hati, dibacanya sebuah judul yang tertera pada halaman buku yang terbuka. Tergambar di sana seorang pria berjanggut putih serta kepala plontos berubah penampilan. Tepat di sebelah gambar sang kakek, seorang pemuda berkisar usia 25, berpose begitu percaya diri memamerkan otot lengannya dan dadanya yang bidang.

"Mustahil. Paling-paling si mas-mas ini adalah foto masa muda si kakek. Bukan sebaliknya, si kakek berubah menjadi muda. Konyol!"

Kendati pemikirannya terus menolak segala ajian, ramuan, dan ajaran sihir yang tertera, mata Deni tidak berhenti memberi perhatian pada setiap halaman yang dibuka.

Kemudian, kedua ujung jari yang semula membantunya membolak-balik halaman, terhenti. Lembaran kertas yang Deni hadapi kini, jauh berbeda dari lembar-lembar sebelumnya.

"Kok, kertasnya jadi hitam begini?"

Belum usai kebingungannya, jemari kanannya kembali membuka helai kertas.
"Apa yang tercatat sebagai rahasia, biarlah tetap menjadi rahasia."

Lagi. Deni mendapati kalimat yang sama seperti pada sampul buku.

"Apaan, sih? Bikin orang makin penasaran saja!"

Deni melirik jam dinding. Pukul 11 malam lewat. Hanya tinggal beberapa menit sebelum pergantian hari. Rasa penasaran yang melingkupi, kian menggelegak. Diangsurkannya kedua jemari yang sejak tadi membuka helaian kertas.

Deni terkejut. Tangannya lemas bukan buatan. Bahkan untuk sekedar digerakkan, kaku tanpa tenaga.

Wajah Deni pias. Keringat sebesar biji jagung berjumpalitan pada kerut di dahinya.

"Duh, kok, begini? Padahal aku cuma kepengin tahu apa yang ada di balik lembar hitam!" Deni menggerutu. Rasa penasaran membuat kesabarannya setipis tisu.

Di tengah kekecewaan, kekuatan tangan dan jari Deni kembali. Lekas-lekas dibukanya lembaran yang semula tidak mampu dia sentuh.

Setelah lembaran diangkat, kalimat yang dia temui pada sampul, kembali tampak di sana. Kali ini ditambah dengan kalimat aneh yang membingungkannya.

"Apa yang tercatat sebagai rahasia, biarlah tetap menjadi rahasia. Pikir kembali sebelum membuka lembar ini! Sebab, konsekuensi selalu menjadi penyesalan di kemudian hari."

"Alah, bacot amat, nih, buku! Aku mau buka dan lihat tulisannya! Titik!"
***

Jika ada orang paling murung di dunia, tentu saja Deni namanya. Keberanian membuka lembar tertutup dari buku yang ditemukannya, memberi dia bakat luar biasa. Bakat paling menakutkan yang sama sekali tidak dia inginkan.

Kemurungan kini melingkupi diri. Deni yang semula ceria, kini bak kayu kering tanpa nyawa. Dia terputus dari dunia. Deni teramat enggan bercengkerama ataupun sekadar berjumpa dengan kawan-kawan lama.

Alasan bagi Deni tetap keluar rumah kontrakan hanya karena satu hal: membeli bahan makanan untuk kebutuhan sebulan.

Itu pun dengan perasaan amat menyesal dan kesal. Tidak pernah tidak, dia senantiasa menutup kepalanya dengan tudung dari hoodie lusuh yang sudah lebih dari setahun tidak tersentuh air dan sabun cuci.

"Maaf, maaf ...." pinta seorang pria atletis ketika tidak sengaja menabraknya. Sang pria berjalan tergesa menuju etalase buah dan sayur. Praktis Deni yang berjalan sembari menundukkan kepala, tidak melihatnya.

Keduanya bertabrakan. Keranjang belanja keduanya jatuh berhamburan.

"Tidak apa-apa." Suara seraknya kian parau terdengar. Kepalanya berusaha menunduk dan menekuk. Tudung hoodie yang semula menutupi, tersingkap tanpa permisi.

Sebuah tangan kekar terulur ke hadapan. Menawarkan bantuan kepada dirinya yang terjatuh dan rapuh. Refleks, kepala Deni mendongak, menatap wajah seteduh lukisan alam yang tersenyum kepadanya.

Tepat di atas kepala sang laki-laki tampan, terlihat sederet kata dan angka. Wisnu Sudrajat, sisa usia: 16 tahun 23 jam.

Deni panik seketika. Cepat-cepat dikenakan kembali tudung yang tersingkap sebelumnya. Nahas, matanya menatap pantulan wajahnya dari cermin rak buah.

Deni Silvia Wahyuni, sisa usia: 11 menit 12 detik.

-[][][]-
Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar