Pada banyak kesempatan, isu keterlibatan orang tua dalam pengasuhan kerap didengungkan. Keterlibatan yang dimaksud tentu meliputi banyak hal. Mulai dari terlibat dalam membimbing anak, mengajar, hingga memberi contoh teladan ikutan.
Demikian pentingnya keterlibatan orang tua pada pengasuhan ini bahkan memunculkan banyak penelitian. Sebut saja pada penelitian yang dilakukan oleh Mukti Amini, seorang peneliti dari Universitas Terbuka jurusan Pendidikan Anak Usia Dini.
Melalui kutipan yang dikemukakan dalam laporan penelitian yang berjudul “Profil Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak Usia TK”, Amini menyampaikan hasil penelitian Bronfenbrenner (1976) dan Morrison (2008). Kedua tokoh itu menyatakan, tanpa keterlibatan keluarga, intervensi program pendidikan anak usia dini akan melemah.
Tentu kelekatan dalam pengasuhan ini tidak hanya penting bagi para orang tua yang memiliki anak pada usia PAUD hingga TK. Sebab sampai kapan pun, sudah semestinya orang tua menjadi significant others yang berperan penting bagi tumbuh kembang, termasuk juga keberhasilan anak dalam melalui berbagai tahapan kehidupan.
Kesibukan Orang Tua dan Tuntutan Kehidupan
Seiring berjalannya waktu, ditambah lagi perkembangan zaman yang kian menghapus sekat jarak, manusia kian disibukkan dengan berbagai hal. Belum lagi sumbangsih Covid-19 yang menghegemoni dan menghancurkan berbagai sendi kehidupan pada kurun 2019—2021 silam. Tidak dapat dimungkiri, Covid-19 selain bencana yang telah menewaskan begitu banyak orang, juga merupakan pintu gerbang menuju pesatnya digitalisasi di seluruh penjuru bumi.Berbagai pekerjaan yang sebelumnya terbatas di lingkungan kantor dan pertemuan-pertemuan tatap muka, berubah sepenuhnya. Ketersediaan Zoom Meeting, Google Meet, Webex Meeting, maupun berbagai aplikasi rapat daring lain, memfasilitasi pertemuan-pertemuan bisnis dilakukan di mana saja, kapan saja, dan melibatkan siapa saja.
Alhasil, area kerja yang semula terbatas dari sisi waktu dan tempat, kini nyaris tiada lagi sekat. Sabtu, Ahad, di dalam negeri, luar negeri, bahkan dalam kendaraan umum sekalipun, kegiatan rapat dan berbisnis dapat senantiasa dilakukan. Hal ini sedikit banyak tentu dialami para orang tua yang memiliki anak-anak berusia sekolah. Mereka yang memiliki putra-putri berusia PAUD, TK, SD, SMP, hingga SMA, rongrongan kesibukan pekerjaan, dapat saja melanda.
Akan tetapi, tentu saja kita tidak dapat menafikan adanya orang-orang tua yang telah memiliki kesadaran akan pentingnya bonding dan kedekatan dengan anak. Pesatnya arus informasi dewasa ini, serta kemudahan akses akan berbagai konten bermutu, bisa jadi telah cukup membuka mata dan menyadarkan orang tua akan pentingnya kehadiran mereka di rumah.
Pertanyaannya sekarang, apakah cukup hanya dengan mata yang terbuka? Apakah cukup pengasuhan anak hanya bermodal kesadaran orang tua?
Ketidaksiapan Orang Tua dalam Mengakomodasi Rasa Ingin Tahu Anak
“Ayah, Allah itu laki-laki atau perempuan?”
“Allah tinggal di mana, Bun?”
“Kenapa orang-orang bisa meninggal, Pak?”
“Apakah Hantu Pocong itu ada, Bu?”
“Mama, kenapa, sih, kalau setelah pipis harus disiram?”
“Mengapa alat kelaminku tidak boleh dipegang orang, Pa?”
“Bunda, kenapa tempat pipisku berbeda dengan Kakak?”
Ada begitu banyak pertanyaan yang bisa jadi dipikirkan oleh anak dalam kehidupan mereka. Tidak jarang, anak dengan polos mengajukan 1.001 pertanyaan yang membuat orang tua harus putar otak untuk menjawabnya. Kadang orang tua berhasil menjawab, kadang kala justru membuat orang tua bingung sendiri.
Tidak dapat dimungkiri, kendati orang tua bertitel pendidikan sangat elite dengan jabatan mentereng di perusahaan, tidak seluruh pertanyaan anak mampu dijawab tuntas. Hal ini akan membuat orang tua terpojok dan merasa tersudutkan. Ujungnya pun dapat ditebak. Orang tua akan kesal dengan pertanyaan anak yang tidak ada habisnya.
Padahal, kesediaan orang tua dalam menjawab pertanyaan anak, menemani bermain, serta mengerjakan tugas bersama, akan memperkuat ikatan. Adanya dukungan dan jawaban yang sesuai akan kembali memicu rasa ingin tahu anak. Merujuk pada modul berjudul Cara Jitu Menjawab Pertanyaan Anak yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, kesediaan menjawab pertanyaan anak dengan baik dan sesuai, akan mengembangkan kecerdasan bahasa anak.
Tidak sedikit sekolah yang dewasa ini menggelar berbagai program yang “memaksa” keterlibatan orang tua bersama anak. Adanya project antara orang tua dan anak sebagai tugas sekolah, misalnya. Tentu diharapkan hal ini akan membangun keterikatan antara anak dan orang tua. Setidaknya ada proses ngobrol-ngobrol terlebih dahulu antara orang tua dengan anak, baik sebelum, selama, maupun setelah project dikerjakan.
Ada pula kegiatan lain yang diharapkan akan mampu membuka wawasan dan membekali orang tua dalam mendidik anak. Beberapa sekolah tampak cukup sering menginisiasi kegiatan seminar parenting yang lagi-lagi “memaksa” keterlibatan serta kehadiran orang tua. Tidak hanya bersifat luring, tidak jarang seminar parenting ini pun dilakukan daring, bahkan hybrid dari keduanya.
Akan tetapi, bagaimana jika orang tua berhalangan hadir? Bagaimana jika orang tua terpaksa tidak bisa terlibat dalam project bersama maupun seminar parenting yang digagas sekolah?
Bagaimana jika orang tua terpaksa tidak bisa hadir lantaran harus menemui klien dari Jepang, harus terbang ke Moskow untuk penandatanganan nota kesepahaman, memimpin operasi di rumah sakit, ataupun disibukkan dengan mengurus anak-anak yang terbilang banyak di rumah?
Padahal, masih dalam jurnal yang ditulis oleh Amini, Retnaningtyas (2015) menyebutkan bahwa orang tua yang terlibat dalam pengasuhan anak yang bersekolah TK akan mempererat hubungan antara orang tua dengan anak, mendapatkan pengetahuan dari TK ketika mengikuti kegiatan rutin, serta akan mampu menerapkan ilmu pengetahuan baru yang dimiliki pada anak.
Lantas, bagaimana caranya menyampaikan dan menerapkan ilmu baru dalam pengasuhan anak, sementara orang tua tidak sempat hadir sewaktu kegiatan parenting diselenggarakan sekolah?
Sekolah perlu melakukan evaluasi atas jangkauan program yang melibatkan orang tua melalui event-event yang diselenggarakan. Apakah pada event yang definitif secara waktu seperti pada project bersama maupun seminar parenting, berhasil menghadirkan dan melibatkan sebagian besar orang tua siswa? Jika memang keterlibatan orang tua belum menunjukkan standar capaian yang menggembirakan, tentu sekolah perlu kembali memutar otak demi “memulangkan” mereka.
Dalam kemajuan teknologi informasi dewasa ini, agaknya kita bisa mencuri ilmu dari penggunaan media sosial sebagai media belajar bagi orang tua. Sejatinya, media sosial memiliki fitur yang bersifat stay and steady. Mereka akan tetap menampilkan konten yang dapat dinikmati dan diakses kapan saja, selama konten yang bersangkutan belum dihapus oleh penyedia atau pemilik media.
Dengan demikian, sekolah dapat mulai memikirkan ketersediaan konten yang berdurasi panjang untuk diakses oleh orang tua. Konten-konten yang dimuat pun berisi seputar penanaman nilai-nilai dasar yang perlu dimiliki anak. Untuk memudahkan, mari kita beri nama konten ini dengan sebutan e-learning.
Layanan e-learning dapat dipertimbangkan sebagai salah satu solusi menjangkau orang tua. Dengan segala macam kesibukan yang mereka miliki, serta lokasi dan durasi pekerjaan yang beraneka ragam, diharapkan e-learning mampu hadir tanpa batasan ruang dan waktu.
Tidak dapat dimungkiri, kendati orang tua bertitel pendidikan sangat elite dengan jabatan mentereng di perusahaan, tidak seluruh pertanyaan anak mampu dijawab tuntas. Hal ini akan membuat orang tua terpojok dan merasa tersudutkan. Ujungnya pun dapat ditebak. Orang tua akan kesal dengan pertanyaan anak yang tidak ada habisnya.
“Kamu tanya-tanya terus! Papa sedang sibuk!”
Intervensi Sekolah dalam Keterlibatan Orang Tua pada Pendidikan Anak
Sekolah sebagai institusi pendidikan tempat bernaung para siswa, tentu tidak tinggal diam. Sudah sejak lama pula sekolah menggaungkan ajakan agar orang tua kembali ke rumah. Mengajak orang tua kembali pulang dan mencurahkan cinta, serta pengasuhan kepada buah hati mereka.Tidak sedikit sekolah yang dewasa ini menggelar berbagai program yang “memaksa” keterlibatan orang tua bersama anak. Adanya project antara orang tua dan anak sebagai tugas sekolah, misalnya. Tentu diharapkan hal ini akan membangun keterikatan antara anak dan orang tua. Setidaknya ada proses ngobrol-ngobrol terlebih dahulu antara orang tua dengan anak, baik sebelum, selama, maupun setelah project dikerjakan.
Ada pula kegiatan lain yang diharapkan akan mampu membuka wawasan dan membekali orang tua dalam mendidik anak. Beberapa sekolah tampak cukup sering menginisiasi kegiatan seminar parenting yang lagi-lagi “memaksa” keterlibatan serta kehadiran orang tua. Tidak hanya bersifat luring, tidak jarang seminar parenting ini pun dilakukan daring, bahkan hybrid dari keduanya.
Akan tetapi, bagaimana jika orang tua berhalangan hadir? Bagaimana jika orang tua terpaksa tidak bisa terlibat dalam project bersama maupun seminar parenting yang digagas sekolah?
Bagaimana jika orang tua terpaksa tidak bisa hadir lantaran harus menemui klien dari Jepang, harus terbang ke Moskow untuk penandatanganan nota kesepahaman, memimpin operasi di rumah sakit, ataupun disibukkan dengan mengurus anak-anak yang terbilang banyak di rumah?
Padahal, masih dalam jurnal yang ditulis oleh Amini, Retnaningtyas (2015) menyebutkan bahwa orang tua yang terlibat dalam pengasuhan anak yang bersekolah TK akan mempererat hubungan antara orang tua dengan anak, mendapatkan pengetahuan dari TK ketika mengikuti kegiatan rutin, serta akan mampu menerapkan ilmu pengetahuan baru yang dimiliki pada anak.
Lantas, bagaimana caranya menyampaikan dan menerapkan ilmu baru dalam pengasuhan anak, sementara orang tua tidak sempat hadir sewaktu kegiatan parenting diselenggarakan sekolah?
Sekolah perlu melakukan evaluasi atas jangkauan program yang melibatkan orang tua melalui event-event yang diselenggarakan. Apakah pada event yang definitif secara waktu seperti pada project bersama maupun seminar parenting, berhasil menghadirkan dan melibatkan sebagian besar orang tua siswa? Jika memang keterlibatan orang tua belum menunjukkan standar capaian yang menggembirakan, tentu sekolah perlu kembali memutar otak demi “memulangkan” mereka.
Dalam kemajuan teknologi informasi dewasa ini, agaknya kita bisa mencuri ilmu dari penggunaan media sosial sebagai media belajar bagi orang tua. Sejatinya, media sosial memiliki fitur yang bersifat stay and steady. Mereka akan tetap menampilkan konten yang dapat dinikmati dan diakses kapan saja, selama konten yang bersangkutan belum dihapus oleh penyedia atau pemilik media.
Dengan demikian, sekolah dapat mulai memikirkan ketersediaan konten yang berdurasi panjang untuk diakses oleh orang tua. Konten-konten yang dimuat pun berisi seputar penanaman nilai-nilai dasar yang perlu dimiliki anak. Untuk memudahkan, mari kita beri nama konten ini dengan sebutan e-learning.
Layanan e-learning dapat dipertimbangkan sebagai salah satu solusi menjangkau orang tua. Dengan segala macam kesibukan yang mereka miliki, serta lokasi dan durasi pekerjaan yang beraneka ragam, diharapkan e-learning mampu hadir tanpa batasan ruang dan waktu.
E-learning pun diharapkan mampu menjadi starter-kit bagi orang tua dalam membimbing dan menjawab pertanyaan anak. Kelak, setelah tiba di rumah, mereka diharapkan telah siap dengan bekalan ilmu yang memadai kala bermain bersama anak.
Pada e-learning ini, orang tua akan dibekali akses konten sebagaimana yang seharusnya anak dapatkan dari orang tua maupun sekolah. Bahasan akidah mengenai siapakah Allah dan Rasul-Nya, tujuan manusia diciptakan, termasuk di manakah Allah berada, dapat menjadi bahasan yang disampaikan pada e-learning.
Bukan tidak mungkin pula bahasan-bahasan yang bersifat edukasi seksual seperti “Kenapa harus menutup aurat?”, “Mengapa Ayah dan Ibu berbeda?”, “Dari mana datangnya adik bayi?” pun bisa disampaikan.
Demi memaksa orang tua membaca konten pada e-learning, maka mereka perlu memenuhi standar poin tertentu. Tidak mengapa rasanya jika orang tua diberikan sedikit ujian pasca-membaca dan mempelajari e-learning alias adanya post-test.
Tidak jadi soal juga jika saat menjawab pertanyaan pada post-test, orang tua mengintip lagi materi yang telah diberikan. Sebab, tujuan post-test bagi orang tua bukanlah pada seberapa tinggi poin yang diperoleh. Melainkan “memaksa” orang tua membaca dan mempelajari materi yang disampaikan.
E-learning ini tentu akan semakin bertenaga manakala dibuat selaras dengan pengajaran di sekolah. Jika sekolah tengah membahas akidah, maka tentu akan sangat berdampak jika orang tua pun dibekali hal-hal serupa (dalam wujud e-learning) atas bahasan yang disampaikan kepada anak. Sehingga terjadi keselarasan, baik antara yang disampaikan bapak dan ibu guru di sekolah, dengan yang anak dapatkan dari orang tua. Dengan demikian, se-iya, sekata antara orang tua dan sekolah pun dapat terwujud nyata. Insyaallah.
Referensi
Amini, Mukti. (2015). Profil Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak Usia TK. Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI – vol.10, No.1. 9-20.Oze, Ozkan. (2014). I Wonder About Allah (Aku Penasaran tentang Allah). Jakarta: Pandu Aksara Publishing
Rahmita. (2011). Cara Jitu Menjawab Pertanyaan Anak. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal, Kementerian Pendidikan Nasional.
Posting Komentar
Posting Komentar