Berbeda dengan buku-bukunya yang banyak berkutat pada kisah-kisah misteri, thriller, serta horor, melalui Keajaiban Toko Kelontong Namiya, Keigo Higashino menghadirkan cerita yang amat menenangkan, hangat, dan begitu nyaman untuk diikuti.
Ulasan atas novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya ini akan saya mulai dengan secuplik kisah dari buku ini. Dikisahkan pada dini hari yang tenang, tiga orang maling kelas teri, dalam upaya pelarian usai kegagalan mendulang pundi-pundi dari aksi yang mereka jalankan malam itu.
Atsuya, Kohei, dan Shota, akhirnya memutuskan bermalam sementara di sebuah toko kelontong yang telah lama ditinggalkan, berdebu, dan tidak lagi terawat. Sebuah toko kelontong yang terletak di ujung jalan berbentuk huruf “T”, dengan sebuah papan penunjuk nama toko yang telah sukar dibaca. Toko Kelontong Namiya.Sesuai kesepakatan, Atsuya dan kawan-kawannya hanya akan menjadikan toko kelontong itu sebagai tempat singgah sementara untuk menunggu pagi tiba. Kelak, setelah pukul 6 pagi datang, mereka akan keluar dari toko dan berbaur dengan masyarakat kota yang tentunya sibuk dengan urusan keseharian masing-masing. Dengan demikian, pelarian mereka dengan cara berbaur pun akan sukses dijalankan. Setidaknya, begitulah pemikiran yang dimiliki Atsuya dan kedua temannya.
Potongan Cerita yang Saling Terkait
Novel ini mengisahkan potongan-potongan cerita yang seolah-olah terputus antara satu dengan yang lainnya. Seperti pada bab pertama, misalnya. Keigo Higashino meletakkan pijakan awal buku ini dengan mengisahkan pelarian Atsuya, Shota, dan Kohei, hingga mereka mulai bertemu dengan keajaiban yang mencengangkan dari toko kelontong itu untuk kali pertama.
Tanpa mereka duga, toko kelontong yang mereka jadikan tempat singgah, sekaligus rumah persembunyian, justru membawa mereka pada kisah seorang gadis calon atlet olimpiade yang kebingungan. Akan tetapi, siapa sangka “kelancangan” ketiga maling amatir itu mencampuri kehidupan sang gadis, malah membawa mereka pada petualangan demi petualangan yang mengubah nasib banyak orang, termasuk diri mereka, tentu saja.
Kisah selanjutnya, mengambil latar kehidupan Jepang 32 tahun silam terhitung dari latar waktu kehidupan yang dijalani Atsuya dan teman-temannya sebagai maling. Mulanya, kisah Katsuro si musisi amatir sekaligus pewaris toko ikan, terasa tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan cerita calon atlet olimpiade yang kehidupannya “diacak-acak” oleh Shota yang baik hati, Kohei yang polos, serta Atsuya si pemarah itu. Namun, rupanya tidak demikian.
Baik Atsuya, Kohei, Shota, Katsuro si musisi, sang gadis Olimpiade, hingga Muto Harumi yang kisahnya mulai diperkenalkan pada pertengahan buku, ternyata memiliki satu kesatuan cerita, meski latar waktu yang dialami dari tiap tokoh berbeda-beda.
Oleh karena itu, secara jujur saya mengatakan, di sanalah letak kejelian Keigo Higashino ketika mengemas Keajaiban Toko Kelontong Namiya ini. Dengan begitu apik, Keigo Higashino mampu membuat alur cerita yang seolah-olah terputus, tetapi rupanya tetap saling tersambung. Sangat tersambung, bahkan.
Tidak mengherankan makanya, jika sepanjang membaca, saya berdecak kagum. Benak saya mengawang-awang membayangkan Keigo mempersiapkan outline plot yang detail, rumit, dan membuat hubungan-hubungan dari tiap tokoh dengan rinci. Ah, mengingatnya saja sudah membuat saya tersenyum. Seru sekali!
Kisah-Kisah yang Hangat
Seperti yang telah saya kemukakan pada ulasan di atas, setiap bab pada novel ini mengangkat cerita yang berbeda-beda. Pada salah satu bab, kita bahkan akan dipertemukan secara langsung dengan Yuji Namiya, sang pemilik dan orang di balik Toko Kelontong Namiya yang legendaris itu. Seorang kakek sepuh berusia 80 tahun yang kembali menemukan arti dan semangat hidup, setelah lama menjalani hari dengan penuh kelesuan usai kematian sang istri belasan tahun lalu.Dengan begitu apik, Keigo Higashino mampu mengajak pembaca mendalami sudut pandang tiap tokoh. Sehingga, tanpa sadar pembaca dibuat dapat memaklumi rasa geram yang dirasakan Atsuya, serta ketidaksabarannya atas surat-surat yang dituliskan oleh gadis olimpiade, kebaikan dan kelembutan hati Kakek Namiya, hingga kehebatan kisah pelarian Fujikawa, si penggemar berat The Beatles.
Seluruh kisah yang dihadirkan harus diakui mengandung kesamaan. Semuanya terasa sangat hangat, mudah dicerna, kendati berisi begitu banyak keajaiban, seperti yang tertera pada judul buku ini. Amanat Keigo Higashino untuk terus berjuang bersama keluarga, sebagaimana yang Kakek Namiya sampaikan kepada Fujikawa, maupun Atsuya kepada Katsuro, mampu membuka mata pembaca, bahwa perjuangan meraih mimpi adalah satu hal. Namun, berjuang bersama mereka yang disebut keluarga, adalah satu hal besar lainnya.
Seperti pada judulnya, novel setebal 404 halaman ini memang berisi “keajaiban” luar biasa yang mampu menyihir pembaca untuk terhanyut dan terus tenggelam bersama kisah-kisah hebat di dalamnya. Toko Kelontong Namiya yang telah ditinggal mati oleh Kakek Namiya lebih dari 32 tahun lalu itu, berhasil menjadi sebuah mesin waktu supercanggih, yang membawa pembaca untuk terus menikmati seluruh cerita yang tersaji.
Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika pada ulasan novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya ini, saya pun mengalami apa yang Muto Harumi dan Atsuya bersama kawan-kawannya alami dari toko kelontong kecil dan kusam itu. Perubahan cara pandang dan keberanian menghadapi kehidupan, sebagaimana yang telah Keigo Higashino selipkan melalui celoteh Kakek Namiya yang santun dan memesona, terjadi pula pada saya usai menuntaskan buku ini kurang dari tiga hari.
Akhir kata, selamat membaca, ya! Lalu, selamat menyelami dan menikmati keajaiban demi keajaiban yang toko kelontong ini hadirkan.
***
Keajaiban Toko Kelontong Namiya. Tanggal terbit: 21 Januari 2021. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama. Tebal: 404 halaman. Rating si Jamal: 4.7/5
Posting Komentar
Posting Komentar