Jujur saja, nuget memang tetap membosankan. Tak dapat saya berbohong betapa Jamal kecil saat itu jenuh harus memakan hal yang sama setiap hari selama berbulan-bulan. Namun, cinta dan kasih sayang Ibu yang terpancar meski ia nun jauh di kantornya—yang entah sudah makan siang atau belum—memastikan saya tetap mengunyah si daging olahan.
-Ketua Kelas dan Nuget, halaman 57
***
Jika diminta kembali mengingat masa lalu hingga sekarang, saya mengetahui sesuatu. Rasa-rasanya, 26 tahun hidup dalam cucuran kasih sayang seorang Ibu, belum pernah satu kali pun saya membahagiakan ataupun membuat bangga dirinya. Alih-alih bangga, justru sedari kecil saya kerap memberinya rasa khawatir dan geram dengan segala rupa polah yang ada.
Saya ingat betul kala malam gelap itu. Saya merasa gelisah bukan kepalang. Seluruh pikiran berkejaran bak kesetanan. Saya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD, tengah diterpa galau khas seorang bocah.
Takut-takut, saya sambangi kamar Ibu. Saya ketuk pelan, berharap tidak terdengar olehnya, kendati di sisi yang lain, saya amat berharap beliau mendengar pula.
“Ada apa? Kok belum tidur?” sapanya ketika mendapati saya di depan pintu triplek hijau kusam itu.
“Iya, Bu. Ibu lagi apa?”
“Enggak ngapa-ngapain, sih. Ini juga mau tidur sebentar lagi.” Jelas sekali, saya mendengar desis khawatir juga penasaran dari setiap nada yang Ibu ucapkan. Ah, tampaknya saya tak lagi dapat mengelak.
Maka, percakapan ibu beranak itu pun terjadi. Dalam desah malam itu, saya bercerita betapa ketakutan luar biasa yang tengah melanda. Vandalisme berupa coret-coret tembok rumah kosong yang saya lakukan dua hari lalu, membuat saya panik luar biasa. Ibu mendengar setiap tutur yang saya sampaikan. Tanpa sela, tanpa menghakimi barang sedetik jua.
“Sudah?” tanya Ibu ramah. Ada seulas senyum pada bibirnya.
“Sudah, Bu.”
“Jamal sudah tahu kalau yang kemarin dilakukan salah?”
“Iya, Bu. Aku tahu.”
“Jamal janji tidak akan mengulang lagi?”
“Iya, Bu. Janji.”
“Ya, sudah. Jangan diulang lagi, ya.” Ibu kemudian mengacak rambut saya sembari membiarkan saya berbaring di pangkuannya yang tidak pernah tidak terasa nyaman. Malam itu, saya tidur luar biasa nyenyak. Melalui beberapa baris kata sederhana, seakan seluruh beban hidup yang saya miliki, telah terangkat sepenuhnya.
Robot dari Ibu
Sejatinya, Robot dari Ibu yang saya mulai tulis pada pertengahan Oktober 2022 lalu berisi belasan cerita yang pernah saya lalui bersama Ibu. Seluruh cerita, saya kelompokkan berdasarkan rentang waktu terjadinya peristiwa, termasuk ragam peristiwa yang memayungi.Bicara Robot dari Ibu, berarti berbicara tentang dia, ibu saya. Sosok yang tidak pernah kehilangan cara membuat saya sebal setengah mati dengan segala ceramahnya yang teramat jarang berdurasi singkat, tetapi selalu membuat saya rindu dengan kasih sayangnya yang tidak pernah pura-pura. Ibu selalu punya cara membuat saya merasa bangga di satu waktu, sekaligus teriritasi di waktu yang sama.
Dalam kebersamaan dengan saya yang tepat setengah dari seluruh usianya di dunia, Ibu telah menanamkan berbagai pondasi bagi saya untuk melanjutkan hidup. Dengan raut teduh sarat kelelahan lantaran seharian mengais rezeki di ibu kota, Ibu berupaya hadir dalam setiap waktu belajar saya di malam hari. Dengan sabar, dia tuntun saya yang tertatih dan tidak cepat paham bahwa menghitung panjang dengan penggaris selalu mengambil awalan 0 centimeter.
Ibu hadir dalam berbagai kesempatan mengambil rapor. Saya tidak pernah paham, adakah deretan nilai yang tersusun dalam buku rapor itu, sempat membuatnya gembira atau malah—lagi-lagi—merasa khawatir.
Ibu hadir dalam berbagai perjalanan penting hidup saya. Termasuk, tentu saja ketika saya menghafal Al-Qur’an surah Yasin yang menjadi mahar pernikahan. Ibu hadir sebagai satu-satunya manusia di bumi ini yang saya percayai untuk menerima setoran hafalan, termasuk mengoreksi manakala ada bacaan Al-Qur’an saya yang keliru.
Robot dari Ibu sama sekali bukanlah sebuah buku yang saya dedikasikan sebagai wujud bakti ataupun ucapan terima kasih. Bukan.
Saya paham benar, sama sekali tidak pantas jika merasa bakti saya cukup dan jasa Ibu terbalaskan hanya melalui sekumpulan kertas A5 setebal 224 halaman. Robot dari Ibu sangat jelas bukanlah buku yang saya tujukan sebagai ucapan terima kasih kepada perempuan yang bahkan dalam sakitnya pun masih mengkhawatirkan keadaan saya.
Buku ini, sejatinya saya tujukan sebagai bentuk persaksian dan bukti. Saya bersaksi dan berani menjamin dengan kesungguhan hati, bahwa seorang Siti Djamilah adalah seorang Ibu yang baik hati dan teramat bertanggung jawab kepada seluruh anggota keluarganya. Melalui Robot dari Ibu, saya bersaksi bahwa Ibu adalah sosok yang baik dan amat mencintai keluarga. Saya bersaksi. Saya bersaksi.
Kendati segala kalimat dan kisah yang tertuang dalam buku kecil ini murni adalah kisah yang saya alami bersama Ibu, tetapi saya berkeyakinan satu. Buku ini—meski hanya sedikit—akan mampu melayangkan ingatan akan kehadiran sosok perempuan tangguh nan cantik yang kamu panggil Ibu, Mama, Mami, Ummi, atau apa pun sebutan yang tersemat untuknya.
Melalui buku ini, saya juga mengajakmu untuk kembali ke masa-masa itu. Masa ketika kamu bermain bersama, menikmati sukacita dan gembira, serta kesempatan bermanja bersamanya. Melalui buku ini pula, saya bermaksud mengantar kamu pulang. Pulang menuju cintanya, menengoknya manakala lama sudah kamu tidak bersua dengannya, atau sekadar menyapa melalui telepon dan video call.
Buku ini juga saya maksudkan untuk mengingatkan agar kamu kembali mendoakan dan berbuat baik atas nama dirinya, manakala ternyata Ibu, Mama, Ummi, Mami, Simbok yang kamu cintai itu telah lebih dahulu berpulang menghadap-Nya. Pulanglah. Rengkuh kembali cinta perempuan renta di sana yang cintanya untukmu tidak pernah berkurang barang seinci jua.
Akhir kata, saya sangat berharap buku ini akan menjadi hadiah berharga yang mampu membuatmu sadar. Sadar dengan sebenarnya bahwa dirimu teramat berharga dan selalu begitu adanya. Bagaimana tidak? Bukankah perempuan itu telah memastikan betapa berharganya dirimu? Bukankah perempuan itu telah membuatmu senantiasa yakin kalau kamu adalah salah satu harta yang ia punya dan tak ternilai harganya.
Ya, dia. Perempuan itu. Ibu.
***
Robot dari Ibu | Jamal Irfani | Penerbit One Peach Media | 244 halaman | Hardcover | Cetakan pertama: Januari 2023 | ISBN: 978-623-483-104-7
Posting Komentar
Posting Komentar