“Irfan tolol … Irfan tolol …”
“Ha-ha-ha …”
Irfan payah banget, sih!”
Lagi-lagi mimpi itu hadir. Menyelusup dalam alam bawah sadar, seolah meminta jatah perhatian. Aku tak tahan lagi. Akankah tetap kubiarkan ia berbuat semaunya.
Entah telah berapa tahun aku dikejar oleh perasaan takut dan lemah. Aku senantiasa berada dalam lorong gelap tak berujung. Sesat dalam gulita, senyap tanpa teman.
Ingatanku memaksa memanggil nama seseorang. Seseorang dari masa lalu yang sebenarnya tak lagi ingin kuingat keberadaannya. Seseorang yang kala mendengar namanya saja, membuat seluruh buku kudukku meremang. Seseorang bernama Aris.
***
Entah telah kali Aris mendaratkan tinjunya ke wajahku. Berkali-kali aku dipukuli, berkali-kali pula aku merelakan diri. Ya, merelakan diri dipukuli olehnya. Seseorang yang senantiasa dianggap dewa oleh kami semua.
Sejak kepindahannya ke perumahan kami, Aris—anak yang berusia dua tahun di atas kami—telah berperan bak seorang kapten, tuan, juragan, hingga jangan lupakan kenyataan yang satu ini, Tuhan.
Benar, Aris tak ubahnya Tuhan bagi aku, Seno, Bagas, dan Doni. Apa saja keinginannya selalu wajib kami penuhi. Tak jarang, kami bahkan jauh lebih takut pada Aris ketimbang bapak ibu kami di rumah.
“Gue enggak mau tahu. Pokoknya, besok gue minta lo semua setor duit 200 ke gue!” Hari itu Aris memberi kami titah. Kami pun patuh.
Dalam perjalanan pulang, kami berempat hanya diam. Menendang debu yang tak terlihat, menatap kosong ke jalan yang seakan tak berujung.
“Aku mau mati aja,” ucap Seno memecah kesunyian.
“Iya, kayaknya lebih baik mati saja.” Doni menimpali.
Aku dan Bagas diam. Entahlah, rasanya mati memang menjadi solusi terbaik saat ini. Namun, aku tidak tahu bagaimana caranya. Belum lagi, sepertinya aku takut untuk mati.
“Sabarlah. Masa’ kita mati cuma gara-gara Aris ….” Bagas akhirnya buka mulut.
“Alah, diam saja kau, Gas. Buktinya kamu yang justru paling takut sama dia!” semprot Seno berang.
Bagas diam. Kami pun kembali membisu.
***
Mama dan papa Seno begitu terpukul. Bagaimana pun, Seno adalah pribadi yang ceria dan teramat pintar. Tiga tahun aku sekelas dengannya, Seno selalu berhasil mengungguli teman-teman sekelas dan menduduki peringkat pertama.
Menyusul Seno, Doni seolah membayar lunas perkataannya. Entah apa yang dipikirkannya saat itu, obat serangga ludes mengisi perutnya. Doni ditemukan dengan mulut berbusa oleh ibunya yang seorang pedagang sayur keliling.
Hegemoni Aris kian menjadi. Dengan budak yang hanya tersisa dua orang, ia seolah begitu ingin melampiaskan seluruh energinya kepada kami.
Tendangan, pukulan, bahkan sabetan ranting kayu menjadi santapan kami setiap hari. Bagas yang bertubuh lebih kecil dariku, akhirnya tumbang. Ia demam tinggi setelah luka menganganya ditambahkan dengan tusukan paku berkarat.
Tetanus yang ia alami menyebabkan kejang otot hebat. Bagas tak selamat setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
Kini tinggallah aku. Menjadi abdi setia Aris. Aris mewajibkanku berwajah ceria setiap kali tinjunya mendarat di wajahku.
“Kok muka lo begitu, Fan? Lo enggak seneng gue gebukin?” hardik Aris.
“Ampun, Ris. Iya, enggak apa-apa. Lanjutin aja …”
Neraka bumi yang kurasa, terus berlangsung hingga enam bulan lamanya. Selanjutnya, entah bagaimana ceritanya, suatu hari Aris menghilang. Ia seolah tenggelam ditelan bumi. Aku tak pernah mencarinya. Untuk apa? Dari yang kudengar, kedua orang tuanya memasukkan ia ke pesantren. Mereka berharap, Aris akan tumbuh menjadi pemuka agama seperti kedua orang tuanya.
Kabar ini sungguh berita gembira bagiku. Embun seakan menetesi tenggorokanku yang kering di tengah gurun. Seakan jutaan obat menyembuhkan luka.
Aku mencoba bergembira. Menyongsong masa depan gemilang tanpa perlu ketakutan sepanjang masa. Akan tetapi, bayangan wajah Seno, Doni, juga Bagas seolah tak pernah hilang dari benakku.
***
“Untuk ceramahnya, gimana kalau kita panggil Ustaz Aris saja?” usul salah seorang pengurus masjid ketika rapat peringatan hari besar Islam.
“Ustaz Aris?” Aku bertanya. Lamunanku buyar tatkala mendengar nama itu disebut.
“Iya, Pak Irfan. Ustaz Aris Ahmad yang sedang tenar itu.” Pak Imron sang ketua pengurus masjid menjawab semangat.
“Oh, iya iya,” jawabku datar. Aris Ahmad. Ya, dia Tuhan yang pernah kusembah puluhan tahun lalu. Kini telah mewujud menjadi seorang ulama kondang yang tersohor.
“Pak, Pak Irfan … Pak …”
“Eh, iya, Pak. Gimana? Gimana?” Aku tergagap. Lamunan kembali membawa ingatan ini mengembara teramat jauh.
“Iya, Pak. Pak Irfan kan seksi dakwah masjid kita, bagaimana kalau Bapak yang nantinya menghubungi juga menjemput Ustaz Aris?”
Sesuai kesepakatan rapat pengurus masjid, aku ditugasi untuk menghubungi dan meminta kesediaan Ustaz Aris untuk berceramah di acara masjid kami.
Aku telah berhasil menghubungi manajer Ustaz Aris dan membuat janji untuk menjemputnya ketika harinya tiba. Dalam percakapan dengan sang manajer, aku berhasil memperoleh nomor ponsel Ustaz Aris.
Kuberanikan diri menghubungi langsung dia yang kini dipanggil ustaz oleh jemaahnya. Kukirimkan beberapa pesan singkat. Kuberitahukan padanya bahwa aku adalah Irfan. Irfan dari masa lalunya.
***
“Di mana ini? Anda siapa?” Aris yang kini berada di hadapanku mengaduh. Ia mencoba melepas ikatan di tangannya. Berupaya meronta, tetapi gagal.
“Ini aku, Ris. Eh, maaf, Ustaz Aris. Ini saya. Irfan. Irfan yang dulu sempat menjadi hamba sahaya Anda, Ustaz …”
Wajah Aris seketika menegang. Air mukanya berubah ketakutan.
“Ir—Irfan … Apa kabar kamu, Fan? Lama tidak berjumpa, ya ….” Aris berupaya memecah kekakuan.
“Aku baik, Ris. Namun, perasaanku sepertinya tidak. Setahun belakangan, aku terus-menerus dihantui oleh Seno, Bagas, dan Doni. Masih ingat dengan mereka, Ris?”
“Ampuni aku, Fan. Mohon maafkan semua kesalahanku dulu. Tidak pernah satu hari dalam hidup tidak menyesali kebiadabanku di masa lalu.”
“Sudahlah, Ris. Sekarang, kuminta bantuanmu satu. Tolong akui semua kelakuanmu di masa lalu melalui video yang telah kusiapkan.”
“Gila kamu! Bagaimana mungkin aku melakukan itu? Seluruh jemaah dan santri yang kubina selama ini akan berbalik dan justru menghujatku! Hidayah yang mereka dapat, bisa menguap dan hilang kembali nanti!” Aris menjerit panik.
“Oh, Ustaz Aris yang mulia … bukankah dalam setiap ceramahmu yang syahdu itu, kamu senantiasa mengatakan betapa hidayah adalah milik Allah? Sekarang kamu berkata seolah kamulah pencipta hidayah itu. Istigfar kamu, Ustaz gadungan!”
“Astagfirullah … astagfirullah ….” Wajah Aris kian menegang. Sudut matanya mulai mengeluarkan cairan bening.
“Ha-ha-ha, bahkan yang mulia Ustaz Aris pun menangis dengan ancaman seperti ini! Tak tahukah kau bahwa sesungguhnya sedari tadi rekaman telah berjalan? Ada video lain di sudut-sudut ruang ini. Saat ini, jumlah penonton kita telah mencapai 2 juta lebih! Hebat sekali memang Ustaz Aris si penggugah jiwa!” Aku kesetanan. Jeritku kian menguat.
“Hai, Ustaz Aris yang luar biasa! Adakah rasa perih di sekujur wajahmu?”
“Tolong hentikan, Fan … ampuni aku, Fan …”
“Jawab pertanyaanku, Bangsat! Adakah wajahmu merasa perih?” Suaraku meninggi.
“Iya, Fan. Perih sekali.”
“Tanpa perlu mengakui pun, aku telah membuatkanmu prasasti luar biasa. Wajahmu yang cerah cemerlang itu, telah kupenuhi dengan tulisan yang berisi pengakuan atas dosa-dosamu di masa lalu. Ada nama Seno, Doni, dan juga Bagas yang mati akibat tindakan kejimu. Tato yang tak akan pernah dapat dihapus hingga kapan pun. Selamat melanjutkan dakwahmu, Yang Mulia …”
Aris termangu. Tangisnya meledak. Sebelum pergi, tiga kamera video yang kugunakan untuk merekam kudekatkan ke arah wajahnya. Sebelum ikatan di tangannya kulepas, sebuah cermin kuhadiahkan kepadanya.
[Aku pembunuh]
[Aku membunuh Seno]
[Aku membunuh Doni]
[Bagas mati tetanus karena aku]
***
Posting Komentar
Posting Komentar