20th Century Boys: Ketika Impian Masa Kecil Terealisasi

Posting Komentar
20th Century Boys

Bagi kamu yang sudah bosan kaget usai membaca atau menonton sebuah karya, maka dapat dipastikan kalau karya besar milik Naoki Urasawa ini tidak cocok untukmu.

20th Century Boys menurut saya adalah salah satu karya luar biasa yang pernah ditulis oleh manusia. Mengambil ide cerita yang sebenarnya biasa saja, penulis berhasil dikemas dengan teramat luar biasa. Dengan demikian, 20th Century Boys akhirnya hadir sebagai sebuah suguhan karya yang mampu menghadirkan berbagai perasaan yang tampil ke permukaan dalam satu waktu. Senang, kecewa, marah, takut, sekaligus khawatir, dan jijik.

Naoki Urasawa yang sebelumnya telah dikenal melalui karya besar lainnya—Monster—mengemas manga 20th Century Boys bukan sebagai bacaan bagi anak-anak. Kendati awal kisah dari manga yang akhirnya diadaptasi menjadi live action pada 2008 ini mengambil latar cerita kumpulan anak kecil, saya dapat pastikan bahwa ini sama sekali bukan bacaan ataupun tontonan anak-anak.

20th Century Boys yang mulai diterbitkan 1999 ini berkisah tentang sekumpulan bocah yang bermain bersama pada era 70-an. Awalnya mereka hanya bermain biasa saja. Hingga akhirnya kumpulan bocah ini mulai saling berbagi cerita yang tertuang dalam sebuah buku.

Buku yang diberi nama “Buku Ramalan” ini, mulai diisi dengan kisah khayal khas anak SD. Mulai dari berbagai kecelakaan yang terjadi pada tahun kesekian, lalu adanya wabah penyakit mematikan yang menyerang dunia, invasi alien yang hendak membuat koloni, hingga puncaknya berupa serangan monster raksasa pada pergantian tahun menuju tahun 2000.

Dengan gaya khas anak-anak, para bocah kocak ini mengisahkan bahwa mereka akan hadir ke tengah-tengah masyarakat untuk menyelamatkan umat manusia dari kekacauan yang ada. Semua tertuang dalam “Buku Ramalan” super keren itu. Semua senang dengan cerita-cerita seru nan heroik yang tertuang di sana. Oleh mereka, karya mereka.

Hingga suatu waktu, pada tahun-tahun menjelang akhir era 90-an, Kenji Endo, salah seorang anak yang tidak lain anggota perkumpulan itu, menemukan kejadian yang terasa tidak asing. Setelah mencoba mengingat lama, Kenji yang umurnya sudah tidak muda lagi—yah, coba dihitung aja. Asumsi mereka kelahiran 60-an dan sekarang setting-nya saat ini sudah tahun 90-an akhir—merasa kalau berbagai kejadian yang terjadi belakangan ini mirip dengan apa yang mereka pernah tulis di buku ramalan.

Kenji mencoba mengumpulkan seluruh sahabat lama dan menganalisis semua kejadian. Mencocokkan berbagai kesamaan, termasuk simbol spesial yang mereka ciptakan di masa lalu dan kini kerap muncul pada berbagai kejadian yang sesuai dengan “Buku Ramalan”.

Berbekal hal itu, mereka pun menyadari sesuatu. Di antara mereka—anggota dari perkumpulan sewaktu mereka kecil—ada satu orang atau lebih, yang berupaya mewujudkan segala hal yang pernah ditulis dan digambarkan dalam “Buku Ramalan” …

… dan itu artinya, kemungkinan orang itu—yang mereka tidak tahu siapa—juga akan mewujudkan terjadinya kehancuran massal menjelang malam pergantian tahun dari 1999 ke tahun 2000, sebagaimana imajinasi anak-anak yang mereka miliki saat kecil.

Bagaimana? Sudah kebayang ngerinya cerita ini?

Kegigihan Mewujudkan Cita-Cita

Bagi sebagian orang, cita-cita masa kecil mungkin hanya dimaknai sebagai pemanis masa muda. Saya misalnya. Sewaktu kecil pernah bercita-cita menjadi insinyur mesin, berpangkat tentara Letnan Kolonel—dulu saya pikir Letnan Kolonel itu lebih tinggi dari Jenderal—menjadi dokter juga. Lalu di waktu yang bersamaan, saya juga seorang sarjana hukum. Belum cukup sampai situ, saya juga seorang sarjana ekonomi. Sehingga, kalau tidak salah, jika ditampilkan semua titel dan pangkat yang saya miliki—berdasarkan khayalan saya saat kecil dulu adalah: Prof. KH. Letkol. Dr. dr. Ir. Jamal Irfani, SH., SE., M.Sc., M.Eng.

Namun, seiring berjalannya waktu, tidak pernah lagi terpikir bahwa saya akan ketiban titel sepanjang dan seramai itu. Jangankan berambisi mewujudkan, saya bahkan sama sekali tidak pernah ingat bahwa saat kecil pernah memiliki pikiran begitu.

Akan tetapi, di situlah letak kejelian Naoki Urasawa. Di saat sebagian orang menganggap masa kecil tidak lebih dari masa di mana orang bebas berimajinasi dan berkhayal, Urasawa justru mengangkat hal yang lain. Urasawa menawarkan sebuah kondisi berbeda.

“Bagaimana jika, seseorang dengan keinginan yang kuat, justru bermaksud merealisasikan mimpi masa kecilnya? Sekonyol apa pun mimpi itu. Seperih apa pun jalan yang akan ditempuh. Mimpi dan cita-cita masa kecil yang terwujud, adalah sebuah keharusan.”

Maka, jadilah sosok Tomodachi atau Sahabat, yang menjadi antagonis utama dari manga dan juga live action 20th Century Boys ini. Tomodachi yang selalu menutupi identitasnya dengan topeng, berambisi mewujudkan semua hal yang telah Kenji dan kawan-kawannya tulis dalam “Buku Ramalan”. Bagi Tomodachi, “Buku Ramalan” adalah satu-satunya cara paling masuk akal dalam melihat dunia.
20th Century Boys
Tomodachi
Dengan kekuatan diplomasi yang dimiliki, Tomodachi—kelak di akhir cerita kita akan tahu, bahwa dia adalah salah seorang sahabat Kenji—merangsek dan merangkul seluruh negeri untuk mewujudkan ambisinya. Dia berharap, dirinya bukan hanya dikenang sebagai pemimpin dunia. Melainkan sebagai “Tuhan” yang mampu berkuasa atas hidup dan matinya umat manusia.

***
Gambaran dukungan lingkungan yang perlu dimiliki demi mencapai kesehatan mental yang baik, menjadi perhatian serius pada kisah ini. Tomodachi merupakan perwujudan tumpukan kesedihan dan pengabaian bertahun-tahun yang dialami seorang bocah, hingga akhirnya tumbuh dan menjadi besar. Tomodachi yang selalu santun dalam berbahasa dan tidak jarang menggunakan topeng Ninja Hattori, tidak lain adalah gambaran kepedihan masa lalu, yang terakumulasi menjadi kejahatan besar.

Terlepas dari berbagai isu yang diangkat pada manga serta live action-nya, saya pribadi sangat suka dan terkesima akan bagaimana Naoki Urasawa menjungkirbalikkan logika pembaca dengan berbagai plot twist yang tersebar sepanjang cerita. Dengan cerdik, Urasawa memaksa kita berspekulasi siapa sebenarnya tokoh yang menjadi Tomodachi.

Selama membaca dan menonton, kita berkali-kali “dibodohi” karena gagal menebak. Lalu, kemudian dengan kelihaiannya, kita seolah diberikan kesempatan lagi untuk kembali menebak dan menduga kejadian selanjutnya yang akan tersaji. Lalu, lagi-lagi tebakan kita keliru. Kita kembali dipecundangi. Namun, bukannya kesal, kita justru merasa gembira dan makin penasaran.
20th Century Boys
Live Action 20th Century Boys
Bagi saya, tidak ada alasan untuk tidak merekomendasikan kamu menonton live action serial ini ataupun membaca manga-nya. Menurut saya, 20th Century Boys adalah sebuah karya yang sangat layak untuk kamu tonton atau baca minimal satu kali seumur hidup.

Kendati ada banyak darah dalam cerita ini, saya tidak membatasi juga manakala adik-adik berusia muda hendak membaca manga-nya. Paling-paling, yah … bingung dan pusing. Namun, tidak mengapa. Siapa tahu bakal suka.

Selamat menikmati membaca kisah dan menonton cerita yang bikin kamu geregetan tidak selesai-selesai.

Jadi, menurutmu, saya ulas apa lagi, dong?
***[][][]***

20th Century Boys | Manga, Live Action | Manga 1999, Live Action 2008 | Thriller, Sci-Fi, Violent |
Rating Jirfani: 5/5

Jirfani
Selamat datang di blog jirfani.com Sebuah blog yang berisi beragam ulasan seputar film, buku, perjalanan, serta perenungan seorang Jamal Irfani.

Related Posts

Posting Komentar