Coba tengok Tabula Rasa, sebuah film berlatar sederhana, dengan pemain utama yang hanya berjumlah empat orang, berkutat di tempat yang nyaris itu-itu saja, dalam kubangan cerita yang begitu-begitu saja.
Tabula Rasa yang rilis perdana pada 2014 silam ini justru berhasil mengajak penontonnya untuk ikut menyelami tiap karakter yang terdapat pada film. Dibalut dengan dialog sederhana dan hangat, penonton dengan sendirinya akan hanyut dan merasakan kepedihan yang dirasakan Hans, Mak, Parmanto, dan tentu saja Natsir.
Di Serui, sebuah desa di Papua sana, Hans, seorang pemain bola muda berbakat, dengan begitu gagah dan bergembira berangkat ke tanah impian setiap calon bintang, Jakarta. Keberangkatan Hans ke Jakarta bukan tanpa sebab. Dia tampil begitu memesona pada setiap laga yang ia lakoni. Mencetak gol dengan amat fantastis, dan memukau semua penonton yang hadir.
Hans direkrut oleh seorang pelatih dan pencari bakat untuk dapat bermain dan menjadi pemain bola profesional di klub besar Jakarta. Lalu, pemuda yatim piatu yang dicintai seluruh adik-adiknya di panti asuhan, dan tentu saja mama pemilik panti, berangkat dari Serui demi mewujudkan mimpi.
Manusia bercita-cita dan berusaha, tetapi kehendak Tuhanlah yang berbicara. Hampir setahun Hans di Jakarta, bukan kemasyhuran seorang bintang yang ia peroleh, justru nestapa dalam lubang derita, ia masuki. Mimpi sebagai bintang sepak bola ternama kandas. Kakinya pincang, tak mampu lagi berlari kencang, dan setiap hari mengais ceceran beras demi mengutip selembar atau dua lembar uang dua ribuan.
Hidup sekelam itu. Hidup sesuram itu.
Hans putus asa. Lompat dari pinggir jembatan ke arah kereta rel listrik yang melintas saban hari, sepertinya akan menjadi solusi terbaik untuknya. Namun, cerita tidak berhenti di situ.
Tabula Rasa: Kesetiaan, Kerja Keras, dan Kebaikan Hati Tak Berbatas
Jika berdasarkan secuplik kisah yang saya tulis di atas, benakmu cepat-cepat berpikir bahwa Tabula Rasa sekadar film yang mengusung kesedihan dan keputusasaan, baiknya urungkan kembali pikiran itu. Jauh dari itu, Tabula Rasa justru mengangkat sebuah ide sederhana dengan pengemasan luar biasa.Sama sekali tidak keliru jika juri Festival Film Indonesia, mengganjar Tumpal Tampubolon sebagai penerima Piala Citra sebagai Penulis Skenario Terbaik 2014. Meski sederhana, alur cerita film ini dibuat begitu menarik dan teramat dekat dengan keseharian masyarakat. Belanja subuh hari ke pasar, gerutuan khas emak-emak saat memilah bawang, hingga aksi memeras santan, dan mengaduk rendang yang tampak begitu epik.
Sebagai sebuah tontonan, film ini merupakan tayangan yang amat pas untuk dinikmati seluruh keluarga. Tanpa sadar, adegan demi adegan mengajak penonton untuk memahami apa itu kerja keras dan kesetiaan. Bocah-bocah yang menonton ditemani orang tua atau kakaknya, tentu dapat diajari dengan mudah betapa putus asa, tidak akan pernah menjadi cara jitu menghadapi masalah.
Nilai positif terus bergulir sepanjang film berlangsung. Namun, di sisi lain, permainan emosi, teriakan kesal penuh dendam, serta kepedihan lantaran pengkhianatan juga ditampilkan di sini. Para penonton, dari kelas usia mana pun mereka berasal, secara perlahan, teratur, tetapi pasti diajak menyesap pahitnya hidup yang selalu dapat diberi perasa lain agar tidak terlampau getir.
Sebagai sutradara, Adriyanto Dewo, tampil apik mengarahkan tiap pemain yang berperan. Dewi Irawan sebagai Mak, dengan begitu sempurna berakting pada tiap adegan yang ia perankan. Ia juga dengan teramat piawai, mengimbangi kualitas akting terbaik Almarhum Yayu Unru sebagai Parmanto. Seteru dan adu mulut kakak beradik itu dengan begitu sempurna mengaduk-aduk perasaan pemirsa. Maka, tidaklah mengherankan juga jika keduanya berhak membawa pulang piala citra, sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik pada gelaran Festival Film Indonesia 2014.
Akhir kata, saya secara pribadi merekomendasikan film dengan rating 7,5/10 menurut imdb.com untuk kamu tonton bersama. Bersama siapa pun yang kamu kasihi. Istri, suami, anak, adik, kakak, hingga orang tua, tentu saja layak menikmati tenangnya tiap sudut Rumah Makan Padang Takana Juo milik Mak.
Selamat berbahagia dan membayangkan lezatnya gulai kepala ikan kakap yang dilengkapi daun ruku-ruku khas Minang!
Jadi, menurut kamu, saya review film apa lagi, dong?
***[][][]***
Rating Jirfani: 4,2/5
Posting Komentar
Posting Komentar